Eps 6. Di kagetin

2018 Words
Galins menatap layar ponsel yang bergetar, karna dia memang mensilent-nya. Takut kalau dering keras akan mengganggu ketenangan mamanya yang sedang beristirahat. Jarinya menggeser tombol berwarna hijau itu ke atas, lalu menempelkan ke kuping sembari beranjak dari duduk. “Hallo, Dew,” sapanya, melangkah keluar dari ruang rawat. “Hallo, mas, gimana keadaan tante Sintia?” tanya Dewi dari seberang telpon sana. Galins mendudukkan p****t di kursi kayu yang ada di depan kamar rawat mamanya. “Tadi udah bangun, tapi belum bisa makan apa-apa. Harus kentut tiga kali dulu baru boleh minum.” Desahan lembut terdengar dari sana. “Tinggal nunggu kentut berarti yah.” “Iya.” “Semoga lekas kentut kalau gitu.” “Aamiin.” Lalu mereka berdua diam untuk beberapa detik. “Besok mau ke sini jam berapa?” “Aku tuh sebenernya besok mau bayar pajak mobil, mas, tapi kartu ATM-ku ke-blokir. Kudu ngurus dulu. Mana besok hari sabtu, kan. Bank udah libur, seninnya aku udah masuk kerja lagi. Huuft ….” Helaan nafas panjang Dewi terasa sampai di kuping Galins. “Uumm, kalo aku pinjem ke kamu dulu, bisa nggak, mas? Besok kalau ATM-ku udah keurus, aku balikin.” Suara yang terdengar manja dan sedang membujuk dan ini sudah sangat sering Galins dengar. Bulan yang lalu Dewi juga meminjam uang Galins dengan alasan belum nerima gaji. Dan sekarang gadis itu bilang kalau ATM-nya ke-blokir. Tak langsung menjawab, Galins tersenyum miring dengan tangan yang menggaruk sisi kepala. Si Dewi belum jadi istrinnya, tapi udah nggak keitung uang yang dia berikan ke Dewi berapa puluh juta. “Ya, mas, ya … pliis. Ini telatnya tanggal 15, mas.” Bujuk Dewi lagi, memohon. “Emang bayar pajaknya berapa?” tanya Galins ingin tau. “Umm, tiga juta, tapi transferin lima juta sekalian ya, mas. Buat biaya makanku selama aku belum bisa narik uang.” Permintaan yang juga sudah sering Galins lakukan ke Dewi. Galin mendesah pelan dengan sudut bibir yang kembali terangkat. Kenapa sih dia baru sadar sekarang kalau cewek yang udah dia pacari selama dua tahun ini mantre? Jika Dewi beneran peduli, beneran cinta, bukankah seharusnya membantu jagain mamanya? Beneran baru sadar sekarang kalau tiap kali ketemu pasti Dewi selalu bahas uang dan uang. “Kamu tau kan, Dew, mama baru selesai operasi. Aku justru sedang butuh banyak biaya buat mama.” “Operasi pengangkatan rahim nggak sampai seratus juta, kan, mas?” suaranya sedikit meninggi dan tentu terdengar tak percaya. “Iya, nggak sampai seratus juta. Tapi besok masih ada pengobatan susulannya. Kalau nggak salah kemarin papamu abis untung banyak jual lahan yang di samping pabrik.” Sebenarnya bukan karena nggak ada uang, tapi sekali-kali Galins ingin mencoba untuk tega dan melihat sejauh apa perasaan Dewi. Terdengar decakan dari seberang sana. “Itu kan uangnya papaku, mas. Katanya mau buat lebarin toko, masa’ aku minta sama papa?” Galins tak menanggapi, dia mulai merasa ragu dengan sifat Dewi yang semakin jauh semakin terlihat jelas. Mendongak, menatap Galan yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu ruang rawat memerhatikannya. “Kamu mau ke sini kapan?” pertanyaan yang tadi sudah Galins ucapkan, tetapi belum mendapatkan jawaban. “Enggak tau,” jawab Dewi sewot. “Kalau besok kebagian waktu, aku ke situ. Yaudah kalau gitu, mas. Aku udah ngantuk.” Galins menghela nafas, mengangguk kecil. “Iya, med—” belum selesai dia bicara, telpon sudah dimatikan sepihak. Membuat Galins menarik ponsel dan menatap layar yang beneran udah berubah jadi wallpaper hapenya. Galan menunduk, bibirnya mengulas senyum tipis. Tangannya mendorong pintu lalu masuk ke dalam ruangan mamanya. Galins menyusul, ikut duduk di sofa samping ranjang. Menoleh, menatap adiknya yang sudah mengusap layar ponsel sembari menjatuhkan kepala ke anak sofa. “Gimana operasinya ibunya Dika?” tanya Galins yang sudah penasaran sejak tadi. Pengen bantu sebenarnya, tapi nggak ngerti harus bantunya gimana. “Lancar,” jawab Galan tanpa beralih dari layar ponsel. “Di rawat di ruang apa?” Galan diam dengan kening yang berlipat, mengingat nama ruangan yang tadi ia masuki. “Annisa 12.” Lalu melirik kakaknya yang diam membayangkan jalan menuju ke ruangan itu. “Mas Galins mau ke sana?” Galins mengangguk. “Dika temenmu, kan? Dia juga tadi jengukin mama. Nggak enak kalau nggak gantian jenguk.” Dia beranjak, menepuk kaki Galan. “Mas pulang ya,” pamitnya. ** Tata keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terbalut handuk. Bibirnya mengerucut dengan kedua tangan yang berkacak pinggang menatap wastafle yang masih penuh dengan cucian peralatan dapur. Biasanya dia akan cuek karna pasti ibunya yang akan sibuk beresin dapur, atau Dika yang setelah pulang main bakalan beresin rumah. bagiannya adalah kerja, cari uang buat hidup bertiga. Tapi sekarang, itu cucian alat-alat yang numpuk nggak bakalan kelar kalau Cuma dia cuekin. Selesai beberes di dapur, Tata masuk ke dalam kamar. Mengambil ponsel, mengusap layar dan mencari nomor seseorang, tentu mandornya di pabrik tempatnya kerja. [Mbak Tari, aku besok ijin nggak masuk ya. Tadi pagi ibuku kecelakaan dan sekarang belum sadar. aku harus nunggu ibu di rumah sakit.] send mbak Tari. Chat yang dia kirim centang dua abu-abu. Ini sudah jam delapan malam, tapi pasti mbak Tari akan baca sebelum besok pagi. Tata meletakkan ponsel di atas meja, beranjak membuka lemari dan memakai sweater untuk menutup tubuhnya yang hanya berbalut tangtop saja. Keluar dari kamar, mengecek magicom yang tadi sudah sempat ia masuki beras. Takut juga kan kalau dia lupa menekan tombol cooking-nya. Udah masak nasi, jadi besok pagi Dika cukup beli lauk buat sarapan sebelum ke sekolah. Klunting! Baru saja mengunci pintu rumah, ponsel Tata di dalam tas sudah berbunyi. menandakan jika ada chat yang masuk. tata membuka tas, menarik ponsel dan keningnya berlipat membaca notifikasi yang muncul di layar depan. [aku tunggu di gardu samping minimarket.] Chat dari nomor baru dan dia bener-benar nggak tau siapa pemiliknya. Nggak merespon, Tata kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu melangkah menghampiri motornya yang ada di halaman rumah. Motor matik milik Tata melaju pelan menembus angin malam meninggalkan kampung tinggalnya. Sebenarnya udah ada Dika yang menjaga ibunya di rumah sakit. Tapi dia nggak akan bisa tenang kalau nggak ikut jagain di sana. Apa lagi Dika besok udah harus sekolah dan mengikuti tryout. Ccitt! Tata ngerem dadakan, karena tiba-tiba bu Heni mencegat motornya ketika dia sampai di depan pagar rumah bu Heni. “Ya allah, Bu,” serunya sembari mengusap d**a yang jadi berdebar. “Kenapa?” nggak ngerasa bersalah, tapi justru menatap Tata seakan dia menjadi korban penagih hutang. “Nggak usah natap saya kesel begitu. Kalau tadi Rian nggak berbaik hati anterin ibumu ke rumah sakit, nggak mungkin ada yang nolongin.” Sewotnya, seperti biasa. Tata memejamkan mata, menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan pelan. Menahan diri uantuk tidak membalas semua yang keluar dari mulut bu Heni. “Ada apa bu Heni menghentikan saya di sini?” tanyanya kemudian. “Kamu liat Rian, nggak?” Kening Tata berlipat mendengar pertanyaan yang beneran enggak penting buat dia. “Mas Rian?” tanyanya, lebih tepatnya ingin meyakinkan. Untuk pertama kalinya setelah dia tak lagi memiliki hubungan dengan Rian, Bu Heni bertegur sapa begini padanya. “Iya, Rian. Kamu liat dia, nggak? Kan bisa aja kamu janjian ketemu sama dia. Ya, toh?” tuduhnya. Tata mendesah kasar, menatap ke lain arah dengan sunggingan senyum. “Saya nggak pernah berhubungan lagi dengan anak ibu. Jadi kalau ibu bertanya sama saya, ibu bertanya pada orang yang salah.” Tata menyerongkan motor, bersiap untuk kembali menjalankan motornya. “Bener, kamu nggak janjian ketemu sama Rian?” tetap ngeyel dan nggak percaya sama apa Tata katakan. “Enggak, bu Heni. Saya permisi ya, mau ke rumah sakit.” Pamitnya, menutup kaca helm dan melajukan motor. Udah nggak peduli lagi sama Bu Heni yang kelihatan khawatir nyariin anak lelaki satu-satunya. “Buk! Mas Rian belum pulang juga?” samar suara Wulan yang baru datang dengan motor, terdengar sampai di kuping Tata. Bu Heni menggeleng sebagai jawaban. “Kalian itu lho, kenapa bertengkar? Kamu tadi marah sama Rian kenapa toh, Wul? Semua masalah kan bisa dibicarakan dengan baik. nggak harus bertengkar sampai teriak begitu.” Wulan turun dari motor, melangkah masuk ke dalam rumah dan tentu diikuti oleh bu Heni. Wanita yang kemana-mana selalu ber-make up itu berkacak pinggang menatap tajam ibu mertuanya. “Tiba-tiba ada m-banking masuk kalau uang tabunganku tertarik tiga puluh juta. Dan pas aku ngecek, memang uang tabunganku kepotong. Pas aku tanya sama mas rian, dia nggak mau ngaku. Padahal yang tau pin ATM-ku Cuma dia. Jadi nggak mungkin ada orang lain yang narik uangku kecuali mas Rian.” Jelas Wulan dengan menggebu, dia kehilangan uang banyak. Mulut bu Heni membulat, mengaga lebar. “Enggak mungkin Rian pakai uangmu sampai nggak bilang, Wul.” “Ya terus, siapa yang narik uangku? Demit?” wulan mendengus kesal, mengibaskan tangan dan melangkah masuk ke kamarnya. ** “Lailahaillah ….” Untuk yang kedua kali Tata menghentikan motor dengan rem dadakan. Hampir saja dia menabrak pembatas jalan jika saja tangannya telat menarik rem. Dengan masih berdebar, dia menatap sebal pada Rian yang sekarang berdiri di samping motornya. “Anak sama emak nggak ada beda, emang!” maki Tata, kesal. “Kamu mau ke rumah sakit, kan, Ta? Aku ikut.” Gomongnya tanpa rasa bersalah. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Tata tersendak ludahnya sendiri, sampai dia menepuk-nepuk d**a agar jantungnya tetap bisa berdetak seperti semula. Dia terlonjak kaget saat tanpa komando Rian langsung duduk di jok belakangnya. “Mas! Jangan gila ya!” tolak Tata, menoleh ke belakang dengan kedua mata yang melebar, marah. “Turun, cepat!” “Ta, aku nggak betah di rumah. Wulan cerewet banget, tiap hari kerjaannya marah, kebanyakan ngatur banget. Aku pengen kamu aja yang jadi istriku.” Plaak! Dengan reflek tangan Tata mendarat di kepala Rian. Deru nafasnya memburu, tak bisa mengontrol emosi. Dia memilih turun dari motornya sendiri dan menunduk merasakan penyesalan. Kenapa sih dulu bisa menyukai lelaki sebodoh Rian? “Tadi ibu sama istrimu sibuk nyariin kamu. Mendingan kamu cepat pulang sana!” wajah kesal Tata sudah tak bisa digambarkan lagi. Dia benaran banyak pikiran, sangat berharap ada angin segar yang menyegarkan, bukan malah membuatnya semakin tertekan seperti ini. “Ta, kamu tau? Hidupku sudah tak sebebas dulu. Hidup sama Wulan banyak banget aturannya.” Dengan kedua tangan yang memegang stang motor, Rian sedikit mencondongkan wajah ke Tata yang berdiri di samping motor. “Ta, kita nikah siri secepatnya ya,” ajaknya dengan berbisik. Tata memejam, berusaha mengatur emosi yang benar-benar memenuhi d**a. “Gimana kalau istri dan ibumu tau kamu mau menikahi aku, mas?” Rian menghela nafas kasar, tangannya memukul kepala motor. “Ya pasti mereka tak akan mengijinkan.” “Tuh, kamu udah tau. Kenapa masih ngotot sih? Lagian ya, aku yakin, aku sama Dika pasti bisa balikin uang yang kamu pinjamkan itu.” “Tata, aku nggk pernah pinjamkan uang. Tapi aku ngasih ke kamu dengan ikhlas. Cukup kamu jadi istri ke duaku, sesuai dengan surat yang sudah kamu tanda tangani di atas materai itu. Jadi semua sudah beres.” Tata mengangkat tangan dengan kepala yang menggeleng. “Beneran nggak waras!” “Tata,” Seruan seseorang membuat Tata dan Rian menoleh ke arah belakang sana dengan bersamaan. Seorang lelaki tinggi, postur tubuh yang tegap dan berkharisma. Wajahnya sangat mirip dengan wajah Galan, hanya saja yang ini terlihat lebih kalem. Si lelaki mengulurkan tangan di depan Tata. “Galins, kakaknya Galan. Temannya Dika.” Ngomongnya, memperkenalkan diri. Tata mengulas senyum tipis, membalas uluran tangan Galins. “Uumm,” menatap ke arah mini market, lalu tangan Galins yang menenteng plastik putih. “Mau ke … mau pulang?” tanyanya, mengingat kata-kata Galan beberapa jam lalu. “Abis ambil laptop di rumah bude, sekalian beliin minyak oles buat mama. Kamu mau ke rumah sakit?” tanyanya, menatap Rian yang duduk di motor Tata. Tata mendesah kasar, melirik Rian yang kelihatan santai. “Nebeng mas Galins, boleh?” “Lho, Ta,” teriak Rian yang udah siap memboncengkan Tata. Galins tersenyum dengan anggukan. “Boleh, ayok,” ajaknya. Tata tersenyum lebar. “Balikin motorku ke rumah ya, mas.” Lalu tersenyum penuh kebebasan dan melangkah meninggalkan Rian menuju ke mobil Galins yang tak terlalu jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD