Chapter 8 : Makan malam bersama suami

1176 Words
"Astaga Zeline, pasti kamu belum makan?" Rossy cemas dilihat jam sudah pukul setengah sepuluh malam. "Iya setelah ini Zeline makan." Zeline sebenarnya memang sudah lapar akibat ketegangan takut dimarahi yang ternyata tidak sama sekali. "Mau Mama temani?" Zeline menolak, tapi ia sangat terharu akan perhatian mama mertuanya itu. Seperti benar-benar merasakan kasih sayang seorang ibu. Akhirnya Broto dan Rossy memutuskan ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Zeline ke meja makan. Di sana memang masih tersedia lauk pauk untuknya. Setelah mengambil piring bersih di meja makan, ia melangkah ke dapur mengambil nasi di magic com karena di meja makan sudah tak ada nasi. Alangkah terkejutnya Zeline ketika kembali ke meja makan seorang pria tampan nan gagah yang ia nikahi satu bulan lalu telah duduk di sana pula. Setelah mendengarkan pembicaraan sang istri dan kedua orang tuanya, Darren memutuskan untuk makan bersama Zeline. Toh dia juga belum makan malam. Apalagi melihat tampilan Zeline yang sudah sedikit berubah sehingga dia tidak akan mempermalukan diri sendiri karena merinding. "Ambilkan saya juga. Sekalian air putih!" perintah Darren menatap sang istri yang masih tampak diam seperti patung ketika melihatnya. "Saya juga belum makan, habis lembur." Darren kembali bersuara menyadarkan Zeline. Zeline meletakkan piring dan nasi yang sudah ia ambil di depan suaminya. "Ini." Darren hanya melirik, istrinya itu secepat kilat mengambil air dan ditaruh di samping piring Darren yang sudah terisi lauk. "Aku permisi." Zeline merasa lebih baik ia pergi. Pasti Darren tidak nyaman melihatnya, begitu juga dengan dirinya yang merasa canggung. "Bukankah kamu mau makan? Ambil ini." Darren memberi piring bersih yang ada di atas meja. "Temani saya makan malam." Awalnya Zeline masih tidak percaya sang suami ingin ditemani makan, tapi ia bergegas mengambil piring itu dan kembali ke dapur mengambil nasi. Zeline memilih duduk di hadapan Darren yang sedang asyik menyantap makan malamnya. Ia takut-takut mengambil lauk yang ada di sana. Darren menyipitkan matanya melihat tingkah sang istri. Heran mana mungkin melihat pria tampan dan gagah seperti suaminya ini, dia takut. Wanita memang susah untuk dimengerti. Untuk sekian detik hanya ada dentingan suara sendok dan garpu yang terdengar. Namun, Darren mulai bosan dan akhirnya membuka suara. "Tumben penampilanmu berbeda." Darren memandang wajah Zeline. Muka polos sang istri memang cantik, tapi mengapa dia merasa sedikit familiar. "Aku tadi keluar kamar ingin mengambil minum, tapi karena ada tamu, jadi aku bersihkan dulu mukaku," jawab Zeline jujur. "Harusnya tidak usah biar mereka semua kabur melihat kamu. Ehmmm ... terima kasih sudah mencegah Papa dan Mama untuk berinvestasi dengan mereka." Zeline yang dari tadi menunduk mulai menatap suaminya. Dari mana pria itu tahu? Dan ucapan terima kasih dari sang suami membuatnya merasa tersanjung. "Aku tadi sempat mendengarnya." Darren yakin sang istri pasti bingung dengan ucapannya sehingga ia menjelaskan. Zeline mengangguk dan melanjutkan makannya. Sementara Darren terus mengamati istrinya dalam diam. “Apa kamu mempelajari ilmu hitam dan menyukai hal-hal mistis?” Darren orang yang tidak suka basa-basi dan langsung menanyakan apa yang diceritakan Fenny. Zeline menggeleng cepat. “Aku tidak mempelajari ilmu hitam, menyukai hal-hal mistis tentu juga tidak, tapi kadang aku mencari tahu soal hal-hal mistis hanya untuk ditambahkan dalam tulisanku jika temanya sesuai." Darren mengangguk, ini berbeda dengan kata-kata Fenny. Wanita licik itu memang pengarang ulung. Darren pun sudah tahu pekerjaan Zeline sebagai penulis n****+. “Kalau melihat warna aura apa kamu mempelajarinya?” “Tidak, aku bisa melihat itu sejak kecil.” “Saya penasaran, kamu selalu memakai pakaian putih, terus rambutmu yang terlalu panjang itu menutupi sebagian wajah dan pakai eyeshadow hitam disekeliling mata, sebenarnya untuk apa?" “Itu—” Zeline ragu untuk menjawabnya. “Sudahlah tidak usah dijawab, tapi apa tidak gerah menggerai rambut sepanjang itu?" Darren tidak memaksakan istrinya untuk menjawab, tapi ia merasa terganggu dengan rambut panjang hampir sampai pinggang milik sang istri. Apa Zeline berencana untuk menjadi Rapunzel? pikirnya mengingat salah satu princess negeri dongeng. Tapi, dia lebih mirip Sadako. Darren kembali mengingat hantu Jepang itu. Zeline dengan cepat menggeleng mendengar pertanyaan suaminya. Darren kembali dibuat heran, wanita memang susah untuk dimengerti. Apalagi wanita aneh—oh, mungkin lebih tepat dikatakan unik seperti istrinya. "Kenapa tidak diikat?" "Aku tidak punya ikat rambut." Pernyataan itu membuat Darren tertegun. Istri seorang Darren Mahaprana tidak punya ikat rambut. Ini menyakiti harga dirinya sebagai suami tampan dan mapan. Darren dengan cepat mengambil kartu debit di dompetnya dan menyodorkan itu pada Zeline. "Ini ambil, besok sebaiknya kamu borong semua ikat rambut di toko." Zeline tercengang dengan perintah suaminya. Ia dengan cepat menggeleng. "Aku tidak perlu ini. Aku juga ada uang." Zeline menolak kartu itu karena merasa tidak butuh, ia juga tak pernah keluar rumah. Uang di tabungannya juga cukup banyak. "Dan aku nyaman dengan rambut digerai." Ada alasan sendiri dia menggerai rambut, lalu menutupi sebelah matanya. "Kalau masalah rambut terserah kamu, tapi masalah uang, kamu istri saya, jadi tanggung jawab saya untuk memenuhi segala kebutuhan kamu. Uang kamu sendiri bisa disimpan untuk hal-hal lain." Darren menarik telapak tangan Zeline, menaruh kartu debit di telapak tangan itu, lalu ia memberitahu PINnya. "Terima kasih." Zeline ingin menangis, apa ini keuntungan memiliki suami, ada yang memberi uang. Sebenarnya bukan itu yang membuatnya terharu, tapi sebuah perhatian dari suaminya. Darren hanya mengangguk singkat dan dengan cepat ia menyelesaikan makannya. Pria itu mengalihkan perhatian pada tas kerja miliknya yang terbuka. Di sana ada sebuah n****+ yang harus ia baca. Ia menghela nafas lelah. Benar-benar malas membaca n****+ romansa seperti itu. Zeline yang melihat suaminya seperti ada masalah, ingin bertanya, tapi agak takut. "Ada—apa?" Zeline memberanikan diri, meski tampak gugup. Darren melihat ke arah Zeline, lalu kembali melirik n****+ itu. Dia ingat istrinya juga penulis n****+. Pasti suka membaca n****+. Meski Darren tak yakin istrinya suka membaca n****+ romansa. "Zeline, apa kamu mau membantu saya?" Zeline segera mengangguk, tanpa menanyakan batuan seperti apa. Dia senang jika suaminya membutuhkan bantuannya. "Apa kamu pernah baca buku ini?" Darren mengambil n****+ di dalam tasnya, bertuliskan New Life (Serly and Aldo). "Aku sudah baca novelnya, bahkan sekuelnya tentang Zeeya," jawab Zeline menyuapkan sendok terakhir. Namun, sebutir nasi menempel di sudut bibirnya, membuat Darren gemas ingin mengambilnya. Tangannya terulur menyentuh ujung bibir Zeline membuat istrinya itu kaget. "Ada nasi." Harusnya bisa bilang saja enggak perlu diambilkan, aku 'kan malu, batin Zeline yang tentu tak terungkap, tapi rona di wajahnya berubah. "Jadi, kamu sudah baca. Saya perlu kamu ceritakan n****+ ini, tapi lebih pada karakter-karakter laki-lakinya. Karena model-model saya akan ikut audisi web series n****+ ini." Zeline mengangguk cepat. Dia tentu senang karena bisa membantu sang suami. "Besok saja diceritakan, sekarang saya sudah lelah," ungkap Darren kembali. Zeline dengan gesit mengambil piring dan gelas kotor, dia pergi ke dapur untuk mencucinya. Namun, tidak disangka selama ia mencuci piring suaminya berdiri di dekat dapur sambil mengotak-ngatik ponselnya. "Mas ada perlu apa?" tanya Zeline bingung. "Saya menunggu kamu," jawab Darren santai. "Kenapa aku mesti ditunggu?" Darren tampak berpikir, kenapa dia harus menunggu Zeline, padahal walaupun suami istri mereka tidak dekat, lebih tepatnya belum dekat. "Rasanya tidak enak saja kalau saya meninggalkan kamu cuci piring sendirian, padahal tadi kita makan bersama, benar, 'kan?" Zeline mengangguk, rasa haru kembali menyelimuti dirinya, dipedulikan sangat membuatnya bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD