BAB 18. Bertemu Sahabat

1007 Words
Karena kemarin Vince melarangnya untuk masuk kerja dulu, diminta beristirahat lagi untuk beberapa hari, maka pagi ini Zara memutuskan untuk pergi sendiri saja. Memang dia sengaja berangkat tidak terlalu pagi. Menunggu Glenn yang berangkat kerja lebih dulu, barulah dia keluar kamar. Zara telah siap dengan setelan casual dan ransel putihnya. Tidak lupa juga dengan kets putihnya. Zara menuruni anak tangga dengan hati-hati, dia bertemu dengan beberapa pelayan. “Mbak, kalau ada yang tanya saya kemana, bilang saja ke supermarket, saya mau belanja.” “Baik, Nyonya. Oh ya Nyonya, kalau begitu biar saya kasih tahu sopir untuk siapkan mobil.” “Ohh, nggak perlu, Mbak. Biar saya berangkat naik taksi saja.” “Ohh begitu … baik Nyonya.” Pelayan itu mengangguk sedikit membungkuk, begitu patuh tanpa bertanya lagi. Zara langsung keluar dari mansion, dia telah memesan taksi dan sebentar lagi akan sampai di depan. Ternyata taksi tidak membawa Zara ke supermarket atau ke tempat pembelanjaan lain. Melainkan terus menyisir hingga ke pinggiran ibu kota, memasuki sebuah gang yang masih dapat dilalui oleh dua mobil meskipun mepet sekali. Lalu taksi berhenti di depan sebuah rumah kontrakan yang berjajar rapi dengan belasan rumah kontrakan lainnya. Zara mengetuk pintu rumah yang paling pojok. Tidak ada jawaban dari dalam, tapi detik kemudian pintu terbuka. “Zaraaa!” seru seorang gadis yang kira-kira seumuran dengan Zara. Raut wajahnya terlihat sangat bahagia dan begitu merindukan Zara. Keduanya langsung berpelukan dengan begitu erat. “Ah, Bella, aku kangen banget!” ucap Zara dalam pelukan Bella. “Apalagi aku, sepi banget nggak ada kamu, Zara!” Setelah puas melepas rindu dalam pelukan, keduanya masuk ke dalam rumah kontrakan kecil dengan satu kamar tersebut. Bella adalah teman kerja Zara dulu sebelum dia akhirnya diterima di perusahaan Tekstil Dirgantara yang dipimpin oleh Vince. Dan selama masih sama-sama bekerja di sebuah restoran cepat saji sebagai pelayan, mereka berdua tinggal berdua di rumah kontrakan kecil ini. Namun sejak Zara pindah kerja sekaligus pindah tempat tinggal, Bella menemukan teman baru yang cocok untuk tinggal bersama. Pikir Bella, hanya dengan Zara dia bisa bertengkar adu mulut pada malam hari, lalu besok pagi sudah membuat sarapan bersama sambil tertawa lepas. “Zara! Kamu sombong banget sih! Sudah lama baru main lagi kesini. Segitu sibuknya ya kamu?” Bella mengerucutkan bibirnya yang tipis. Zara terkekeh. “Maaf, Bel. Pekerjaan ku yang sekarang memang super sibuk. Bos ku itu ampun banget deh disiplinnya. Dia itu workaholic, jadi aku malu dong kalau bolos kerja atau izin padahal masih terhitung karyawan baru.” Bella bergidik seraya mengangkat kedua bahunya. “Ternyata punya bos tampan nggak selalu menyenangkan, ya. Lebih baik bos kita di restoran dong. Walaupun cerewet tapi sangat pengertian sama anak buah.” Zara menjentikkan jarinya di depan wajah. “Betul sekali, Bel! Kadang-kadang aku kangen dengan tempat kerja lama. Kalau aku bosan jadi pelayan, boleh jadi kasir. Kalau bosan juga jadi kasir, boleh ikut bagian promosi turun ke lapangan. Bos kita memang luar biasa!” Kemudian keduanya tergelak bersama. Mengingat masa-masa bahagia saat mereka bekerja bersama. “Umm … lalu Zara, bagaimana dengan penyelidikanmu? Apa ada kemajuan?” Kini nada suara Bella sengaja dikecilkan, seperti orang berbisik. Dia tidak mau ada orang lain dari rumah sebelah atau di depan rumah mereka yang ikut mendengar. Raut wajah Bella terlihat sangat serius sekarang. Sepasang bola mata indah Zara juga langsung menatap sang sahabat dengan begitu serius. “Bel, aku sudah bertemu dia.” Nada suara Zara ditekan, layaknya sedang membicarakan satu rahasia besar dan penting. “Dia? Maksudmu ….” Meskipun Bella tahu, tapi dia takut mengatakannya. Sebab ini terlalu sensitif bagi Zara. Maka Bella membiarkan Zara yang melanjutkan saja. Zara mengangguk pelan tapi sangat meyakinkan. “Ya, Bel. Aku sudah bertemu dengan si pembunuh. Dalang dari peristiwa malam itu.” Kedua bola mata Zara memicing. Jelas sekali dalam netra coklatnya, tersimpan luka dalam yang telah lama terpendam tapi tidak akan pernah bisa hilang. “Oh, ya ampun! Maksudmu … Hendy Albern?” Kepala Bella sedikit dimiringkan, dia menatap lekat-lekat pada Zara. Bella bisa tahu semuanya sebab dialah satu-satunya teman berbagi yang bisa dipercaya oleh Zara. Dengan adanya Bella, Zara bisa berbagi kisah nyata yang kelam dan pedih, dari masa kecilnya hingga akhirnya memberanikan diri keluar dari tempat pengasingan. “Iya. Hendy Albern. Pembunuh sialan! Sepertinya dia hidup berumur panjang hanya untuk menunggu pembalasan dendam dariku!” desis Zara geram. Kedua tangannya terkepal kencang. Bella cukup takut melihat kemarahan Zara. Dia segera mengusap punggung Zara untuk menenangkan. “Sabar, Zara. Kamu kan ingin membalas dendam dengan cerdas, jadi jangan terbawa emosi, oke?!” Bella juga mengusap lembut rambut panjang Zara. “Bel.” “Hmm?” “Aku ingin membunuhnya dengan cara yang sadis tapi pelan-pelan saja. Supaya dia bisa merasakan tiap inci rasa sakitnya. Jangan cepat mati sampai aku puas melihatnya!” “Zara! Kendalikan dirimu. Ayolah Zara, jangan gegabah. Aku hanya ingin melihatmu berhasil membalas dendam kemudian bebas tanpa terikat apapun atau siapapun. Kamu mengerti, kan? Jangan sampai tertangkap, Zara.” “Ya, aku mengerti. Tentu saja.” Raut wajah Zara kembali melunak. Ada senyuman di sana. Dia merangkul Bella lalu menggelitikinya. “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.” Bella menarik napas lega. “Oh ya, lalu bagaimana dengan putra-putranya? Apa kamu juga mengincar mereka?” “Umm ….” Zara tampak berpikir sejenak. “Entahlah. Mereka termasuk masih kecil-kecil waktu kejadian itu. Tapi aku akan mencari tahu, apakah mereka berdua tidak pernah tahu dengan kejadian itu atau tahu dan memilih tidak peduli. Lihat saja akibatnya kalau ternyata mereka memang tahu dan tidak peduli!” Zara langsung terbayang pada wajah Vince dan Glenn. Dua putra tampan Hendy yang sedang sengaja didekatinya. Bella bergidik sendiri melihat kilat kemarahan pada bola mata Zara, padahal detik sebelumnya gadis itu tersenyum. Bella yang selalu menjadi tempat Zara bercerita apapun, tahu persis bagaimana perihnya luka masa kecil Zara. Ditinggal kedua orangtua dengan sangat tragis. Menyaksikan kedua orangtuanya meninggal dunia dalam kecelakaan maut, persis di depan mata. Belum lagi setelah itu harus merasakan diasingkan dari dunia luar. Hidup kesepian bersama dengan orang asing yang merawatnya, yaitu Ruben Scirloc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD