BAB 2: Pria Bajingàn

1822 Words
*** Setelah pertemuan singkat dengan klien, Nathan langsung kembali ke hotel tempat ia menginap selama berada di luar kota. Di dalam kamar, Nathan duduk di sofa dekat ranjang dengan ponsel di tangan kanannya. Ia mengutak-atik perangkat canggih tersebut sejak tadi, berulang kali menghela napas gusar. Nathan menghubungi Mary berkali-kali, tetapi panggilan teleponnya tak kunjung dijawab oleh sang kekasih. Ia hanya ingin memberitahu Mary bahwa sekarang ia sudah sampai dan berada di hotel. Sayangnya, wanita itu justru tidak menjawab teleponnya. Nathan tampak cemas karena sebelumnya Mary hampir tidak pernah bersikap seperti ini. “Apakah mungkin dia sangat sibuk? Makanya, tidak sempat menjawab teleponku,” gumam Nathan pelan, menerka-nerka keadaan kekasihnya di sana. Kemudian, ia menghela napas. “Ya sudahlah, sebaiknya aku kirim pesan singkat saja. Kalau nanti dia sudah tidak sibuk, pasti akan membacanya. Itu yang lebih penting,” pikirnya. Setelah itu, Nathan segera mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Mary: “Sayang, aku tahu kamu pasti sangat sibuk. Maaf tadi aku menghubungimu beberapa kali. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa sekarang aku sudah sampai di hotel. Tadi, aku sempat bertemu dengan salah satu klien dan makan malam bersamanya. Setelah selesai pertemuan, aku langsung pulang ke hotel. Sekarang aku sudah di kamar dan mau istirahat dulu karena besok pagi ada pertemuan lagi dengan klien yang lain. Aku hanya ingin menyampaikan ini saja padamu. Kamu baik-baik di sana, hati-hati bekerja, dan jangan terlalu capek. I love you.” Usai mengetik pesan tersebut, Nathan mengklik tombol kirim hingga pesan itu pun terkirim kepada Mary. Sejenak, Nathan menatap lekat layar ponsel yang menyala di depan wajahnya. Ia mengulas senyum ketika memperhatikan foto Mary yang ia jadikan wallpaper. Ibu jarinya bergerak mengusap layar tersebut seolah sedang membelai wajah cantik Mary. “Kamu sangat cantik, Mary,” gumamnya, diikuti tawa pelan. “Sudah dari dulu aku menyadari betapa cantiknya kamu. Sekarang, setelah menjadi kekasihku, kamu bahkan semakin cantik. Hem, aku tidak sabar menikah denganmu, tinggal bersama, dan membina rumah tangga yang bahagia,” ucapnya dengan perasaan tulus. Dulu, Nathan pernah tertarik pada Jihan, mengagumi kecantikan dan kelembutan hatinya, wanita yang merupakan adik sepupunya. Namun, Jihan tidak memiliki perasaan yang sama. Nathan mengerti dan tidak memaksakan Jihan untuk membalas perasaannya. Dengan Jihan bersedia menjadi teman baiknya saja sudah lebih dari cukup bagi Nathan. Setelah bertemu kembali dengan Jihan dan mengetahui bahwa wanita itu akan menikah, perlahan Nathan mengubur perasaannya. Ia kemudian mencoba untuk membuka diri pada wanita lain, yaitu Mary. Nathan kini merasakan perasaan cinta yang mendalam kepada Mary dan ingin serius menjalin hubungan dengannya. Sebelumnya, Nathan pernah membahas soal pernikahan dengan Mary, dan kabar baiknya, wanita itu bersedia jika hubungan mereka dibawa ke jenjang yang lebih serius. Belum lama ini, Nathan juga telah berbicara dengan paman dan bibinya, yang merupakan orang tua kedua baginya, mengenai keseriusannya terhadap Mary. Mereka setuju dengan keputusannya untuk menikahi Mary, menganggap wanita itu sebagai sosok yang baik, tulus, dan sangat cocok untuk bersanding dengannya. Setelah beberapa menit merenung, Nathan bangkit dari duduknya, melangkah menuju ranjang, dan meletakkan ponselnya di atas nakas di samping ranjang. Ia kemudian bergerak menuju kamar mandi. Nathan menggosok gigi dan membersihkan wajah. Setelah selesai, ia segera keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaian formalnya dengan baju tidur. Kemudian, Nathan naik ke tempat tidur, membaringkan tubuhnya yang lelah, dan menarik selimut ke atas tubuhnya, bersiap untuk beristirahat malam ini. *** Esok paginya… Suasana di dalam kamar VVIP sebuah Nightclub tampak sangat berantakan. Di lantai marmer putih berserakan pakaian dan beberapa bantal. Di atas ranjang berukuran king size, dua orang yang berbeda jenis kelamin tertidur pulas. Tubuh mereka yang tanpa pakaian itu hanya ditutupi oleh selimut tebal berwarna putih. Sang wanita berbaring dengan posisi miring, sementara di belakangnya, sang pria berbaring dengan posisi serupa namun menghadap punggungnya. Di balik selimut, sang pria memeluk tubuh wanita itu dengan lembut. Kamar yang sejuk membuat mereka tampak pulas, seolah melupakan rasa lelah akibat pergulatan panas yang tidak diinginkan terjadi semalam antara mereka, yaitu Mary dan Victor. Pergulatan yang tidak diinginkan? Ya, semalam Victor benar-benar mabuk dan kehilangan kendali akibat terlalu banyak meneguk minuman beralkohol. Tanpa disadari, ia telah merenggut kesucian seorang wanita yang ia kenal, meskipun ia tidak menyukainya. Mary, selama ini, adalah wanita yang sangat menjaga kehormatan dirinya. Meskipun bertahun-tahun bekerja di sebuah club malam yang penuh dengan godaan, ia tidak pernah goyah sedikitpun. Mary sangat memegang teguh prinsipnya bahwa kesuciannya hanya akan diserahkan kepada pria yang berhak, yaitu suaminya kelak. Itulah salah satu mimpi terbesarnya. Ketika di luar sana para gadis berbondong-bondong melakukan hubungan intim— menikmati making love dengan kekasih mereka, bahkan bergonta-ganti pasangan, Mary justru memiliki pandangan yang berbeda. Baginya, sangat spesial untuk menyerahkan kesuciannya kepada suaminya di malam pertama setelah pernikahan mereka. Selain cinta yang tulus, ada mahkota berharganya yang bisa dia banggakan di hadapan suaminya kelak. Namun kini, semua itu berakhir sia-sia, dan semua ini disebabkan oleh Victor, lelaki yang Mary anggap kejam, jahat, dan b******n. Sejak dulu, Mary sangat membenci pria itu karena sering mengganggu sahabatnya, Jihan. Namun siapa sangka, kini takdir berkata lain. Pria yang sangat dia benci itu adalah orang yang telah merenggut kesuciannya yang telah ia jaga selama ini. Pria itu telah menikmati tubuhnya semalaman, membuat Mary merasa jijik pada diri sendiri dan merasa hancur sehancur-hancurnya. Menit demi menit berlalu, perlahan Mary menggerakkan tubuhnya, menggeliat dengan lambat. Matanya dibuka dengan paksa meskipun terasa berat. Matanya sembab akibat banyak menangis semalaman. Setelah beberapa saat berhasil mengumpulkan kepingan ingatan, Mary teringat semua yang terjadi semalam. Dengan kasar, ia menyingkirkan lengan kekar Victor yang memeluk tubuhnya. Tindakan Mary itu sontak mengusik Victor dari tidur nyenyaknya. Pria itu mengubah posisi dari berbaring miring menjadi terlentang, terdengar rintihan pelan yang lolos dari bibirnya. Victor membawa salah satu tangan memijat pelipisnya, merasakan kepalanya berdenyut. Di sampingnya, Mary mengeratkan selimut di tubuhnya yang polos lalu menggerakkan tubuh. Victor pun menyadari bahwa dia tidak sendirian; ada orang lain yang tidur di sampingnya. Segera, Victor mengalihkan pandangannya pada sosok yang belum ia sadari itu. “Kau…!” kedua matanya terbelalak saat melihat jelas wajah Mary. Dengan refleks, Victor menegakkan tubuhnya, menarik pandangannya dari Mary dan menatap tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang di balik selimut. “f**k!” Victor mengumpat dengan kasar, lalu menatap tajam pada Mary. “Apa yang kau lakukan di sini, wanita sialan?!” geramnya, menyalahkan Mary padahal wanita itu adalah korban dari perbuatan bejatnya semalam. Dengan berani, Mary menatap tajam pada Victor. “Mengapa kamu bertanya padaku apa yang aku lakukan di sini?! Aku di sini karena ulahmu! Kamu sungguh b******k, Victor!” Suaranya tajam namun bergetar. Victor mengerutkan kening bingung saat mendengar ucapan Mary. “Apa maksudmu?! Jangan mengada-ngada, apalagi mencoba untuk menjebakku!” desisnya. Victor tidak bisa mengingat apa yang terjadi semalam, termasuk kejadian di mana dia memaksa Mary hingga berakhir merenggut kesucian wanita itu. Mary menatap penuh kebencian pada Victor. “Menjebakmu?” ulangnya. “Untuk apa aku menjebakmu? Apa keuntungan yang aku dapat jika aku melakukan itu padamu?” Victor terdiam, tak mengalihkan tatapan tajamnya dari Mary. “Aku di sini gara-gara kamu! Aku mengantarkan minuman yang kamu pesan, tapi kamu justru memaksaku dan memperkosaku di sini, b******k!” “Jangan sembarangan menuduhku!” desis Victor, tidak terima dan tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh wanita itu. “Kau bekerja sebagai bartender. Lantas, bagaimana mungkin kau tiba-tiba masuk ke sini untuk mengantarkan minuman pesanan ku? Jangan banyak alasan! Kau sengaja masuk sini dan tidur bersamaku, iya kan? Jawab!” bentak Victor dengan suara menggelegar. Mary refleks menutup mata sekilas. “Betul, aku bekerja di sini sebagai bartender. Tapi semalam, manajerku meminta tolong padaku untuk mengantarkan minuman ke sini. Seharusnya setelah aku mengantarkan pesananmu, aku bisa keluar, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kamu memaksaku, kamu memperkosaku. Kamu benar-benar b******n, Victor! Aku benci padamu!” desis Mary, bibirnya bergetar menahan tangis. Detik berikutnya, dengan gerakan cepat, Victor mendekat pada Mary lalu mencekik leher wanita itu dengan kuat. Mary tersentak dan mencengkeram pergelangan tangan Victor. “Jangan coba-coba mengarang cerita di depan muka ku, Mary! Kau pikir aku pria bodoh yang akan dengan mudahnya percaya pada semua omong kosongmu?!” desis Victor, seraya terus mencengkeram leher jenjang Mary tanpa mempedulikan wanita itu yang tengah merintih kesakitan. Kemudian, tatapan tajam Victor berubah dalam hitungan detik. Dia menatap remeh pada Mary. “Aku sudah sering bertemu dengan wanita-wanita sepertimu! Memanfaatkan tubuh untuk menjerat seorang pria. Entah kenapa, aku sangat yakin kau adalah salah satu dari mereka. Kau sengaja memanfaatkan tubuhmu untuk menjebakku di sini dan membuat keadaan seolah-olah aku yang bersalah!” Dengan penuh keberanian, serta sisa tenaga yang dimilikinya, Mary menepis dengan kasar tangan Victor yang mencengkram lehernya. Ia berhasil membebaskan diri dan mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu menampar keras wajah tampan pria itu. PLAK! Wajah Victor terbuang ke samping, lalu detik berikutnya, ia kembali menatap tajam Mary, menemukan wanita itu memandangnya dengan penuh kebencian. “Jaga bicaramu. Aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan, dan aku bukan salah satu dari w************n yang sering kamu tiduri di luar sana! Aku bekerja di club, bukan berarti aku menjual tubuhku!” ucap Mary dengan nada tegas. Suaranya bergetar, menahan tangis. Dengan napas yang masih terengah, Mary melanjutkan, “Kalau kamu beranggapan aku dengan sengaja menjebakmu di sini, sekarang aku tanya: kira-kira, menurutmu apa keuntungan yang aku dapatkan jika memang aku melakukannya?! Apa keuntungan dari menjebak pria b******n seperti kamu, sedangkan di sisi lain aku memiliki seorang kekasih yang teramat sempurna, jauh dari segala galanya yang ada padamu!” “Kamu hanya seorang pria b******n! Kamu adalah penjahat! Dan aku tidak akan sudi menjebak seorang pria sepertimu! Kekasihku jauh lebih baik daripada kamu!” “Cukup!” hardik Victor, telinganya semakin panas mendengar setiap kalimat yang diungkapkan oleh wanita itu. Entah mengapa, dia tidak suka mendengar Mary membandingkan dirinya dengan kekasihnya, yang entah siapa. Dia belum tahu bahwa Nathan adalah kekasih Mary, pria yang merupakan keponakan bosnya. “Kekasihku jauh lebih baik daripada kamu! Lantas, apakah kamu pikir aku adalah wanita gila yang menjebakmu sementara aku memiliki seorang pria yang teramat sempurna?!” Mary melanjutkan tanpa menghiraukan tatapan tajam Victor. “Diam, wanita sialan!” bentak Victor, lalu ia kembali mencekik Mary, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Ia mencengkeram leher wanita itu, membuatnya tersiksa, lalu dengan kasar menghempas wajah Mary. Mary terbatuk akibat cekikan kuat Victor. “Aku bilang tutup mulutmu, atau aku akan membunuhmu!” ancam Victor dengan serius. Matanya menyala menyorot tajam pada Mary. Tak banyak bicara, Mary bangkit dari ranjang, memungut pakaian yang berserakan di lantai, dan bergerak menuju kamar mandi. Di sisi lain, Victor menutup bagian inti tubuhnya menggunakan bantal, karena selimut dibawa oleh Mary. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada sebuah bercak merah yang sudah kering di atas seprai putih yang kusut. “Darah?” gumamnya dengan suara tercekat di tenggorokan. Di saat bersamaan, di dalam kamar mandi, Mary menangis pilu meratapi kehancuran dan memikirkan bagaimana kelangsungan hubungannya dengan Nathan. Setelah itu, Mary segera mengenakan pakaiannya, lalu keluar dari kamar mandi dan bergerak meninggalkan kamar tanpa menghiraukan Victor yang masih berada di dalam kamar tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD