Mereka berdua pun duduk di teras kantor. Sedangkan barang bawaan mereka di letakkan di meja yang ada di sana.
“Kok bisa orangnya nggak kelihatan itu, loh. Sumpah nggak habis pikir gue, tu. Kayak nggak bisa dinalar oleh akal sehat manusia. Punya gue nggak kelihatan soalnya jarak orang berdiri dengan cctv lumayan jauh, lah ini punyamu. Sumpah bingung gue,” gumam Jesica.
Terlihat dari kejauhan perlahan dua mobil temannya datang secara beriringan. Mereka seolah-olah janjian untuk berangkat bareng. Riko kali ini terlihat mengemudikan mobil Jesica yang memang kemarin sengaja di tinggal di rumahnya.
“Tumben berangkatnya mereka berbarengan?” ujar Devano.
“Lagi akur keknya,” jawab Jesica.
Adnan dan Riko turun dari mobil, kemudia melangkah ke arah mereka berdua. Terlihat Riko tak membawa ikut serta kotak kado yang misterius itu.
“Wih, Bapak dan Ibu ini sudah sampai, ya. Rajin amat pasangan yang kurang romantis ini,” ejek Riko saat dekat sama mereka berdua.
“Kotakmu mana, Rik?” Riko baru datang sudah di suguhi pertanyaan itu oleh Jesica.
“Astaga gue lupa. Mau pulang males, coba gue telepon Rendy dulu,” jawabnya.
“Halo,” ujar Riko saat panggilannya diangkat oleh Riko.
“Kenapa?” tanya Rendy.
“Tolong ambilkan kotak kado yang ada di atas meja kamar gue, ya. Anterin ke kantor,” ujar Riko.
“Ya Allah, Kakak. Kebiasaan banget sering lupa. Besok-besok lupa bawa mobil, ya. Berangkat jalan kaki biar estetik,” omel Riko.
“Buruan, Ren,” pinta Riko memaksa.
“Hem, iye,” jawabnya seraya memutuskan panggilannya.
Riko pun duduk tepat di samping Devano saat ini. Matanya tertuju ke kotak yang ada di meja yang berisikan batu.
“Buat apa elu bawa batu? Nakut-nakutin narapidana?” tanya Riko.
“Semalam ada yang sengaja lempar batu ke rumah gue. Tapi, anehnya nggak kelihatan siapa pelakunya dari cctv. Serem nggak itu?” jawab Devano.
Saat bersamaan terlihat dua orang berboncengan datang masuk ke kantor itu. Mereka satu cowok dan cewek yang menggunakan seragam sekolah menengah atas. Dia adalah Rendy dan Sheina. Rendy adalah Adik Riko yang nomor dua. Dia yang saat ini masih kelas tiga sekolah menengah atas, dia yang memiliki cita-cita yang sama dengan kakaknya. Sedangkan adik terakhir Riko bernama Sheina, dia anak perempuan satu-satunya di keluarga Riko. Dia yang cantik, saat ini masih kelas satu sekolah menengah atas.
“Rendy, itu,” ujar Jesica.
Riko pun beranjak dan menghampiri mereka berdua. Terlihat mereka berbincang-bincang, sebelum Riko kembali dengan menenteng kotak kado kembali ke arah Adnan dan yang lainnya.
“Kenapa?” tanya Adnan.
“Enggak apa-apa, kayak nggak tahu adik-adik gue saja,” jawab Riko.
“Kok kemarin kita ke sana nggak lihat mereka berdua, ya?” tanya Jesica.
“Mereka lagi keluar berdua. Entah, cari bahan buat nugas atau apalah kurang paham aku. Tahu sendiri, mereka sekolah di sekolahan yang sama,” jawab Riko kembali. “Lanjutin cerita soal batu. Itu ada kertasnya, sudah diliat belom?”
“Belum, memang sengaja aku belum membukanya. Kita masuk ke dalam, yuk.” Devano beranjak terlebih dahulu, lalu di susul oleh yang lain. Sesampainya di ruangan, Devano dengan sangat berhati-hati membuka kertas yang ada di batu itu. Saat dibuka, tak ada tulisan apapun di sana, hanya terlihat angka enam belas seperti yang tercantum di kotak kado milik Jesica.
“Nomor enam belas?” Devano bertanya-tanya.
“Apa sih, nomor enam belas ini? Bukannya di kotakmu juga ada, ya?” tanya Adnan ke Jesica.
“Iya, nomor yang sama. Maksudnya apa, sih? Bingung juga gue,” jawab Jesica.
“Sumpah, gue nggak ada gangguan apapun, loh. Tetapi kenapa kalian bertiga mendapatkan teror kayak gini, ya?” gumam Adnan.
Telepon kantor pun berdering saat Devano hendak menjawab pertanyaan dari Jesica. Dia bergegas menjawabnya.
“Halo,” ujar Devano.
“Pak, ada telepon misterius yang barusan masuk. Suara itu sangat berat dan serak begitu. Dia hanya mengatakan jalan merpati nomor enam belas. Sudah begitu saja,” ujar anggota polisi yang menelepon ke ruangan Devano.
“Oke, terima kasih,” jawab Devano. Kemudian segera memutuskan sambungannya.
Mereka berempat saling menatap satu sama lain.
“Apa nomor enam belas itu mengisyaratkan nomor rumah? Penemuan potongan tubuh di dekat jembatan layang jalan merpati. Sekarang rumah di jalan merpati nomor enam belas dari telepon misterius. Oke, kita berangkat sekarang. Simpan semua ini, di dalam brankas,” ujar Devano.
Mereka pun dengan cekatan berangkat menuju alamat yang mereka dapati itu. Jalanan yang macet, menimbulkan seribu pertanyaan di benak mereka masing-masing.
“Masa iya, penjahat nyerahin diri dengan mudah?” Riko bertanya-tanya.
“Ya kali lu kira film yang di setting begitu? Kita yang harus hati-hati, atau jangan-jangan ini sangkar pembunuhnya. Atau bisa jadi seseorang yang memberitahukan alamat pembunuh itu,” jawab Jesica.
“Penting, kalian hati-hati saja. Kita nggak pernah tahu siapa lawan kita sekarang. Selicik atau sebringas apa kita tak pernah tahu. Saling jaga satu sama lain, terutama ke Jesica. Dia perempuan sendiri di sini,” ujar Adnan.
Setelah menempuh jalanan yang macet, meski jalanan tak jauh tapi terasa sangat lama. Mereka pun sampai di alamat yang di tuju. Rumah besar, tapi tak terurus saat ini berada di depannya.
“Bener inikan, jalan merpati nomor enam belas?” Jesica bertanya-tanya.
“Iya, tapi kenapa rumahnya kelihatan kotor?” tanya Riko sembari mengernyitkan dahinya.
Devano menghampiri beberapa orang yang berlalu lalang di sana.
“Permisi, ini benar rumah nomor enam belas di jalan merpati?” tanya Devano.
“Benar, Pak. Tapi, rumah ini sudah lama nggak berpenghuni. Kurang lebih setengah tahunlah,” jawab orang itu.
“Kalau boleh tahu, orangnya ke mana, ya? Atau di tinggal penghuninya dengan alasan apa?” tanya Devano lagi. Ketiga temannya pun menghampiri Devano yang sedang bertanya-tanya. Mereka juga penasaran dengan hal itu.
“Ini dulunya milik keluarga Bapak Handoko. Mereka tinggal di sini lima orang. Bapak Handoko, istri dan anaknya yang masih balita. Yang dua asisten rumah tangga dan baby sitter bayi mereka. Keluarga Bapak handoko waktu itu, pergi keluar negeri menggunakan pesawat, namun nahas pesawat yang meraka naiki jatuh. Tinggallah satu orang si asisten rumah tanganya di sini, tapi setelah mendengar berita itu dia pergi pulang kampung begitu. Rumahnya nggak terkunci, kok. Nggak ada yang berani nyentuh atau masuk, katanya takut.” Warga terdekat memberikan kejelasan perihal rumah itu yang ditinggalkan.
“Keluarga Handoko dan pengasuh bayinya meninggal, ya? Oh, terima kasih sebelumnya atas keterangan yang diberikan.” Devano tersenyum ke arah orang tersebut.
“Oh iya, ngomong-ngomong ada apa, ya?” Orang itu penasaran.
“Enggak apa-apa. Baru saja kami mendapatkan telepon dari seseorang yang menyebutkan alamat ini,” jawab Devano.
“Bu, listrik di rumah ini masih nyala atau enggak?” sahut Riko.
“Enggak, Pak. Sudah diputus dua bulan setelah kematian mereka,” jawab orang itu lagi.
“Oh iya, makasih ya sekali lagi,” jawab Jesica.
“Izin masuk ke rumah itu, ya.” Devano dengan sopan meminta izin masuk ke warga.
“Silakan, Pak,” jawab warga.
Mereka berempat pun pergi meninggalkan warga dan melangkah mendekat ke rumah itu. Mereka berempat berdiri berjejer menatap ke arah rumah yang besar di hadapan mereka.
“Ada apa dengan rumah ini?” Jesica bertanya-tanya.
“Kita masuk sekarang? Ini kita sedang dipermainkan, apa memang orang ini sengaja membuat ini semua untuk mengulur waktu kita menuntaskan masalah ini?” sahut Adnan.
“Bisa jadi. Pelaku membuat teror ini untuk mengulur waktu atau bahkan mengalihkan ini semua agar kita lupa,” ujar Riko.
“Kita masuk sekarang. Persenjataan kalian jagan lupa. Saling melindungi, terutama Jesica,” pinta Devano.
Devano berjalan terlebih dahulu, lalu mereka bertiga mengekor di belakangnya. Jesica berjalan tepat di belakang Devano, diikuti Adnan, kemudian Riko.
Kreeettt!!!
Devano membuka pintu yang tak terkunci itu. Pengap berdebu pertama kali mereka rasakan. Sontak terbatuk-batuk kesan pertama yang diberikan mereka. Debu itu seaka-akan menyeruak masuk dengan paksa ke hidunh.
“Bentar.” Jesica pun mundur.
“Bawa masker nggak? Coba kamu pakai,” pinta Devano.
Jesica masih mecoba mencarinya di dalam tas, tetapi keduluan Devano yang memberikannya terlebih dahulu. “Ini, pakai dulu.”
“Makasih, ya.” Jesica pun tersenyum ke arahnya.
Devano juga memberikan masker itu kedua temannya yang lain.
“Kita masuk sekarang, ya.” Devano melanjutkan perjalanannya terlebih dahulu.
“Kita pencar apa enggak ini?” tanya Riko.
“Jangan, kita bareng-bareng saja, ya. Kita periksa satu persatu,” ujar Devano.
Mereka pun hanya mengiyakan perintah Devano. Walaupun pagi hari, rumah yang tertutup rapat membuat suasana mencekam. Mereka menggunakan senter di beberapa bagian rumah yang tak terlihat jelas. Mereka membuka satu persatu pintu yang ada di lantai satu. Barang-barang di rumah ini masih tertata sesuai pertama kali rumah ini di tinggal. Mobil pun terjejer rapi dan berdebu di garasi rumah.
“Semua barang masih ada, ya.” Jesica melihat satu-persatu keadaan.
“Iya, kayak tak pernah tersentuh satu pun orang. Lalu, apa maksudnya kita diarahkan ke sini?” Devano bertanya-tanya.
“Eh,bentar. Ini kayak ada jejal darah segar,” ujar Riko yang berjalan bagian belakang. Ternyata, saat melewati tangga mereka hendak ke kamar yang berada di samping tangga itu, Riko mengamati lantai.
Devano pun lantas mengarahkan senter yang ia bawa ke lantai itu. Ceceran darah terlihat mulai dari anak tangga ini. Bahkan, di anak tangga pertama terlihat cukup banyak darah yang menempel di anak tangga.
“Kalau dilihat, ini darah baru,” ujar Adnan.
“Oke, kita langsung ke lantai atas,” pinta Devano.
Mereka bertiga pun berlari menaiki anak tangga. Ternyata, darah itu terhenti di anak tangga nomor tiga dari atas.
“Bentar, darahnya berhenti sampai di sini. Ini darah manusia atau hewan, sih?” ujar Riko.
“Hewan mana mungkin masuk. Tahu sendiri, posisi pintu masih tertutup rapat,” jawab Jesica.
“Mungkin lewat pintu yang lain,” jawab Riko lagi.
“Dahlah, kita ke atas dulu saja,” sela Adnan.
Tepat di samping anak tangga, terdapat satu ruangan yang terlihat tak terlalu besar. Di lantai atas terlihat ada empat pintu. Yang tiga berisikan ruangan dan yang satu pintu menghubungkan ke balkon rumah ini.
Mereka secara berhati-hati mencoba membuka pintu itu. Ruangan yang di dalamnya hanya terdapat meja, kursi dan beberapa buku yang tertata rapi di sana dan tentunya satu buah laptop di atasnya.
“Ini ruang kerja keluarga siapa tadi yang punya?” tanya Jesica.
“Keluarga Handoko.” Riko yang menjawabnya.
Mereka pun mendekat. Saat melihat meja, barang-barang di sana masih tertata dan berbalut debu yang mulai menebal. Debu itu terlihat masih utuh dan tak tersenyuh apapun.
“Kalau di lihat dari debu yang menempel, semua barang di sini kemungkinan tak tersesntuh dama sekali. Posisi mereka terlihat juga tak bergerak, terlihat tak ada geseran apapun atau bekas barang yang tertinggal di sana.” Devano mencoba mengamati dan menyimpulkan yang ia lihat saat ini.
“Oke, kita ke ruangan lain,” pinta Jesica.
Mereka pun menuruti yang di katakan Jesica. Mereka keluar dari ruangan itu, tak lupa untuk menutupnya kembali.
Saat ini, mereka mencoba masuk ke ruangan kedua di lantai atas ini. Kembali secara perlahan mereka membukanya. Mereka hanya berjaga-jaga ada orang di dalamnya yang mana bisa menyerang secara tiba-tiba. Saat pintun terbuka, terlihat kamar yang bernuansa biru laut di sini. Keranjang bayi dan beberapa interior tentang anak kecil ada di dalam sini.
“Kamar anaknya mungkin, ya.” Adnan yang kali ini angkat bicara.
Mereka menghampiri meja. Di sana terdapat satu foto yang berdiri di sana. Seorang pasangan suami istri yang membawa balita di dalam foto itu.
“Uh, keluarga bahagia banget, ya. Nggak nyangka usianya sampai segitu saja,” ujar Jesica mengangkat foto itu.
“Nggak ada hal aneh sih, di sini. Normal saja seperti kamar bayi pada umunya,” ujar Devano.
Debu di sini pun masih terlihat tebal. Tak ada pergeseran apapun juga di ruangan ini. Barang-barang pun masih tertata rapi di tempatnya.
“Oke, ke ruangan yang satunya.” Riko yang paling semangat menangani kasus ini.
Jesica berjalan menuju jendela, sebelum melanjutkan ke ruangan yang lain.
“Lihat, kita ke sini warga di sini heboh kan? Lihat, itu. Ramai banget di depan.” Jesica melihat kerumunan warga yang berada di depan oagar rumah ini.
Devano, Riko dan Adnan pun berjalan mendekat. Mereka juga ikut serta menyibak gorden yang menutupi jendela itu.
“Wuh, ramenya. Cepet banget, ya,” ujar Adnan.
“Heh, apanya yang cepet?” sahut Riko.
“Cepet nyebarnya berita kita ke sini. Macam wartawan juga yang cepet nyampaikan berita,” jawab Adnan.
“Sudahlah, ayo kita ke ruang yang satunya.” Devano berbalik arah terlebih dahulu.
Mereka tak lupa menutup kembali kamarnya. Entah kenapa, saat membuka kamar terakhir d**a terasa jantung berdegup sangat kencang. Jika ada seseorang di dalam sana, pasti akan tertangkap sebab di bawah banyak ke rumunan warga juga jika pelaku teror ingin berlari.
“Bentar, kok gue jadi grogi mau buka,” ujar Devano.
“Halah, bisa-bisanya. Cepat, buka,” pinta Jesica.
“Mungkin ini kamar utama mereka, ya.Terlihat sangat besar dari luar kamar,” ujar Devano.
“Entah,” jawab Jesica seperlunya.
Perlahan Devano membuka pintu itu dengan sangat berhati-hati. Mata mereka pun terbelalak melihat suguhan yang sangat luar biasa di dalamnya. Mereka berempat hingga terkesiap di buatnya.