Dengan sepeda butut miliknya, Bu Ratih pergi dari rumah. Tersenyum ramah dan saling menyapa ketika bertemu dengan tetangga yang tentu dia kenali. Wajah ramahnya berubah malas saat melihat ada bu Heni yang memegang sapu dan sedang berbincang dengan tetangga rumahnya.
“Eh, Bu Ratih,” sapa Bu Heni sok ramah. Bahkan dia memainkan tangan kiri untuk menunjukkan beberapa cincin yang melingkar di jari-jarinya.
Bu Ratih membalasnya dengan senyuman. “Pagi, Bu Heni, Bu Esti.”
“Ke pasar kok nggak diantar anaknya, Bu?” tanya Bu Esti, sepupu bu Heni.
“Enggak, Bu.” Jawab Bu Ratih singkat dengan terus mengayuh sepedanya. “Mari, Bu, saya duluan.”
“Oh pasti anaknya masih tidur. Yaampun, gadis kok udah terang begini masih tidur. Siapa yang mau punya mantu seperti itu? Ya, pantes saja Rian milih nikah sama Wulan. Mantuku itu lho ya, bangunnya selalu masih petang. Dia itu walau pun ASN, tetapi sebelum pergi kerja rumah udah bersih. Sarapan juga kita tinggal makan. Pokoknya kalau Wulan itu paket plit komplit.” Tutur panjang Bu Heni, ngomongnya pun sengaja keras banget biar didengar sama Bu Ratih.
“Beruntung banget ya, mbak, Rian nggak jadi nikah sama si gadis sana itu.” Tanggapan Bu Esti yang tentu pro banget sama kerabatnya.
Bu Heni terkekeh kecil, melirik Bu Ratih yang belum terlalu jauh. “Ya jelas toh, Es. Dia itu Cuma buruh pabrik. Mana level sama Wulan yang ASN. Mereka kalau disandingkan, udah kaya’ emas sama besi karatan. Warnanya hampir mirip, tapi beda harga lah ya.”
“Hahaha ….”
Lalu tawa keduanya terdengar begitu menyebalkan di telinga. Orang tua mana yang nggak kesal ketika mendengar anaknya yang nggak salah apa-apa diejek seperti ini? bu Ratih mencengkeram erat kedua stang sepeda, lalu dengan sisa tenaganya dia mengayuh agar tak bisa lagi mendengar apa yang mereka berdua katakan. Tepat di pertigaan, ada sebuah mobil warna hitam yang keluar dari gang.
Bu Ratih yang tak siap, keadaan hati emosi dan tentu tak tenang, tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Sepedanya oleng karena terkejut, lalu dia masuk ke dalam selokan yang ada di pinggir jalan. Sedangkan mobil hitam itu melaju begitu saja, karena merasa dia tak bersalah apa-apa.
“Ya Allah, Bu,”
Beberapa orang yang melihat langsung menolong. Tidak sempat mengejar mobilnya, karena si mobil sudah menghilang begitu cepat. Rian dan Wulan yang baru pulang dari lari pagi menghentikan motornya di sana. Ikut mengerumuni Bu Ratih yang terluka cukup parah. Memang hanya masuk ke selokan, tetapi kepalanya terbentur beton pinggiran selokan dan kakinya juga sampai sobek.
“Mas Rian bisa bawa mobil, kan?” seseorang bertanya sembari menatap Rian.
“Iya bisa, pak. Mau pakai mobil saya?” tawar Rian. Lengannya di tarik Wulan, membuat Rian menoleh. Menatap wajah istrinya yang terlihat tak setuju.
“Kamu jangan aneh-aneh ya, mas. Dia itu ibunya Tata lho,” ucap Wulan, tak suka.
“Aneh-aneh apanya sih, dek. Aku Cuma mau antar dia ke rumah sakit. Kamu nggak kasihan liat lukanya sampai banyak darah begitu?”
“Mas, pakai mobil ambulance kampung aja. Ambil di rumahnya pak Heru.” Seru seseorang lagi yang mendengar keributan Rian dan istrinya.
“Tuh, nggak perlu pakai mobil kita. Nanti kotor kena lumpur. Nyuciinnya juga pakai duit.” Wulan ngedumel lirih, membuat Rian menghela nafas.
Tak pedulikan itu, Rian kembali menaiki motor untuk pergi mengambil mobil ambulance. Wulan yang tertinggal, berlari mengejar suami, lalu cemberut saat Rian menyuruhnya untuk pulang berjalan kaki saja. Lagian rumahnya juga sudah terlihat di depan sana, jalannya nggak begitu jauh.
“Lho, Wul, itu Rian mau kemana? Kok kamu disuruh jalan kaki dianya malah pergi?” tanya bu Heni begitu Wulan sudah ada di halaman depan.
Wulan menoleh, menatap ke orang-orang yang berkerumun di pinggir jalan sana. “Mau ambil mobil ambulance di rumahnya pak Heru, bu.”
Bu Esti terpekik terkejut. “Mobil ambulance buat apa?”
“Itu, buat ngantar ibunya Tata.” Wulan menuding bu Ratih yang tergeletak di sana dengan dagu.
Bu Heni mendesah panjang. “Hidupnya kok ngerepotin orang. Udah tua begitu harusnya nggak usah kelayapan. Anaknya juga nggak pengertian banget. Sudah pada besar kok ngebiarin orang tua kerja.”
“Eh, bisa jadi, mbak. Itu bu Ratih nahan lapar, makanya ngayuh sepedanya bisa sampai nyemplung ke selokan begitu.” Timpal bu Esti.
Bu Heni terkekeh kecil masih dengan memerhatikan bu Ratih yang tak sadarkan diri. “Ya itu, kalau punya anak pemalas. Lulusan SMA, jadi buruh kasar. Sudah besar masih ngerepotin orang tua. Jelas beda kalau sama mantuku ini.” Pujinya, menepuk-nepuk lengan Wulan.
Wulan tersenyum senang dapat pujian dari mertua. “Aku kuliah sampai S1 lho, Bu. Besok rencananya mau lanjutin S2.”
“Nah, kan, memang kamu ini menantu idaman banget kok.” Bu Heni makin tersenyum lebar.
Bu Esti ikut tersenyum bangga memiliki kerapat seperti Wulan. Lalu dia pamit pulang karna suaminya sudah manggil-manggil.
“Itu kamu bawa apa, Wul?” tanya bu Heni, memerhatikan tangan Wulan yang menenteng plastik warna putih.
Wulan mengulas senyum tipis. “Ini bubur ayam, tadi pas beli di taman kota aku makannya nggak habis. Jadinya aku minta bungkus buat bawa pulang.”
Kedua alis bu Heni menyatu, menatap terkejut pada menantunya. “Bawa pulang mau kamu buat apa, Wul?”
“Mau aku makan lagi lah, Bu. Ibu pasti belum masak, kan? Soalnya kalau minggu warungnya bu Retno tutup, jadi ibu nggak beli lauk. Aku bisa kelaparan kalau nunggu ibuk beli lauk ke pasar.”
Bu Heni mengikuti langkah Wulan yang menuju ke teras. Ikut duduk di sana, menatap anak menantunya membuka sterofoam dari plastik. “Kamu Cuma bawa itu? Nggak beliin buat ibu sama bapak dan adikmu?”
Wulan menatap mertuanya sebentar. “Ya enggak, bu. Tadi dompetnya mas Rian ketinggalan di rumah. Yang bayar makanan ini aku, bukan mas Rian.”
“Ka—”
Kalimat yang akan bu Heni lontarkan menguar di udara. Tatapannya tertuju ke arah jalan sana, di mana ada Tata dan Dika yang berboncengan. Lalu dua anak itu turun dari motor dan menangis melihat ibunya yang digotong masuk ke dalam mobil ambulance yang belum lama datang.
“Lebai banget deh. Orang Cuma jatuh ke selokan pake ditangisi.” Wulan beranjak masuk ke dalam setelah melontarkan kalimat itu.
**
Bu Ratih menjanda sejak Tata duduk di kelas 1 SMA. Suaminya meninggal karena sakit jantung, jadilah dia banting tulang sendirian menghidupi dan membiayai kedua anaknya. Dia bekerja sebagai seorang penjahit, orderannya selalu banyak karna warga setempat banyak yang suka jahitan Bu Ratih yang begitu rapi dan nyaman di tubuh.
Namun, Tata sudah melarang Bu Ratih untuk menerima orderan yang banyak. Dia sekarang sudah bekerja dan siap membantu kebutuhan rumah serta biaya sekolah adiknya. Tata juga sempat berbangga hati ketika berpacaran dengan Rian.
Dulu Rian yang begitu tergila-gila, dia yang sudah kuliah tetap menyukai Tata yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Lalu mereka menjalin kasih, mulai dari Rian yang masih bekerja sebagai honorer, sampai akhirnya dia diangkat menjadi seorang ASN. Namun, siapa sangka setelah pangkatnya naik justru Rian terpikat dengan wanita yang bekerja satu kantor dengannya.
Wulan Ayuningsih, janda berumur 33 tahun yang belum memiliki anak. Cantik, tubuhnya juga ramping dan memiliki pekerjaan yang bagus. Dia bukan berasal dari kampung yang sama dengan Rian dan Tata. Dulunya seorang perantau di pulau seberang, lalu kembali dengan gelar S1 dan sudah menjanda. Masih satu kota tetapi berbeda kecamatan.
Begitu memasuki plataran rumah sakit, suster segera mendorong brankar mendekat ke mobil. Lalu beberapa orang dan satpam membantu mengangkat tubuh bu Ratih. Menurunkan di brankar dan segera di dorong masuk ke UGD.
Rian ikut turun, menatap tak tega pada Tata yang wajahnya terlihat sangat khawatir. Gadis itu masih selalu sama, suka banget mengikat rambut dengan acak-acakan begitu. Tapi memang sangat manis walau baru bangun tidur.
“Ta,” panggil Rian. Tak menjawab, Tata hanya menoleh sebentar. “Isi pendaftaran dulu.” suruhnya.
Tata menatap adiknya yang duduk di kursi besi, tak mengatakan apa-apa, dia langsung pergi ke ruang pendaftaran. Sementara Dika beranjak, menatap pintu kaca buram yang tertutup rapat itu dengan perasaan takut.
Rian menepuk bahu Dika pelan, berharap bisa membuat perasaan mantan calon adik iparnya ini tenang. “Semoga ibuk baik-baik saja.”
Dika melirik tak suka, menepis tangan Rian dan melangkah menjauh dari Rian. Melirik ke luar sana, di mana sebuah mobil berwarna hitam berhenti. Lalu dari belakangnya dua orang perawat berlari membawa brankar. Dika melangkah mundur, menghindar. Kedua matanya melebar saat melihat Galan keluar dari dalam mobil dengan Galins; kakaknya. Mereka berdua memapah mamanya, lalu membantu mamanya untuk berbaring ke brankar.
“Gal,” seru Dika, dia ikut berlari mengikuti sahabatnya.
“Dokter Susi sudah datang, kan, sus?” tanya Galins, menatap mamanya yang sudah merintih kesakitan sejak semalam.
“Iya, sudah siap melakukan operasi, mas.” Jawab si suster. “Kalian tunggu di luar ya.”
Tak menunggu jawaban, suster menutup pintu kaca ruang operasi. Meninggalkan Galan dan Galins yang menatap penuh kekhawatiran.
“Mas, papa nggak bisa pulang dulu ya?” Galan melirik kakaknya yang memijat pelipis.
Galins menggeleng, mendudukkan p****t ke kursi besi dengan wajah sedih dan penuh ke khawatiran.
“Gal,” sapa Dika.
Galan menoleh, begitu juga Galins.
“Dik, lo ngapain di sini?” tanya Galan, menatap ke arah belakang sana yang ada beberapa orang berlalu lalang.
“Ngater ibuk. Tadi nyokap lo kenapa?” Dika menatap ke arah pintu ruang operasi.
Galan mengikuti arah tatap Dika. “Ibu mau operasi, tapi keknya masih nunggu satu pasien dulu yang di dalam.”
Dika menautkan satu alis. Orang kaya mah beda. Kemarin rawat jalan di rumah, begitu parah dan nggak ada perkembanagan, masuk rumah sakit bisa langsung ke ruang operasi.
“Eh, ibuk lo kenapa?” tanya Galan kemudian.
“Ibuk tadi kecemplung selokan. Katanya sih tadi kaget karna di gang ada mobil yang tiba-tiba keluar.” Jelas Dika.
Mendengar apa yang Dika katakan, Galins langsung mengangkat kepala. Namun, buru-buru dia menunduk dengan perasaan bersalah. Ya, tadi itu dia yang bawa mobil. Bukannya mau lari dari tanggung jawab, tapi dia sedang sangat buru-buru karena khawatir dengan kondisi ibunya yang kritis.
“Terus, ibu kamu sekarang gimana keadaannya?” tanya Galins, berusaha untuk tetap tenang.
Dika mengedikkan kedua bahu. “Masih di ruang UGD, mas. Eh, iya, semoga operasi ibuk lancar ya.” Dika menepuk bahu Galan. “Gue mau balik, takut mbak Tata nyariin.”
Galins meremas kepalan tangan sembari menggigit bibir. Ada yang tak bisa tenang di dalam dadanya. Rasa bersalah, rasa khawatir dan rasa berdosa.
**
Setelah selesai di ruang pendaftaran Tata kembali dengan selembar kertas di tangan. Mendesah kasar menatap pintu yang masih saja tertutup. Lalu ada suster yang keluar, tapi bukan yang menangani ibunya.
“Ta, duduk dulu, tenangin dulu.” ucap Rian yang duduk di kursi besi.
Seperti tak mendengar ada yang bicara, Tata sama sekali tak merespon, bahkan menoleh sedikit pun tidak. Dia tetap berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding. Menunduk, menatap kedua kakinya yang hanya memakai sendal jepit, dia juga nggak sempat ganti celana. Masih pakai celana kolor pas di atas tulut yang sering dipakai tidur. Beruntung banget sempat narik sweater yang menggantung di balik pintu. Coba enggak, dia beneran akan malu karna hanya pakai kaos singlet saja.
Rian menatap Tata sampai tak kedip. Mau seperti apa pun, dia tetap masih memiliki perasaan sayang. Ada penyesalan karna telah meninggalkan gadis secantik dan sempurna seperti Tata dan malah memilih Wulan yang justru berstatus janda. Kaki jenjang putih mulus dengan tubuh kecil dan wajah imut. Helaian rambut yang tidak ikut terikat justru menambah keimutan wajah Tata. Tak tahan jika hanya tetap berdiam, Rian beranjak dari duduk. Memasukkan kedua tangan untuk menyembunyikan rasa gemasnya.
“Ta,” panggilnya, melangkah mendekati Tata. “Kita udah lama kenal, aku juga nggak ninggalin kamu secara tragis. Kenapa setelah kita bukan pacar lagi, kamu mendiamkan aku?”
Tata membuang muka, hanya berdecak lalu melipat kedua tangan di bawah d**a. Sangat malas menanggapi Rian.
“Beberapa orang tetap akan berhubungan baik setelah mereka putus. Dalam hubungan pacaran itu, putus sudah hal yang wajar, kan?” tanyanya, menatap intens pada wajah Tata dari samping. “Memang kamu—”
“Urusan kamu di sini apa sih? Mending juga kamu pulang, kan?” sela Tata, memotong kalimat yang akan Rian katakan.
“Lho, aku yang antar ibumu ke sini. Kenapa kamu malah ngusir aku?”
Tata menatap tepat di kedua mata Rian. “Maaf, aku sampai lupa.” Membungkukkan badan dengan kedua tangan yang saling bertaut di depan d**a. “Terima kasih banyak pak Rian, sudah berbaik hati mengantarkan ibu saya ke rumah sakit.”
Melihat sikap Tata yang semakin lama justru semakin menjauhinya, ada rasa tak rela di hati Rian. “Ta, tau kamu bakalan membenci aku seperti ini, aku nggak akan nikahin Wulan.”
Mendengar itu, Tata menoleh cepat. Kedua mata mendekik penuh benci.
“Ta, kita balikan lagi ya,” ajaknya, memohon.
Kedua mata Tata jadi melotot. “Mas, kamu—”
“Keluarga pasien Ibu Ratih!”
Panggilan dari ruang UGD membuat kalimat Tata hanya menggantung. Tak memedulikan Rian, Tata segera berlari menghampiri perawat di sana.
“Saya, sus,” ucap Tata, lalu Rian mengikutinya di belakang.
“Pasien patah tulang kaki dan benturan di kepalanya cukup keras. Jadi harus secepatnya dioperasi.” Tutur suster.
Seperti tertimpa batu besar, d**a Tata terasa sesak dan berat. Untuk sesaat dia kehabisan oksigen. Operasi itu biayanya tak main-main. Dia tak punya uang banyak untuk biaya yang mendesak seperti ini.
“Bisa urus biayanya di ruang administrasi.” Suster memberikan kertas. “Nggak harus lunas semuanya, bayar biaya operasinya dulu saja, untuk biaya ruang rawatnya bisa menyusul. Jika sudah selesai, tolong kabari kami.”
Tangan Tata bergetar menerima nota berupa angka yang harus dia bayar. Dan memang nominalnya tak main-main. Rian mengambil kertas kecil itu dari tangan Tata, menyingkir saat Tata akan kembali mengambilnya.
“Aku akan bayari operasi ibuk.” Santai Rian berucap.
Tata mencibirkan bibir. “Nggak perlu, mas. Aku nggak butuh bantuan kamu.” langsung menarik kertas itu dari tangan Rian.
“Nggak akan ada hutang budi, Ta. Asal kamu mau jadi istri keduaku.”