"Awas Lina! Sudah kubilang, jangan mencegahku menemui b*debah tua itu!" Suara Elang meninggi. Laki-laki itu menyingkirkan tubuh langsing sekertaris ayahnya, menjauh dari pintu ruangan itu. Tatapan tajam mata Elang menunjukan amarah yang membara.
Lina kembali mencoba menghalangi Elang. Wanita itu berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangannya. Matanya menatap wajah Elang yang merah padam. Ia menelan ludah, menahan rasa takut yang sebenarnya sudah menyelimutinya.
Elang Mahendra Arkatama, laki-laki yang sering dipanggil 'Pak Elang' itu pun menyingkirkan tubuh Lina kembali. CEO muda dari PT. Arkatama Construction itu sama sekali tidak memedulikan nasib Lina setelah kejadian itu. Ia tidak peduli apakah wanita itu akan dalam masalah atau tidak.
“Maaf, Pak Elang. Anda tidak boleh ….”
Sekretaris itu terus berusaha mencegahnya untuk masuk sesuai dengan perintah atasannya, Arjuna Mahendra Arkatama, komisaris Arkatama Construction sekaligus ayah kandung dari Elang. Namun, Elang berhasil menghindarinya, dan membuka pintu itu tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu.
Brak!
Elang membanting dokumen yang berisi surat pemberhentian sementara dari posisinya sebagai CEO di atas meja kerja Arjuna.
“Lina, keluar!” titah Arjuna pada sekretarisnya yang membuntuti Elang dan berdiri di belakang sang putra yang hatinya tengah diselimuti amarah itu.
Wanita berambut pendek yang berusia sekitar 35 tahun itu pun menuruti perintah sang tuan dan keluar dari ruangan itu, lalu menutup pintunya rapat-rapat.
“Katakan padaku, Pap. Apa maksud dari semua ini?” tanya Elang dengan emosinya yang memburu sambil menunjuk dokumen itu.
“Ya seperti yang kamu baca. Mulai minggu depan, kamu dipecat dari posisi CEO, Elang Mahendra, putraku yang keras kepala,” jawab Arjuna dengan santainya sambil duduk bersandar di kursi kerjanya.
“Tapi apa alasan Papi tiba-tiba memecatku? Kesalahan apa yang aku lakukan di perusahaan ini sampai-sampai Papi memecatku secara sepihak seperti ini?” cecar Elang dengan intonasi suara yang semakin meninggi.
“Kesalahanmu?” Arjuna terkekeh, membuat Elang mengernyitkan dahinya. “Kesalahanmu itu, kamu tidak kunjung menikah lagi dan memberikan papi cucu laki-laki. Itu satu-satunya kesalahanmu, Elang!” tegasnya.
“Pap, please! Jangan membawa urusan pribadiku ke dalam urusan perusahaan. Aku sudah berulang kali mengatakan padamu bahwa aku tidak akan pernah menikah lagi. Sampai aku menutup mata, istriku hanya satu, Pap. Zhyani Indira. Hanya dia satu-satunya istriku dan ibu dari putriku, Enzy,” balas Elang tak kalah tegas.
Arjuna akhirnya bangkit dari kursinya, "Sadarlah, Elang! Dia sudah lama pergi. Zhyani sudah tenang di Surga. Sampai kapan kamu akan mengikhlaskan kepergiannya?"
"Dia memang sudah pergi. Tapi, sampai kelak aku pergi menyusulnya, dia akan selalu ada di hatiku. Aku tidak bisa memberikan hatiku untuk wanita mana pun selain Zhyani, Pap!" jawab Elang dengan tegas.
“Ya sudah jika memang itu yang kamu inginkan! Jangan pernah mengharapkan posisi CEO lagi di perusahaanku! Dasar keras kepala!”
“Tapi, Pap. Ada proyek Green Lake Town yang sedang aku kerjakan. Papi tau benar seberapa pentingnya proyek itu bagiku, Pap. Setidaknya, jika Papi ingin memberhentikanku, tunggu sampai aku menyelesaikan proyek itu. Aku mohon, Pap. Tolong pikirkan kembali hal ini,” katanya mencoba membujuk sang ayah.
“Keputusan papi sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat lagi, Elang. Papi memberimu waktu satu minggu untuk mengenalkan seorang wanita yang akan kamu nikahi pada papi,” tegas Arjuna untuk terakhir kalinya sambil meremas bahu sang putra, lalu beranjak pergi meninggalkan Elang yang masih berdiri di ruangannya.
“Aaaargh!” teriak Elang sambil melayangkan tangannya meninju udara. “Dari mana aku bisa mendapatkan istri dalam waktu satu minggu? Papi benar-benar tidak masuk diakal!” gerutunya.
Pria itu menyugar rambutnya ke belakang.
Betapa kesalnya ia diperlakukan seperti ini oleh sang ayah, di saat dirinya sudah bekerja keras di perusahaan itu, dan memberikan banyak kemajuan untuk perusahaan, justru ayahnya memecatnya hanya karena alasan yang menurutnya terdengar konyol.
Apa lagi saat ini ia sedang mengerjakan proyek Green Lake Town. Sebuah komplek real estate mewah yang hanya ada 20 rumah saja di dalamnya, dengan luas 3,000 meter persegi untuk masing-masing rumah beserta halamannya.
Real estate itu adalah tempat tinggal impian mendiang sang istri, di mana ada sebuah danau buatan, juga perkebunan buah dan sayuran organik di dalam komplek tersebut.
Hanya setengah perjalanan lagi real estate itu akan segera rampung. Namun, sang ayah justru memberhentikannya secara tiba-tiba dengan alasan yang sangat tidak profesional menurutnya.
Elang meninggalkan ruangan sang ayah dan kembali ke ruangannya.
Di dalam kantornya yang terlihat seperti rumah kaca itu, Elang sibuk berpikir bagaimana caranya mendapatkan istri dalam waktu satu minggu. Karena ia tahu jika ayahnya itu sama keras kepalanya dengannya. Jika sudah membuat sebuah keputusan, tidak akan ada yang bisa merubah keputusannya.
Satu-satunya cara agar ia mendapatkan posisinya kembali hanya dengan menikahi seorang wanita seperti permintaan ayahnya.
“Perempuan mana yang harus aku nikahi? Jika itu pilihan istrinya, pasti perempuan itu akan berani mengontrol hidupku sama seperti istrinya itu.” Elang menghela napas panjangnya berkali-kali, pusing memikirkan perintah sang ayah. “Aku harus mencari wanita yang ada di pihakku. Tapi siapa?” gumamnya penuh tanya dalam batin.
Tok … Tok … Tok …
“Masuk!” sahut Elang pada seseorang yang mengetuk pintunya sambil membenarkan posisi duduknya, ia tahu yang ada di balik pintu ruangannya pasti sekretarisnya, Mentari Adriani Atmaja.
Gadis manis nan cantik yang selalu tampil sederhana dengan panjang rambut sebatas pinggang itu membuka pintu ruangannya, dan melangkah masuk ke dalam ruangan Elang dengan raut wajahnya yang nampak panik.
“Ada apa, Tari?” tanya Elang menatapnya tajam, penasaran apa yang membuat sekretarisnya itu memasang raut wajah seperti itu.
“Maaf, Pak Elang. Tadi wali kelas Enzy menghubungiku, katanya Enzy jatuh pingsan saat sedang praktek olahraga,” tutur Mentari dengan suaranya yang terdengar bergetar seperti menahan tangis. Kedua manik matanya yang berwarna abu pun terlihat mengembun.
Pasalnya, Mentari memang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Enzy.
Sejak gadis cantik berusia 25 tahun itu bekerja sebagai sekretaris Elang tiga tahun belakangan, ia sering sekali dimintai tolong oleh Elang untuk menjemput sang putri karena pria itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya, yang membuat hubungan Mentari dengan Enzy menjadi sangat dekat.
Elang seketika bangkit berdiri dari kursi kerjanya saat mendengar hal itu, “Pingsan?” pekiknya terkejut.
“Iya, Pak.” Air mata yang sejak tadi membendung akhirnya luruh di kedua belah pipi Mentari saat menjawab pertanyaan Elang.
Elang menyambar dan memakai jasnya yang ia letakkan di sandaran kursinya, yang sempat ia lepaskan setelah bertemu sang ayah tadi.
“Mentari, cancel semua pertemuan hari ini. Kali ini saya sendiri yang akan menjemput Enzy,” katanya saat hendak melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya.
“Maaf, Pak. Tapi, lima belas menit lagi Anda ada pertemuan penting dengan Pak Hartawan dari PH Construction bersama Pak Gilang, perwakilan dari Kementerian Perindustrian, juga Ibu Maharani dari Kementerian Ketenagakerjaan,” ujar Mentari sambil menghalangi jalan Elang. “Pertemuan ini sangat penting, Pak. Kita tidak bisa menundanya. Anda tahu sendiri bagaimana sulitnya membuat janji temu dengan mereka,” sambung Mentari.
“Aish! Damn! Lalu, bagaimana dengan putriku?”
Mentari menyeka cepat wajahnya dan menghela napas panjang.
“Biar saya saja yang menjemputnya dan membawanya untuk check up ke rumah sakit, Pak,” tawar Mentari.
Elang menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya kasar.
“Baiklah. Kirimkan kepada saya materi yang akan dibahas untuk pertemuan itu,” kata Elang sambil melangkah kembali duduk di kursi kerjanya.
“Sebentar, Pak.” Mentari keluar dari ruangan menuju meja kerjanya untuk mengirim file yang bosnya itu minta melalui email, lalu kembali masuk ke dalam ruangan Elang sambil menautkan tas selempangnya di sebelah bahunya.
“Saya sudah mengirimkan materinya via email, Pak. Silakan Anda periksa,” tuturnya.
“Ya, email-nya sudah masuk,” jawab Elang setelah membuka email dari Mentari. “Saya titip Enzy padamu, Mentari. Maaf karena saya terlalu sering merepotkanmu untuk mengurus hal-hal yang berurusan dengannya,” imbuhnya.
Gadis cantik itu mengulas senyum simpulnya, “Tidak apa-apa, Pak. Saya membantu Anda karena memang saya menyukai Enzy,” jawabnya. “Dia anak yang cantik dan manis,” imbuhnya seraya mengulas senyuman manis.
Elang tertegun mendengar hal itu, “Biarkan Toni yang mengantarmu ke rumah sakit. Saya sudah mengirim pesan padanya, mungkin sekarang dia sudah standby di lobi,” tutur Elang.
“Tapi, bagaimana nanti Anda pergi ke pertemuan itu, Pak?”
“Saya akan menggunakan mobil lain,” jawab Elang.
“Okay. Saya pamit, Pak. Permisi.” Mentari membungkukkan sedikit badannya, lalu pergi meninggalkan ruangan itu untuk menemui Enzy di sekolahnya.
Elang yang masih berdiri, terus menatap punggung Mentari hingga gadis bertubuh mungil itu menghilang dari balik pintu yang telah tertutup.
“Sepertinya hanya dia yang selalu berada di pihakku. Bahkan dia sering sekali menentang perintah Mami Sonya. Apa dia saja yang saya nikahi?” pikirnya dalam batin, karena teringat akan ancaman Arjuna.