Bab 4: Lebih Baik Mengakhiri

1088 Words
*** “Tuan, apakah Anda baik-baik saja?” tanya wanita yang merupakan asisten Nathan, Daisy namanya. Ia memiliki postur tubuh mungil, kulit cerah seputih s**u, dan … wajah yang sangat cantik. “Ah, maaf jika saya lancang,” ia tampak gugup ketika ditatap datar oleh Nathan. “Saya hanya mencemaskan keadaan Anda. Sejak tadi … saya melihat Anda tidak fokus. Bahkan, beberapa pertanyaan dari klien cukup lama Anda tangkap.” Sejenak, Nathan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia menegakkan tubuh, kemudian menyandarkan punggung di sandaran sofa. Saat ini, ia dan Daisy masih berada di dalam sebuah ruangan VVIP di restoran setelah mengadakan pertemuan dengan klien. Nathan meraup wajahnya dengan kedua tangan, menandakan betapa gelisahnya ia. Sejak pagi tadi, ia belum bisa mengusir bayangan Mary dari pikirannya. Wanita cantik itu memenuhi pikirannya dan membuatnya khawatir. Rasanya, Nathan ingin pulang saat ini juga untuk menemui kekasihnya itu, memastikan langsung apa yang terjadi dengan Mary. Namun, Nathan juga tidak ingin egois dengan mencampuradukkan masalah pribadinya dengan pekerjaan. Ia tidak ingin mengecewakan pamannya, Dominic, dengan cara membuat kekacauan dalam sekejap semua rencananya yang sudah lama disusun. “Aku baik-baik saja,” jawab Nathan kemudian, melirik Daisy sekilas. “Kamu sudah selesai makan?” tanyanya. Daisy mengangguk pelan. “Sudah, Tuan. Anda sendiri, apakah sudah?” “Ya, aku sudah selesai,” jawab Nathan, padahal ia tidak menyentuh satupun menu yang tersaji di depannya. Ia tidak berselera, merasa perutnya sangat kenyang. “Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke hotel. Kamu bisa istirahat dulu sebelum kita melanjutkan pertemuan berikutnya,” kata Nathan. Daisy mengangguk dengan sigap setelah mendengar ucapan Bosnya itu. Nathan berdiri dari duduknya, meraih ponsel yang terletak di atas meja. Sejenak ia mengetuk layar, berharap mendapatkan pesan dari Mary, namun ternyata tidak ada sama sekali. Menghela napas berat, Nathan menyimpan benda pipih itu ke dalam saku jasnya dan melangkah keluar dari ruangan VVIP tersebut, diikuti oleh Daisy di belakangnya. ‘Tuan Nathan kenapa ya? Sepertinya tidak mungkin dia baik-baik saja. Pasti ada masalah. Atau … ada hubungannya dengan Nona Mary? Hmm, tapi kemarin mereka baik-baik saja, bukan? Sebelum kami berangkat, Nona Mary juga sempat menghubungiku,’ batin Daisy, bingung sambil melangkah. Daisy sungguh bingung dengan perubahan sikap Nathan sejak tadi pagi. Di sisi lain, kemarin sebelum ia dan Bosnya itu berangkat, ia sempat mengobrol dengan Mary lewat telepon. Seperti biasa, wanita itu meminta tolong kepadanya untuk selalu memastikan Nathan makan tepat waktu. Tidak hanya saat Nathan berada di luar kota, tetapi juga setiap harinya, saat di kantor, Mary selalu menghubungi Daisy. Sehingga bisa dibilang Mary dan Daisy memiliki hubungan yang cukup baik meskipun tidak begitu dekat. Mary menyukai sikap Daisy yang sopan, pun sebaliknya— Daisy mengagumi Mary yang … humble meskipun wanita itu adalah kekasih Bosnya. *** Di apartemen Mary saat ini, wanita itu duduk termenung di balkon. Mungkin sudah hampir tiga jam ia menghabiskan waktunya di sana tanpa melakukan apa pun. Mary terus melamun. Pikirannya kosong. Kejadian semalam sukses menghancurkan hidupnya. Bagaimana tidak, semua harapannya telah dihancurkan oleh pria yang sangat dibencinya selama ini. Victor Marson. ‘Kalau Nathan pulang nanti, mungkin sebaiknya aku bicara sama dia. Memutuskan hubungan ini secara baik-baik mungkin adalah langkah yang tepat,’ batin Mary. ‘Apalagi yang bisa aku harapkan sedangkan kondisiku saja seperti ini? Apa yang bisa aku banggakan di hadapan Nathan, sedangkan diriku sehina ini?’ ‘Tidak … aku tidak pantas lagi bersamanya. Dia itu terlalu baik, terlalu sempurna untuk wanita kotor seperti aku ini.’ ‘Dia berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada aku. Apalah aku ini? Wanita yang … semalam habis diperkosa. Mana mungkin Nathan akan bersanding dengan wanita bekas dari pria lain seperti aku ini.’ ‘Tidak! Mary, sadarlah. Sadar diri itu penting. Jangan harapkan apapun lagi. Jangan buat malu dirimu sendiri dengan mengharapkan hubunganmu dengan Nathan akan baik-baik saja.’ ‘Selesaikan secepatnya dan lepaskan Nathan. Biarkan dia bebas menentukan jalan hidupnya. Biarkan dia menemukan penggantimu. Jangan egois, Mary.’ Sekali lagi, Mary menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Dadanya terasa sesak, terhimpit rasa yang tidak tertahankan. Teramat menyakitkan. Detik berikutnya, ia bangkit dari duduknya, memutar tubuh, lalu masuk ke dalam kamar, menutup rapat pintu balkon dan menguncinya. Dengan langkah lemah, Mary menuju ranjang. Ia membaringkan tubuhnya yang lelah di atas kasur dengan posisi miring, menarik selimut ke atas tubuh seraya menutup mata, mencoba untuk tidur. Mary berharap dapat melupakan semua yang terjadi. ** Beberapa jam kemudian… Tepat jam 12 malam, Nathan tiba dari luar kota. Sesampainya di bandara, Nathan meminta supirnya untuk mengantar Daisy ke apartemen wanita itu, disaat yang sama ia segera menuju club untuk bertemu dengan Mary. Nathan berharap bisa bertemu sebentar dengan wanita itu, hanya sekadar memastikan bahwa Mary dalam keadaan baik. Mengenai alasan mengapa wanita itu tidak menjawab panggilannya atau membalas pesannya sejak kemarin, Nathan berencana membahasnya nanti— sebab ia sadari bahwa saat ini adalah waktu kekasihnya bekerja. Setelah menempuh perjalanan dari bandara menuju club, akhirnya Nathan sampai di tempat tersebut. Ia turun dari mobil dan segera melangkah lebar masuk ke dalam club. Suasana yang menyambutnya saat masuk tentu saja bising. Dentuman musik terasa memekakkan telinga, namun Nathan tak peduli dengan semua itu karena ia hanya ingin bertemu dengan kekasihnya. “Mary di mana?” tanya Nathan kepada salah seorang bartender di bar, setelah mengangkat tangan tanda bahwa ia menolak minum. “Mary tidak masuk malam ini. Dan dia juga tidak ada kabar,” jawab pria tersebut, salah satu rekan kerja Mary. Mendengar jawaban pria itu, Nathan sontak mengerutkan kening. “Tidak masuk?” ulangnya sekedar memastikan. “Iya, betul, dia tidak masuk,” jawab pria itu sambil mengangkat bahu. “Biasanya, kalau dia sedang sakit atau ada keperluan, dia selalu ngabarin. Tapi untuk malam ini, tidak sama sekali,” terangnya panjang lebar. Nathan mengangguk pelan. “Oke, thanks!” Tanpa menunggu respons dari lawan bicaranya, Nathan segera memutar tubuh, meninggalkan bar dengan langkah lebar. Kini ia duduk di dalam mobil. Dadanya berdebar kencang serta napasnya yang terengah-engah. “Apa yang terjadi padamu, Mary?” gumamnya seraya mengikat sabuk pengaman. Wajahnya terlihat cemas. Ia sangat mengkhawatirkan kekasihnya itu. Nathan melajukan mobilnya meninggalkan Nightclub tersebut, dan tujuannya kini adalah apartemen Mary. Ia berharap dapat menemukan wanita itu di sana dalam keadaan baik. Setelah seharian penuh beraktivitas di luar kota, mestinya Nathan merasakan kelelahan yang luar biasa. Namun, semua itu tidak terasa karena rasa khawatirnya terhadap Mary. ‘Aku tidak mengerti mengapa kamu seperti ini. Tapi … aku harap, apapun itu, semoga kamu baik-baik saja, sayang,’ batin Nathan, melirik kaca spion. Ia kemudian menambah kecepatan laju mobilnya, ingin cepat-cepat sampai di apartemen Mary. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD