Bab 7: Sebuah Kebetulan

1859 Words
*** Jam delapan pagi, cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela kamar Mary. Di atas ranjang, wanita itu tidur pulas, ditemani Nathan yang setia memberikan pelukan hangatnya sepanjang malam. Posisinya yang membelakangi Nathan dan wajahnya yang menghadap ke arah jendela membuat cahaya matahari menerpa kulit wajahnya yang mulus. Detik demi detik, ia mulai terusik oleh rasa hangat yang cenderung panas dan silau, meskipun matanya masih tertutup. Mary bergerak pelan, mengubah posisi tubuhnya untuk menghadap Nathan. Di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya, ia membawa sebelah tangan untuk memeluk pria itu. Wajahnya semakin dekat ke d**a bidang pria itu, dan tubuhnya semakin rapat seolah mencari ketenangan. Di sisi lain, Nathan sudah terjaga sejak satu jam yang lalu. Namun, pria itu tak beranjak sedikitpun dari tempat tidur. Ia tidak ingin meninggalkan Mary sebelum wanita itu terbangun. Nathan menggulung senyum, merasakan pelukan erat Mary di tubuhnya, lalu mengecup lembut di atas kepala Mary. Rupanya, perlakuan lembutnya itu dirasakan oleh Mary. Wanita itu membuka mata perlahan, mulai menyadari bahwa saat ini dia tidak sendiri. Semakin ia membuka mata, pandangan pertamanya yang ia temukan adalah d**a bidang Nathan yang berbalut singlet putih. Mary memundurkan wajah, mengangkat kepala tinggi-tinggi hingga tatapannya bertemu dengan Nathan. Pria itu mengulas senyum tulus. "Selamat pagi," sapanya lembut, diiringi kecupan hangat yang dilabuhkan di kening Mary. Beberapa saat, Mary terdiam, menatap Nathan dalam diam, memperhatikan wajahnya yang baru bangun tidur. "Pagi," jawabnya akhirnya, meskipun suaranya lirih. Kemudian, Mary menarik pandangannya ke arah jam dinding di kamarnya. "Kamu tidak berangkat kerja?" tanyanya setelah menyadari bahwa saat ini sudah jam delapan pagi. Mary hendak menarik diri, tetapi Nathan dengan sigap menahan lengannya yang melingkar di tubuhnya. “Biarkan sebentar seperti ini. Kita nikmati suasana pagi yang hangat ini,” ucap Nathan dengan suara pelan, serak khas bangun tidur. Mary terdiam, menatap lekat pada Nathan dan membiarkan tangannya tetap melingkar di tubuh pria itu. “Aku tidak masuk kerja hari ini,” sambung Nathan, menjawab pertanyaan Mary sebelumnya. “Kenapa?” tanya Mary dengan suara lirih. “Aku lelah dan… ingin seharian ini bersamamu,” jawab Nathan. Mary terdiam mendengarkan ungkapan pria itu, merasakan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ah… bahkan Mary sendiri tidak sanggup menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Akhirnya, ia menarik pandangannya dari Nathan, tak sanggup berlama-lama menatap pria baik itu. Ia merasa sangat bersalah telah membuat kekasihnya khawatir sejak kemarin, membuat pria itu bingung dengan sikapnya. Mary semakin merapatkan tubuhnya dan kembali membenamkan wajahnya di d**a Nathan, menutup mata untuk menahan air mata yang hampir menetes. Beberapa saat kemudian… Setelah Mary dan Nathan puas menikmati momen tenang berdua di atas tempat tidur, mereka memutuskan untuk segera mandi. Mereka mandi bergantian; Mary menyuruh Nathan terlebih dahulu, sementara ia ke dapur untuk melihat bahan makanan apa saja yang dapat diolah untuk menu sarapan. Setelah membuka kulkas, Mary mendapati bahwa isi kulkasnya nyaris kosong, tidak banyak bahan makanan yang tersedia, termasuk bahan untuk sarapan. Mary belum sempat berbelanja. Akhirnya, ia memutuskan untuk memesan makanan dari luar. Setelah Nathan selesai mandi, Mary masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. “Terima kasih, Daisy,” ucap Nathan sambil menyambut sebuah paper bag yang disodorkan oleh Daisy kepadanya. “Maaf sudah merepotkanmu,” sambungnya. Sebelum Nathan masuk ke kamar mandi, ia menghubungi Daisy terlebih dahulu untuk meminta wanita itu mengambil pakaian di apartemennya dan mengantarkannya ke apartemen Mary. Daisy sudah cukup lama bekerja dengan Nathan, sekitar empat tahun wanita itu merangkap sebagai sekretarisnya. Hubungan keduanya cukup dekat, meskipun tetap hanya sebatas atasan dan bawahan. Selama ini, Daisy cukup banyak membantu Nathan, terutama di luar pekerjaan, karena status pria itu yang masih sendiri. “Sama-sama, Tuan,” balas Daisy sambil mengulas senyum sopan. “Saya sama sekali tidak merasa direpotkan,” sambungnya, kemudian melirik ke belakang Nathan dan melihat Mary menghampiri mereka. Daisy menggeser tubuhnya, melempar senyum hormat kepada wanita yang merupakan kekasih Bosnya itu. “Selamat pagi, Nona Mary,” sapanya dengan kepala yang menunduk hormat. "Selamat pagi, Daisy," balas Mary dengan melempar senyum tak kalah ramah. Nathan segera masuk ke kamar Mary untuk mengganti baju, sebab saat itu ia masih mengenakan bathrobe. "Kamu sudah sarapan? Kalau belum, ayo sarapan bersama kami," ajak Mary. Daisy tersenyum. "Sebelumnya, terima kasih banyak, Nona. Bukan bermaksud menolak atau tidak menghargai Anda, tetapi saya sudah sarapan," balasnya. Mary mengangguk pelan. "Karena tugas saya sudah selesai, saya pamit pergi, Nona. Saya harus buru-buru ke kantor." "Ah, iya, silakan. Sekali lagi, terima kasih, Daisy, sudah mengantar pakaian Nathan ke sini," ucap Mary. "Sama-sama, Nona," jawab Daisy sambil tersenyum. Kemudian, wanita cantik itu memutar tubuh dan melangkah, diikuti oleh Mary di belakangnya. Daisy pun pergi. Mary menutup pintu dan melangkah menuju meja makan. Tinggal menunggu Nathan selesai bersiap-siap, maka mereka akan sarapan bersama. Mary masuk ke dapur untuk membuatkan kopi kesukaan Nathan. Setelah selesai, ia keluar dengan membawa kopi yang dibuat dan meletakkannya di atas meja, sementara itu, Nathan sudah selesai dan kini sudah berada di meja makan. Menit berlalu, keduanya sarapan dalam diam. Mary berusaha agar terlihat baik-baik saja di hadapan kekasihnya itu, meskipun jujur saja ia sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut. Padahal, dari kemarin ia tidak makan, dari pagi hingga malam, baru pagi ini ia mengisi perutnya. "Tadi Aunty Hannah telepon, dia meminta agar aku menjemputmu dan membawamu ke Mansion untuk makan siang bersama di sana," ucap Nathan setelah menelan sisa makanan dalam mulut sambil menatap Mary di sampingnya. "Bagaimana menurutmu? Apakah kamu bersedia makan siang di sana?" tanyanya kemudian. Mary terdiam, menatap lekat pada Nathan dengan perasaan ragu. Nathan sepertinya mengerti apa yang tengah dirasakan oleh kekasihnya itu. "It's okay... Kalau misalkan kamu tidak bersedia, nanti aku bisa kasih alasan lain pada Aunty," Nathan tersenyum sambil mengedikkan bahu. "Mungkin dengan alasan aku mengajakmu makan siang di luar. Dan aku yakin, kalau alasannya seperti itu, Aunty tidak akan memaksamu untuk makan siang di Mansion. Dia lebih mementingkan waktu kebersamaan kita." Mary mendesah pelan. Dia tahu keluarga Nathan begitu baik terhadap dirinya, dan yang lebih penting, mereka sangat mendukung hubungan antara dirinya dan Nathan. Apalagi, Hannah, wanita paruh baya itu, sudah seperti Ibu kandung bagi Mary. "Tidak apa-apa, aku bersedia," ucap Mary meskipun enggan, tetapi dia ragu menolak. Tidak enak hati terhadap Hannah dan juga tidak ingin membuat Nathan kecewa lebih dalam terhadap dirinya. Nathan tersenyum. "Baiklah, nanti jam 11.00 kita ke sana. Sekarang masih jam 10.00, masih ada waktu satu jam lagi. Tapi ingat, Sayang, jangan paksakan dirimu. Kalau sekiranya kamu tidak siap dan merasa tidak nyaman, maka kamu tidak perlu melakukannya." Menggeleng pelan, Mary berkata, "Tidak apa-apa, aku tidak merasa terpaksa sama sekali. Aku mau kok kita makan siang di sana. Dan kamu juga tidak bekerja ‘kan hari ini?" "Ya, mungkin nanti malam aku akan mengerjakan pekerjaanku di apartemen sambil menunggumu pulang kerja. Kamu masuk kerja ‘kan nanti malam?" tanya Nathan. Mary mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu, mereka melanjutkan sarapan sambil mengobrol ringan di meja makan. Nathan tampak lega melihat kondisi Mary yang jauh lebih baik dari sebelumnya, meskipun jujur saja, sampai saat ini dia masih penasaran dan bertanya-tanya apa sebenarnya permasalahan yang menimpa kekasihnya itu. Namun, karena Nathan tidak ingin merusak momen kebersamaan mereka atau membuat Mary bersedih, ia pun memutuskan untuk tidak membahasnya terlebih dahulu. Mungkin nanti, setelah Mary siap, ia akan bertanya secara perlahan kepada wanita itu. ** Mansion Hilton… Di ruang kerja, Dominic, pria paruh baya itu, duduk bersama Victor dan Olso. Mereka membahas beberapa hal seputar pekerjaan, tepatnya bisnis Dominic yang tengah dikelola oleh Victor di Florida. Dominic sengaja tidak mengadakan pertemuan dengan mereka di markas karena Hannah ingin agar Victor makan siang bersama mereka. Bukan tanpa alasan Hannah meminta hal tersebut kepada suaminya. Sejak pertemuan pertamanya dengan Victor waktu lalu, Hannah jadi tertarik untuk mendekatkan Victor dengan putrinya, Alea. Sebelumnya, Hannah sudah meminta bantuan Dominic untuk hal itu, tetapi Dominic menolak karena ia sudah pernah menawarkan hal tersebut kepada Victor, namun pria itu menolak. Bahkan saat pertama kali Dominic membebaskan Victor dari penjara, ia memperkenalkan putrinya kepada Victor dengan harapan Victor tertarik pada Alea, sehingga ia bisa menjauhkan wanita itu dari Michael, pria yang saat ini telah resmi menjadi menantunya, suaminya dari putri keduanya, Jihan. Namun, sangat disayangkan Victor sama sekali tidak tertarik pada Alea, begitu pula sebaliknya, sehingga Dominic pun menyerah untuk mendekatkan mereka. Apalagi saat ini Dominic tidak ingin mengambil risiko dengan mendesak Victor untuk dekat dengan Alea, sebab ia khawatir Victor marah dan akan berbalik mengacaukan rumah tangga putri keduanya. Bagaimanapun, Victor sangat mencintai Jihan, bahkan sampai saat ini. Mengenai undangan makan siang Hannah untuk Victor, Dominic sengaja tidak menolak rencana istrinya itu karena tidak ingin mengecewakan. Namun, Dominic tetap memberikan penjelasan kepada Hannah agar kedepannya wanita itu tidak berambisi melakukan sesuatu yang pada akhirnya bisa menghancurkan rumah tangga putri kandung mereka sendiri. Victor memang bawahannya yang dipercaya Dominic. Akan tetapi, Dominic tidak akan lupa bahwa sebelum bersamanya, Victor juga merupakan seorang pemimpin sebuah klan Mafia. Dominic paham betul bagaimana sepak terjang seorang Victor di dunia bawah tanah, bagaimana kekejaman pria itu, dan bagaimana Victor bisa membuat segalanya berantakan dalam sekejap. Dominic tidak ingin hal buruk itu terjadi. Setelah kurang lebih dua jam Victor bersama Dominic dan Olso di dalam ruangan tersebut, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan teras, menarik perhatian ketiganya. Meskipun mereka berada di dalam ruangan, dinding ruangan tersebut terbuat dari kaca transparan yang menghadap ke arah teras, sehingga mereka bisa melihat langsung suasana di depan. "Sepertinya itu mereka," ucap Dominic tanpa melepaskan pandangannya dari mobil tersebut, yang tak lain adalah mobil Nathan. Victor melirik ke arah pria paruh baya itu. "Jihan?" tanyanya penasaran. Dominic mengalihkan pandangan sekilas ke arah Victor. "Bukan. Aku sengaja tidak mengundang Jihan dan suaminya karena aku tidak ingin makan siang kita jadi kacau," jawabnya, lalu melirik pada Olso yang tampak berusaha menahan tawa. Victor diam menatap datar pada Dominic. Dominic tersenyum padanya. "Kasihan istriku, sangat antusias saat menyiapkan menu-menu makan siang untuk kita; lalu kamu dan Michael membuat semuanya jadi kacau...?" Kalimatnya menggantung, dan Dominic mengangkat bahu tampak acuh, lalu beralih kembali ke arah mobil di luar sana. Ketiganya fokus menatap ke arah yang sama. Tak berapa lama, Nathan turun dari mobil dan membuka pintu untuk kekasihnya, Mary. Ketika . turun dari mobil, Victor dan Olso kompak menatap dengan kening berkerut. "Dia adalah keponakanku yang sudah aku anggap seperti putra kandungku sendiri. Kalau Olso, pasti mengenal Nathan, tapi tidak dengan kau," ucap Dominic melirik kepada Victor. Selama ini, ia memang tidak pernah memperkenalkan Victor kepada Nathan karena merasa tidak perlu. Nathan tidak terlibat dalam bisnis haramnya; pria itu hanya fokus membantunya mengurus perusahaan. "Lalu wanita itu, Tuan, siapanya Tuan Nathan?" tanya Olso penasaran. Tentu saja, dia mengenal jelas bahwa wanita itu adalah Mary. Ia melirik sejenak pada Victor yang menatap tajam ke arah Mary yang saat ini dirangkul mesra oleh Nathan. "Wanita itu adalah kekasih Nathan, namanya Mary. Sebentar lagi mereka akan menikah," jawab Dominic. Deg! ‘Matilah kau, Victor! Rupanya wanita yang kau perkosa itu adalah calon menantu bos-mu sendiri,’ batin Olso, terbahak puas meskipun hanya dalam hati. Di saat yang sama, Victor dengan refleks mengepalkan tangan dan mengeraskan rahangnya saat mendengar pernyataan Dominic, ‘Jadi itu pria yang dia maksud? Hem, sungguh menarik,’ batinnya penuh makna, entah rencana jahat apa yang akan dia lakukan terhadap Mary. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD