Untuk sebentar Galan berhenti mengusap layar ponselnya. Duduk diam menatap ke arah ranjang pesakitan sana. Mamanya sudah selesai di operasi sejak beberapa jam yang lalu. Dan sekarang di sana sang mama mendesah tak nyaman berkali-kali. Bukannya tak peduli, tapi mamanya belum lama tidur setelah beberapa kali mengeluh terus-terusan.
Ceklek!
Galan beralih tatap. Pintu ruang rawat terbuka, memperlihatkan Galins yang melangkah masuk membawa sekantong plastik. Menyerahkan plastik itu ke Galan, sempat melirik ke arah mamanya yang kembali tidur anteng.
Antusias Galan membuka plastik yang ternyata berisi tahu goreng. “Tadi keluar beli tahu doang, mas?” Galan mengambil sebiji dan mengigitnya.
Galins menggelengkan kepala, mengambil duduk di sofa sebelah Galan. “Tadi ketemu sama Dewi sebentar.”
“Mbak Dewi nggak mampir ke sini?” tanya Galan tak begitu jelas karena mulut cowok itu fokus mengunyah makanan.
“Dia jengukin mama besok. Baru aja pulang dari bandara, pasti juga capek banget. Kasihan kalau langsung aku suruh masuk buat nengokin mama. Lagian mama juga baru aja bisa tidur.” Melirik ke arah mamanya lagi, lalu beralih menatap adiknya yang masih makan dan terlihat tak peduli dengan ceritanya tadi.
Tapi memang Galan tak dekat dengan Dewi; pacarnya yang bekerja sebagai pramugari. Setiap kali melihat Dewi, pasti Galan sangat cuek dan hanya melenggang pergi begitu saja. Galins nggak pernah masalahin itu, karna ipar yang berbeda gender memang seharusnya tak terlalu dekat, kan?
“Gal,” panggilnya, memerhatikan adiknya dengan serius. “Uumm, ibunya Dika … gimana keadaannya?”
Galan menelan makanan yang berada di mulut lebih dulu. “Mau dioperasi,” jawabnya, membuka botol minum dan meneguk air putih itu.
“Operasi apa?” kedua mata Galins terlihat makin serius dan khawatir.
“Kata Dika tadi sih … patah tulang kaki. Terus benturan kepala gitu. Nggak begitu jelas sih, tapi operasinya malam ini.”
“Lukanya parah?”
“Namanya sampai operasi ya parah, mas. Kalau Cuma dinunul in pakai repanil, pasti nggak sampai dibawa ke rumah sakit.” Tutur Galan, kelihatan gemas sama pertanyaan kakaknya. Detik kemudian keningnya berlipat melihat ekspresi Galins yang lebih khawatir dibandingkan saat nunggu mamanya operasi tadi. “Kenapa nanyain keadaan ibunya Dika?”
Galins menggelengkan kepala, menyandarkan punggung ke sandaran sofa belakang dengan pikiran yang mulai kemana-mana. Tadi pagi dia sempat dengar Tata yang ribut sama Rian di depan rumah sakit. Dan mereka berdua bahas tentang utangan. Apa Tata nyari uatangan buat biaya ibunya?
Tak banyak bicara, Galins langsung beranjak dan melangkah keluar ruang rawat dengan sangat terburu-buru. Galan sampai bengong dan terkejut melihat tingkah kakaknya. Cowok yang memakai topi terbalik itu hanya mendesah dengan gelengan kecil. Memilih mengambil tahu lagi.
“Gal, nama ibunya Dika, siapa?”
Baru saja mulut Galan mangap hendak menggigit tahu, Galins sudah kembali membuka pintu dan menongolkan kepalanya di sana.
Galan menarik tahunya keluar lagi. “Ratih. Mem—laahh ….” Cowok imut itu kembali mendesah melihat pintu yang sudah tertutup lagi. “Kesambet setann bandara tuh orang!” terkekeh kecil dan kembali makan.
Galins berjalan dengan sedikit berlari menuju ke ruang administrasi yang berada di lantai bawah. Sempat tertegun saat berpapasan sengan lelaki yang dia ingat jika tadi pagi menghadang motor Tata. Tak pedulikan itu, Galins melanjutkan langkah, berhenti tepat di depan meja administrasi.
“Mas, saya mau bayar biaya operasi.” Ngomongnya langsung ke petugas yang sekarang berjaga.
“Ada nota pembayarannya nggak, mas?” si mas-nya menatap Galins.
Galins menggeleng. “Nggak ada, saya mau bayar secara diam-diam aja, jadi nggak minta nota ke keluarganya.”
“Oh, atas nama pasien siapa?”
“Uumm, Ratih. Korban kecelakaan yang masuk tadi pagi.”
Kening si mas berlipat, menatap pada layar komputer di depannya. “Itu sudah dibayar, mas. Belum lama, baru … beberapa menit yang lalu.”
Kedua mata Galins mendekik dengan alis yang menyatu. “Yang bayar lelaki yang … yang tadi pakai kemeja biru, bukan?”
Si mas mengangguk, membenarkan. “Iya, atas nama pak Rian handoyo.”
Galin hanya bisa menghela nafas lagi. Niat baiknya untuk bertanggung jawab dengan diam-diam gagal.
**
“Gimana keadaan ibu saya, dok?”
Begitu pintu kaca ruang operasi di buka, Tata dan Dika langsung nyamperin dokter lelaki yang keluar. Dokter yang masih muda itu mengamati wajah Dika dan Tata dengan bergantian. Sedikit menatap Tata lebih lama, ada binar lain di kedua mata dokter itu.
“Kalian kakak adik?” bukannya menjelaskan keadaan pasiennya, tapi dia justru kepo.
Dika atau pun Tata tak ada yang menjawab, keduanya sama-sama mengangguk. Lalu diam menunggu penjelasan dokter yang paling mereka nanti. Detik kemudian tatapan ketiga orang itu beralih saat melihat ada orang yang melangkah mendekat. Di sana Rian ikut bergabung, berdiri tepat di samping Tata.
“Sudah selesai operasinya, Dok? Gimana keadaannya sekarang?” Rian ikut bertanya.
Dokter terlihat menghela nafas sebentar. “Operasinya berjalan lancar.”
Ketiga orang itu menghela nafas lega berbarengan, sampai d**a meraka bergerak bareng juga.
“Tapi karena luka di kepala cukup parah, jadi saya nggak bisa memprediksi kapan pasien akan sadar.” dokter menepuk lengan Tata, menatap iba pada gadis itu. “Kamu yang sabar ya. Banyak-banyak doa biar ibumu baik-baik saja.”
Lagi-lagi Tata mengangguk dengan wajah yang sedih. Lalu dokter itu melenggang pergi meninggalkan mereka bertiga. Dika menggaruk kepala bagian belakang, kedua tangan menekuk di pinggang sembari menatap punggung dokter lelaki yang berlapis kain warna putih itu.
“Gue kan juga anaknya ibuk,” ngomongnya, menunjuk dirinya sendiri.
Rian mengusap punggung Tata, terlihat sangat peduli. “Ibuk udah dioperasi, pasti akan cepat sembuh. Aku sudah bayar untuk ruang rawat kelas dua. Udah ada teve, ada AC-nya dan kamar mandinya ada di dalam. Kamu nungguin ibuk nyaman, ibuk pun juga nggak akan sumpek dan keadaannya pasti akan cepat membaik.”
Tata menggeser tubuh, menjauh dari tangan Rian yang sejak tadi mengusap punggung. Wajahnya udah keliatan menekuk, sedih dan kesalnya bercampur jadi satu. Dika yang melihat itu, melingkarkan tangan ke pundak Tata, merangkul kakaknya.
“Sebenernya nggak perlu pakai perjanjian konyol begitu. Aku udah kelas tiga, dua bulan lagi udah ujian akhir. Aku sama mbak Tata kerja, kumpulin uang buat ganti uang yang udah mas Rian pakai pasti juga bisa kok. Ya … walau nggak bisa sebulan lunas.” Tutur Dika, menatap sebal pada wajah mantan calon kakak iparnya yang cukup tampan ini.
Rian tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Itu akan membebani kalian berdua. Aku ini orang yang nggak suka ngutangin duit. Lebih suka ngasih, lalu minta imbalan.”
Dika mendesah kasar, satu tangannya menekuk menatap makin kesal ke Rian. “Ya kali mas Rian minta imbalannya nikahin mbak Tata. Ya bener sih, itu nggak membebani, tapi ngedorong mbak Tata suruh nyebrang pas kereta mau lewat.”
Mendengar kalimat panjang yang Dika katakan, rian menggaruk keningnya yang berlipat. “Majasmu terlalu rendah, susah aku pahami.”
Nggak peduliin wajah Dika yang kesal dan tak suka padanya, Rian meraih tangan Tata, menggenggam tangan itu dengan binar di kedua mata. “Ta, kamu pikirannya di santaikan dulu aja. Kita nikahnya nggak buru-buru kok. Aku sanggup nunggu ibuk sembuh, baru kita ke KUA untuk nikah siri.”
Kedua mata Tata melotot, dia menarik tangannya kencang, membuat genggaman tangan Rian lepas. Beranjak dari sana, melangkah menjauh untuk mencari ketenangan.
“Ta,”
Dika mencekal lengan Rian saat lelaki itu hampir berlari mengejar langkah kakaknya. “Jangan gangguin mbak Tata deh, mas,” ngomongnya lemah. Dia masih tau sopan santun sama orang yang lebih tua.
“Lho, aku nggak mau gangguin Tata, Dik. Sebagai calon suami yang pengertian, aku paham kalau sekarang Tata sedang butuh untuk dihibur biar sedihnya pergi.”
Sekarang Dika mendekik menahan gemas, pengen jembak rambut Rian. “Aku yakin ya, kalau mas Rian nyamperin mbak Tata, dia bukannya ngerasa kehibur, tapi malah makin pengen nonjok orang.”
“Dik, aku ini—”
Rian tak melanjutkan kalimatnya, karena ponsel di saku celananya berdering cukup nyaring. Dika langsung melepaskan cekalan tangannya di lengan Rian. Membiarkan lelaki itu mengambil ponsel dan menempelkan ponsel ke kuping.
“Hallo, Wul,” sapanya, berbalik memunggungi Dika.
“Mas, kamu beli sabun mandinya di mana sih?! Udah hampir dua jam kenapa belum balik juga? Aku sampai ngantuk nungguin kamu pulang.”
Dika menunduk, menggaruk alis dan menahan tawa mendengar omelan samar dari ponsel Rian.
**
Tata mendaratkan b****g di kursi yang berada di teras samping rumah sakit. Dia menunduk, menatap kedua tangan yang saling memainkan jemari di pangkuan. Bahkan sejak pagi sampai sekarang sudah gelap, dia masih memakai celana dan baju yang sama. Tata mendesah panjang saat sesuatu terasa terpupuk di kedua mata.
Selama beberapa tahun ini, dia sudah berusaha menjadi yang terbaik. Menyanyangi ibu dan adiknya dengan caranya. Ya … walau memang dia tak pernah membantu pekerjaan rumah, tapi semuruh gaji selalu diberikan pada ibu. Hanya memegang sedikit untuk cicilan motor dan uang beli bensin saja. selebihnya, dia benar-benar hanya memegang sedikit saja.
Sekarang ini, jika dengan bersedia menjadi istri kedua Rian ibunya bisa sembuh, sama sekali Tata tak keberatan. Dia rela melakukan apa pun untuk satu-satunya orang yang paling dia prioritaskan di dunia ini.
Tata terlonjak kaget saat dengan tiba-tiba ada bungkusan plastik yang menggantung di depan kepalanya. Cepat dia mengusap kedua mata, mendongak menatap tangan yang sudah mengganggu lamunannya.
Seorang lelaki jangkung, kulitnya putih, rambutnya yang berwarna sedikit coklat sedikit terlihat dibalik topi warna hitam yang menutupi kepala. Kedua alisnya tebal dengan hidung yang mancung. Lelaki berumur 19 tahun itu tersenyum manis saat menyadari jika Tata menatapnya dengan heran.
“Boleh duduk?” ijin si lelaki yang tak lain adalah Galan.
Tak menjawab, Tata hanya menggeser b****g dan tak lagi mau menatap Galan. Keadaan hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja. Seakan moodnya untuk kentut pun ikut menghilang.
“Makan dulu, lo sejak pagi juga belom makan, kan? Tadi gue udah bawain juga buat Dika.” Kembali Galan mengulurkan plastik berwarna putih berisi sterofoam yang entah apa isinya.
Tata menatap yang diulurkan, lalu melirik Galan. “Kenapa kamu ada di sini?”
“Mau nemenin elo.” Cowok imut itu nyengir, membuat Tata mendesah menyandarkan tubuh yang terasa sangat lemas.
Karna Tata tak juga membuka yang dia bawa, Galan membukanya sendiri. Memperlihatkan nasi goreng campur sayur, sosis dan ayam faforit Tata. “Minum dulu, lo bisa sakit kalo ngebiarin perut kosong dengan banyak pikiran.” Mengulurkan botol minum yang tentu sudah dia buka tutupnya.
Tak menolak, karna dia tau. Lemas di tubuhnya ini akibat dari perutnya yang kosong sejak pagi tadi.
“Aakk ….” Interupsi Galan, sekarang menyodorkan sesendok nasi goreng di depan mulut Tata.
Tata mendekik menatap Galan yang mulutnya mangap itu. Wajah ganteng ala bocahnya terlihat lucu. Tata meraih sterofoam yang ada di kursi antara dia dan Galan. “Biar aku makan sendiri aja.”
Mendengar itu, Galan kembali nyengir. Membiarkan Tata mengambil sendok yang ada di tangannya. Lalu diam mengamati cara Tata memasukkan sendok dan mengunyah makanan itu pelan-pelan. Untuk suapan yang entah keberapa, Galan tersenyum gemas melihat ada sedikit nasi yang menempel di sudut bibir Tata. Tanpa rasa canggung tangannya terulur, mengusap bibir Tata yang bergerak-gerak mengunyah makanan itu.
Tata langsung menjauhkan kepala, menatap waspada dengan tangan yang mengacungkan sendok dari plastik itu ke wajah Galan. “Kamu mau apa?!”
“Ngusir tamu yang gagal masuk,” jawabnya enteng, dan kembali cengiran itu membuat Tata mendesah panjang.
Memilih kembali makan karna dia beneran butuh tenaga buat kembali berfikir. Tata menoleh, menatap Galan yang ternyata memerhatikannya terus. “Kamu tinggal di mana? Udah lama temenan sama Dika?” tanyanya disela ngunyah.
Galan mengangguk, wajah bocah itu kelihatan happy banget. “Di kampung Moren. Gue udah sekelas sama Dika sejak kelas satu dulu.”
Kedua alis Tata menaut, mengingat teman-teman Dika yang pernah mengunjungi rumah dan bertemu dengannya. “Kok aku nggak pernah liat kamu? temen-temen nongkrong Dika yang sering ke rumah … juga aku kenal semua.”
“Yaudah, besok gue mampir ke rumah elo.” Sahut Galan cepat dengan bibir yang masih setia tersenyum.
“Nggak usah, ke rumah mau ngapain?” lalu Tata mangap, memasukkan makanan ke mulut.
“Ya buat nongkrongin elo.”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Tata langsung tersendak mendengar kalimat pendek yang Galan ucapkan. Buru-buru dia meraih botol minum yang Galan ulurkan. Terasa banget tangan bocah itu menepuk-nepuk punggungnya. Tata menoleh manatap tajam dengan mulut yang sudah siap ngomel.
“Maksud gue … ngapelin mbak Tata … hehehh ….”
**
nggak ada jadwal up-nya ya, gues. ini beneran slow update
tapi tinggalin komen yah, kalo banyak komen, ntar aku upnya juga cepet...hehehe