Part 11: Suicide

1357 Words
“Ya Allah, Engkau tidak pernah salah memilih pundak hamba-Mu untuk Kau beri ujian. Aku yang salah. Maafkan imanku yang lemah tak tahan menanggung semua ujianmu. Maafkan aku yang kecewa pada-Mu dan selalu berprasangka buruk pada-Mu. Padahal semua yang ada padaku adalah titipan-Mu yang berhak Kau ambil kembali.” Qiana Pov Ucapan lelaki itu terasa begitu menusuk hati, membuat netraku terasa perih dan sesak oleh air mata. Aku tahu memang diriku kini buta, tapi haruskan ia mengucapkan pernyataan yang menyakitiku? Aku refleks menarik tangannya yang berada dalam genggaman lelaki itu. Entah bagaimana ekspresi lelaki itu, aku tak peduli. Aku juga tak peduli apa lukaku sudah dibalut dengan sempurna atau belum. Aku bisa meminta bantuan Ina atau Mbok Isah nanti. Sebaiknya memang lelaki ini menjauh dariku karena berdekatan dengannya hanya akan membuatku sedih dan luka. “Terima kasih atas bantuannya. Maaf jika saya merepotkan Anda,” ucapku dengan singkat dan ekspresi datar. Aku bahkan mengubah panggilan aku menjadi saya untuk mencipta jarak diantara kami berdua. Nampaknya menjalin pertemanan dalam pernikahan dengan seseorang yang sama sekali tidak kita kenal memang sulit. Aku kira semua bisa berjalan dengan baik seiring berjalannya waktu, tetapi dugaanku salah. Kumanfaatkan saja momen ini untuk meminta maaf. “Ah ya, saya ingin minta maaf jika pertanyaan saya tempo hari membuat Anda tersinggung. Saya benar-benar tidak ada maksud apa pun dan saya juga tidak tahu jika memang almarhummah ibu Anda baru saja wafat. Saya turut berduka,” ucapku. Tak kudengar respon atas ucapanku. Aku pun melanjutkan permintaan maafku. “Maaf juga karena kecerobohanku tadi sudah membuat peninggalan almarhummah ibu Anda pecah. Hmm, saya akan berusaha menggantinya sebagai bentuk rasa tanggung jawab atas kecerobohan saya.” Permohonan maafku lebih terdengar seperti bawahan yang sedang memohon maaf pada atasannya, kan? Bukan seperti istri yang sedang meminta maaf pada suaminya. Biarlah, aku memang sengaja begitu untuk mencipta jarak diantara kami. Kudengar helaan napas darinya. “Tidak perlu mengganti gucinya, guci itu edisi khusus yang hanya ada satu dan tidak akan kamu bisa temukan yang sama persis. Lagipula, dengan mengganti juga tak akan bisa mengembalikan kenanganku yang tersimpan bersama ibu. Apa yang sudah kamu lakukan tidak akan bisa mengembalikan ibu kembali,” jawabnya. Hah? Apa maksud dari perkataan lelaki itu. Sungguh aku tidak mengerti apa maksudnya. Tak lama Ina kembali lalu ia pamit ke kamar untuk membersihkan diri. === Kukira setelah insiden kemarin, lelaki itu tak akan melanjutkan aksi diamnya. Tapi ternyata aku salah. Ia masih menghindariku. Pergi pagi sekali dan pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali. Aku pun lama kelamaan merasa jengah. Lalu jika begini terus untuk apa dia menikahiku? Kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku akan lebih memilih malu karena pernikahanku batal daripada menjalani pernikahan yang tak jelas tujuannya ini. Ia memang tak menyakitiku secara verbal ataupun fisik. Tapi cukup dengan tingkahnya menghindariku, mendiamiku, mengabaikanku dan menganggap aku tak ada juga sangat sakit rasanya. Usai menghabiskan sarapanku, kini aku masih termenung di meja makan sedangkan Ina sedang ke dapur mengambilkanku buah. Aku yang ingin minum air mencoba meraba meja dengan pelan untuk mencari keberadaan gelas minumku. Tapi sayangnya tanganku malah menyenggolnya dan membuat isinya tumpah. Untung saja gelas itu tidak jatuh dan pecah lagi. Saat Ina datang, ia dengan cepat mengelap tumpahan air dan mengambilkanku air minum yang baru. Bahkan untuk mengambil minum saja aku merepotkan orang lain. Ya Allah, betapa lemahnya diri ini. “Maaf ya, Na. Saya ngerepotin kamu terus.” “Gak apa-apa, Mbak Qia.” Tak lama kudengar suara bel berbunyi. Terdengar suara Mbok Isah yang berkata jika dirinya yang akan membuka pintu. Lalu kudengar suara mama dan Mirza mendekatiku. Aku pun tersenyum senang mengetahui kedatangan mereka pagi ini. Mama dan Mirza bergantian memelukku. “Gimana kabar kamu, Sayang?” tanya mama. “Qia baik, Ma. Mama sama Mirza sehat, kan? Ayah dan Attar gak ikut, Ma?” “Alhamdulillah kami semua baik, Sayang. Lho ini tangan kamu kenapa?” tanya mama sambil menyentuh tangan kiriku yang masih dibalut kasa. “Oh ini, kemarin kena pecahan guci, Ma. Gak apa-apa, kok,” ucapku coba menenangkan mama. “Ya Allah, lain kali kamu lebih hati-hati ya, Sayang.” “Iya, Ma.” “Mas Bhanu ke mana, Mbak?” tanya Mirza padaku. “Oh dia sudah pergi pagi sekali katanya ada meeting penting hari ini.” Kami pun berbicara tentang banyak hal. Sungguh, jika bisa aku ingin kembali ke rumah saja. Meski di rumah ini ada Ina dan Mbok Isah, tetap saja rumahku sendiri terasa lebih hangat dan nyaman. Tapi jika aku mengungkapkan keinginanku, aku khawatir masalah rumah tanggaku bisa terendus oleh kedua orang tuaku dan aku tak mau itu terjadi. “Ma, apa boleh aku ke butik lagi?” tanyaku. Aku butuh kegiatan untuk mengisi waktuku. Tak mungkin aku hanya berdiam diri saja, kan? “Lho, memangnya Bhanu ngizinin kamu untuk kerja lagi?” tanya mama padaku. “Ya, aku belum tanya sih, Ma. Tapi Qia butuh kegiatan, pekerjaan untuk isi waktu luang, Ma. Qia tahu kalau sekarang Qia buta, tapi Qia butuh kegiatan, Ma. Please!” mohonku pada mama. “Hmm, gini, Sayang. Gimana kalau kita nanti konsultasi ke dokter ya? Kita minta saran sama dokter kegiatan apa aja yang cocok dengan kondisi kamu sekarang, gimana?” “Mama gak bolehin Qia ke butik ya? Kenapa, Ma? Mama malu ya punya anak yang buta?” pancingku. “No, tidak sama sekali, Sayang. Mama sayang sama kamu apa adanya. Tapi, mama khawatir kerjaan di butik tidak ada yang cocok dengan kondisi kamu sekarang. Mama takut malah kamu juga jadi bosan. Jadi, saran mama lebih baik kita konsultasi ke dokter ya. Biar dokter yang kasih saran kegiatan apa yang cocok untuk kamu nanti.” “Iya, Ma,” ucapku pasrah. Ya, dengan kondisiku sekarang tak semua hal bisa kukerjakan dengan mudah seperti dulu. Ah, memang kebutaan ini sudah membuat ruang gerakku terbatas. Ya Allah, kenapa Engkau uji aku seberat ini? batinku menjerit. === Aku lelah dengan ini semua. Kukira lelaki itu bisa menjadi teman meski kami tidak mendasari pernikahan ini dengan cinta. Tapi nyatanya, lelaki itu bahkan menganggap aku tak ada. Sungguh aku mati kebosanan berada di rumahnya. Aku sedang menemani Mbok Isah dan Ina memasak untuk makan siang. Aku hanya bisa duduk saja tanpa membantu apa pun. Karena merasa bosan, aku pun meminta Ina mengantarkanku ke kamar karena aku ingin rebahan di ranjang. Setelah mengantarkanku sampai kamar, aku meminta Ina untuk kembali membantu Mbok Isah di dapur. “Kamu balik ke dapur lagi aja, Na,” pintaku karena aku ingin sendirian. “Ina di sini aja nemenin Mbak Qia. Nanti kalau Mbak Qia butuh sesuatu biar gampang,” jawab Ina. “Ya ampun, Na. Kalau begitu, aku jadi merasa semakin gak berguna, Na.” “Hmm, tapi maaf Mbak bukan begitu maksud Ina. Ini hanya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak. Takut kejadian tempo hari keulang lagi.” “Aku jamin, Na. Hal kemarin gak akan keulang lagi. Kamu percaya sama aku, kan?” pancingku agar Ina mau percaya padaku. “Mbak, tapi … “ “Ina, aku minta tolong. Aku sedang ingin sendiri. Kamu mau kan nolong aku?” ujarku dengan lebih memelas. Akhirnya Ina mengalah dan mau meninggalkanku sendiri di kamar. Saat ia sudah pergi dari kamarku, aku menghela napas lega. Ya Allah sampai kapankah kegelapan ini akan menemaniku? Apa hanya sebentar? Atau seumur hidup? Ya Allah … aku lelah … lelah sekali. Aku lelah menjadi benalu dan bergantung pada orang lain. Aku menitikkan air mataku atas ketidakberdayaanku. Jika begini, bagaimana aku bisa melanjutkan hidup? Aku tak bisa terus bergantung pada Ina. Suatu saat dia juga akan menemukan hidupnya sendiri dan meninggalkanku. Aku juga tak bisa terus bergantung kepada keluargaku. Aku beranjak dari ranjang menuju meja rias dengan langkah tertatih. Seingatku, Ina pernah menyimpan sebuah gunting dan cutter kecil di sini. Aku pun meraba setiap sudut dan permukaan meja rias. Gerakan tanganku yang tak terarah membuat beberapa benda jatuh entah apa itu. Tak menemukan apa yang kucari, aku pun membuka laci satu per satu dan meraba-raba isinya. Akhirnya aku mendapatkan apa yang kucari. Aku lelah dan kuputuskan untuk mengarahkan benda tajam itu ke arah nadiku. Semoga setelah ini aku tak lagi menjadi beban bagi siapa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD