BAB 2. Keributan Di Malam Hari

1306 Words
Suara ketukan di pintu ruang kerja, membuat Hendy Albern, pria 40 tahun yang sedang disulut emosi itu sedikit terkejut. Ia menoleh dengan wajah tegang. “Siapa?” tanyanya. Padahal ia tahu kemungkinan besar yang sedang dibalik pintu itu adalah istrinya. “Sayang, tolong buka pintunya, ini aku. Adakah Vince di dalam sana?” Benar saja, yang datang adalah Stella Nicola, wanita berusia 37 tahun, yang selalu berpenampilan anggun, sesuai dengan sifatnya yang lembut dan ramah. Stella adalah wanita kelahiran London. Sedangkan Hendy memiliki darah Inggris hanya dari ayahnya, sedangkan ibunya adalah keturunan bangsawan Yogyakarta yang besar di kota Jakarta. Segera Hendy menutup layar laptop. Ia tak ingin istrinya mengetahui tentang nasib keluarga Robert Delwyn yang melibatkan dirinya di belakang layar. Hendy berdiri, lalu membuka pintu yang memang sengaja ia kunci tadi. Sebelumnya pandangannya sempat beredar ke seluar sudut ruangan. “Stella, kau mencari Vince lagi?” “Ya, kupikir dia telah meringkuk di dalam selimut. Saat aku masuk ke kamarnya untuk sekadar mengecek, ternyata anak itu tak ada di sana. Huh! Dia selalu sulit tidur cepat, padahal ini sudah sangat malam.” Stella melihat jam di pergelangan tangan. Namun, Hendy justru terkekeh kecil. “Dia seperti aku, yang suka begadang hingga larut malam. Sebab banyak hal yang harus dipikirkan. “Ya ampun Sayang, dia masih 10 tahun, apa dia juga memikirkan banyak hal? Hemm? Ayolah bantu cari dia di sekitar rumah. Anak itu suka sekali bersembunyi.” Stella berjalan dengan anggun meninggalkan suaminya, untuk mencari lagi di ruangan lain. Ia berharap Helga dan Selyn, dua orang pengasuh di mansion itu, telah menemukan putranya di sudut ruang lain. “Vince! Sayang! Ayolah ini sudah hampir larut malam, berhenti bermain!” Stella masih terus mencari dan memanggil-manggil nama putranya. Sedangkan Hendy, setelah memastikan istrinya sudah pergi, ia kembali masuk ke ruang kerjanya, lalu mematikan laptop. Kemudian mematikan lampu utama, hanya tinggal lampu baca yang dibiarkan menyala. Sebab seringkali jika insomnianya kambuh, maka ia akan mendatangi ruang kerja ini, lalu membaca buku apapun di atas sofa di tengah ruangan. Pria 40 tahun itu menutup pintu ruang kerja. Lalu menuruti permintaan sang istri, untuk turut membantu mencari putra mereka di sekitar rumah. Setelah memastikan situasi telah aman, Vince keluar dari persembunyiannya. Ia memindai ke seluruh sudut ruangan itu, sekali lagi hatinya berkata bahwa sudah benar-benar aman. Namun, rasa penasaran yang tinggi, membuat anak laki-laki itu bukannya langsung keluar dari ruang kerja papanya, tapi justru mendekati meja kerja di pojok ruangan. Ia berjalan mengendap-endap seperti seorang penyusup. Meniru salah satu film detektif yang pernah ia tonton. Lalu dibukanya layar laptop milik papanya dengan sangat hati-hati. Tentu saja laptop itu menggunakan password. Sebab banyak data penting milik Hendy Albern di dalamnya. Namun, jangan sebut dia Vince jika tak mengetahui password itu. Dengan cepat Vince dapat menulis password yang diminta, dan langsung berhasil pada percobaan pertama. Terbukti, ada gunanya juga dia sering bersembunyi dan mengintip apa saja yang membuatnya penasaran. “Ah, berhasil,” desisnya dengan senyum terpancar. Dengan cepat anak 10 tahun itu membuka folder-folder yang ada di dalam laptop. Dan kedua bola matanya berbinar penuh rasa penasaran, ketika melihat file dengan judul, misi Robert Delwyn dan Emma Carrie berhasil. Ia telah mendengar kedua nama itu ketika tadi sang papa menerima telepon dari salah satu orang kepercayaannya. Vince menoleh ke arah pintu, menajamkan pendengaran, memastikan tidak mendengar langkah orang mendekati ruangan itu. Setelah dirasa aman, segera ia membuka file itu. Dan terpampanglah semua foto serta video mengerikan yang tadi sempat ia lihat dari jarak lebih jauh. Keningnya mengernyit dan terdengar suara meringis pelan. Lalu saat memutar salah satu video, sesekali Vince menutup matanya dengan telapak tangan sebab terlalu mengerikan bagi anak seusianya. “Tadi kulihat ada seorang anak kecil. Mana dia?” gumam Vince dengan berbisik. Wajahnya semakin dekat ke layar laptop. Dan teriakannya tertahan saat menemukan sosok seorang anak kecil yang sedang duduk berlutut di tepi jalan. Anak perempuan itu pasti sangat ketakutan, dan dia masih sangat kecil, pikir Vince. Sudah pasti usianya di bawah dia. “Papa tega sekali.” Sontak kepala Vince menoleh ke arah pintu ruangan, ketika didengarnya suara-suara yang semakin dekat. “Kau yakin Helga? Bukankah tadi Tuan Hendy habis dari ruang kerjanya?” Terdengar suara Selyn dari kejauhan. Salah satu pelayan wanita di rumah itu, yang baru setahun ini mengabdi sebagai pengasuh Vince. Sedangkan Helga termasuk pelayan senior, ia telah bekerja di kediaman Hendy Albern selama nyaris seumur Vince. “Hanya ruang itu dan ruang bawah tanah yang belum kuperiksa. Kau pilih yang mana, Selyn?” “Tentu saja ruang kerja Tuan Hendy,” jawab Selyn cepat. Lalu memilih tak bertanya lagi. Helga membuka pintu ruang kerja yang cukup luas, pintu itu memang tidak pernah dikunci, kecuali jika Hendy Albern mengadakan rapat bersama para koleganya di ruangan itu. Atau, jika ia sedang merahasiakan sesuatu yang penting. “Selyn, cepat cari ke setiap sudut ruangan. Ini sudah lewat jam sebelas malam. Kita tidak boleh bangun kesiangan besok pagi,” ujarnya dengan nada suara cukup tinggi. Agak kesal juga Helga di jam selarut itu, ia masih harus disibukkan oleh tuan kecilnya yang nakal. Setelah memindai seisi ruangan yang tampak kosong, Selyn segera memeriksa ke bawah kolong meja kerja yang cukup besar. Tidak ada, dia membuka setiap pintu lemari yang bisa dibuka. Karena kebanyakan lemari di dalam ruangan itu memang besar-besar ukurannya. Jadi anak sekecil tuan mudanya tentu akan sangat mudah menyelinap ke dalam lemari itu. Sedangkan Helga, pelayan wanita bertubuh agak besar itu, langsung menuju ke arah toilet. Dibukanya pintu toilet, dan memeriksa di sana, tapi hasilnya sia-sia. Lalu ia berdiam diri sejenak, mencoba berpikir jernih. Pandangan matanya menelusuri seisi ruangan dengan lebih teliti. Dan tiba-tiba ia terpaku pada satu sudut. Eh, apa itu? Kening Helga mengernyit. Lalu dengan langkah hati-hati, ia menuju ke arah jendela. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Sepasang kaos kaki tampak menyembul dari bawah gorden yang hampir menyentuh lantai. Dan senyuman di bibir Helga telah tercipta sesaat sebelum ia menyibak gorden berwarna gold itu. “Aha! Ketemu!” serunya dengan mata berbinar. Dug! “Aw!” Selyn mengusap keningnya yang kepentok pintu lemari. Sebab ia sempat terkejut dengan ucapan Helga barusan. “Ya ampun, dasar anak nakal! Apa yang kau lakukan di sini Vince?” Helga geleng-geleng kepala. “Tuan muda sudah ketemu?” Segera Selyn berlari ke arah Helga. Ya, Hanya Helga satu-satunya pelayan di kediaman itu, yang dengan leluasa bisa memanggil Vince saja, tanpa embel-embel tuan muda. Sebab dia bukanlah sekadar pelayan senior, tapi juga orang kepercayaan Nyonya Stella Nicola. Sekaligus pengasuh Vince sejak masih bayi. “Ya ampun!” pekik Selyn sambil memegang kedua pipinya. Vince Reviano Albern tampak tertidur pulas dengan posisi duduk dan bersandar pada tembok. Kepalanya sedikit miring, dan mulut yang sedikit terbuka. Namun keributan tengah malam di mansion mewah itu, tak sebanding dengan apa yang terjadi di sebuah rumah di kawasan Camberwell. Marion Alberta, wanita 35 tahun, masih saja cemberut sejak lima belas menit lalu. Dia marah besar karena sang suami pulang dengan membawa seorang anak kecil. Marion yang cemburuan mengira aank itu adalah selingkuhan suaminya. “Ruben! Apa kau masih tidak mau menjawab dengan jujur? Hemm?!” Kedua tangannya di pinggang. Dengan mata yang melotot pada sang suami. Ruben menghela napas dengan berat. Dia tahu akan menghadapi hal ini jika membawa anak sialan itu pulang ke rumah. Tapi pikirannya seperti sedang buntu, tak tahu harus berbuat apalagi selain ini. Ia seperti tak punya pilihan lain. Setidaknya hanya untuk malam ini saja, pikirnya. Tapi istrinya itu tak mau mengerti sejak tadi. “Marion, istriku, harus berapa kali lagi kubilang, aku baru bertemu anak ini malam ini. Aku tidak berselingkuh! Sungguh!” Marion melengos kesal. Ruben menatap anak kecil berusia 5 tahun itu, yang sedang duduk di pojokan sofa ruang tamu dengan tubuh gemetar. “Hei! Siapa namamu?” Gadis kecil dengan rambut kuncir belakang itu meringis memegang luka pada tangannya. “Zara,” jawabnya lemah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD