Rupanya ketika akhirnya bertatap muka kembali, Eve yang sudah berdandan sedemikian rupa, tetap saja merasa minder ketika berhadapan langsung dalam jarak dekat dengan Noah seperti ini.
Lagi pula heran, Noah bukannya bangun tidur? Tapi tidak ada kucel - kucelnya sama sekali. Dia tetap terlihat begitu bersih dan segar. Aroma tubuhnya pun sangat wangi. Curiga ... jangan - jangan tadi Noah sempat mandi dulu sebelum mengetuk pintu kamarnya.
Tapi aroma tubuhnya tidak bisa bohong. Karena di rumah ini tidak ada wewangian yang aromanya sama seperti aroma tubuh Noah ini. Atau jangan Noah memang sengaja membawa parfum itu ke mana - mana supaya bisa semprot setiap saat?
Eve yang sedang krisis percaya diri langsung melipir keluar dari kamar. Ia berjalan mendahului Noah. Rupanya Eve berjalan menuju set sofa yang tadi digunakan Noah untuk tidur.
Noah hanya membuntut di belakang Eve. Ketika Eve duduk, ia juga duduk di salah satu single sofa.
"Jadi gimana? Apa bentuk pertanggung jawaban lo karena udah bikin gue kehilangan pekerjaan?" Noah langsung bertanya pada intinya. Tak mau muluk - muluk. Karena ia sudah sangat ingin bekerja kembali, dan hidup normal seperti sebelumnya.
Eve langsung berdeham. "Jujur gue masih bingung. Makanya gue ngajak lo diskusi, kan."
Entah karena gugup atau apa, nada bicara Eve justru terdengar seperti orang marah yang sedang mengegas lawan bicaranya.
Eve berusaha mengendalikan diri, namun entah mengapa rasanya sangat sulit. Ia justru mengatakan hal lain yang semakin menguatkan anggapan bahwa ia memang sedang emosional.
"Lagian apa lo nggak berusaha cari kerja lagi?" Itu lah yang terlontar dari mulut Eve.
Tentu saja Noah yang tadinya sudah sedikit melunak, kini kembali merasakan kesal pada Eve. Katanya mau diskusi. Tapi malah bicara mengegas.
"Jadi lo pikir gue belum berusaha cari kerja? Lima hari gue keliling kota dengan jalan kaki mencari kerja ke sana ke mari. Tapi nggak ada satu pun yang mau terima gue. Bahkan pekerjaan kasar sekali pun nggak mau nerima gue. Sampai gue nggak bisa makan dua hari dua malam!"
Mendengar jawaban Noah yang ikut emosi sepertinya, emosi Eve pun ikut makin tersulut.
"Kenapa lo bisa udah lebih dari satu kali kena rating bintang 1. Pasti karena lo kerjanya emang nggak bener. Ngaku aja lo. Malah nyalahin gue yang udah bikin lo kehilangan pekerjaan. Padahal dua orang yang kasih lo bintang 1 duluan, juga ikut andil dalam bikin lo jadi pengangguran kayak sekarang ini."
Noah bisa saja memaki - maki manusia tak tahu diri macam Eve ini. Sudah tahu salah, malah menyalahkan orang lain. Tapi ia tahan supaya tidak mengatai Eve dengan kata - kata kasar. Ia tidak mau sama tak tahu dirinya dengan Eve.
"Orang pertama dan kedua yang ngasih gue bintang 1 adalah orang yang sama. Namanya Pak Burhan. Lansia yang sakit dementia. Di rumah sendirian, anak - anak dan cucunya udah punya rumah sendiri - sendiri. Suka pesan makanan lewat Rojek, dua kali pesanannya nyantol ke gue. Dan dua kali juga gue dapet bintang 1 karena beliau pikir, itu adalah ranking terbaik. Udah gue kasih tahu, yang bener adalah yang rating banyak. Tapi namanya orang dementia, apalagi udah tua. Susah inget. Nah lo ... masih muda. Ngga dementia, kan? Pantes apa nggak lo kasih bintang 1 ke orang miskin? Mentang - mentang kaya. Seenaknya aja."
Eve seketika diam. Mana ia menyangka jika kisah perjalanan rating bintang 1 seorang Noah, sebegitu mengenaskannya.
"Terus sekarang gimana? Kasih gue solusi dong, gue harus bantu lo apa?" Eve kembali bertanya, namun kali ini tidak emosi tinggi seperti tadi.
"Di tempat lo kerja saat ini, apa ada lowongan?"
"Gue nggak kerja."
"Di tempat bokap lo kerja?"
"Jangan bawa - bawa bokap gue. Gue bisa langsung dikawinin kalau bokap tahu kenal sama cowok."
"Terus gimana? Apa bentuk pertanggung jawaban lo?"
"Gue juga lagi mikir. Makanya gue minta solusi dari lo."
"Kan udah gue kasih solusi tadi, Jubaedah!"
"Lo kok nge - gas sih, Malih?"
"Lhah ... bukannya lo yang ngegas duluan?"
Eve akhirnya diam. Karena ya ... memang benar. Ia akui ia memang mengegas terlebih dahulu.
"Jujur ... gue belum ada solusi. Nanti kalau gue udah ada tawaran pekerjaan buat lo, gue kasih tahu. Gue hubungin nomor lo yang waktu itu nanya alamat pas mau ngirimin makanan buat adek gue."
Noah langsung menggeleng. "Enak aja. Terus selama menunggu kerjaan dari lo, nasib gue gimana, hah? Udah gue bilang, kan, tadi. Gue bahkan udah nggak bisa makan saking nggak punya duit lagi. Lo mau gur mati selama nunggu? Keenakan lo - nya dong. Nggak bisa. Gue bakal datang ke sini setiap hari buat makan. Itu termasuk bentuk tanggung jawab dari lo juga. Di luar waktu makan, gue bakal keliling cari kerja. Lo juga harus sibuk nyariin gue kerja. Habis gue dapet kerja, gue nggak bakal ganggu hidup lo lagi."
Eve masih diam. Ia tak langsung bilang setuju. Ia memikirkan. Bukannya ia tak mau memberi makan Noah selama ia pergi mencari kerja. Tapi ... Bagaimana seandainya saat Noah makan di sini, lalu ada salah satu anggota keluarganya yang tiba - tiba datang tanpa kabar. Membayangkannya saja sudah sangat horor sekali. Eve sampai geleng - geleng karena bayangannya sendiri.
"Gimana kalau gue aja yang dateng ke tempat lo buat bawa makanan. Atau bisa juga kan gue kirim makanan lewat Rojek? Kan kita nggak harus ketemu setiap kali datang waktu lo makan." Eve akhirnya punya solusi lain.
"Gue nggak peduli gimana caranya li kasih gue makan. Yang penting jangan kabur, lo. Awas aja kalau sampai kabur."
Eve menggeleng. "Nggak. Gue nggak akan kabur. Gue serius sama omongan gue."
"Ya bagus kalau gitu." Seakan omongan dengan lisan saja tak cukup, Noah mengambil kertas HVS yang sudah ia beri tulisan di salah satu sisi. Kini ia sedang menulis di sisi lain yang kosong.
Eve hanya menunggu dalam diam. Menebak - nebak apa yang sedang Noah tulis di sana.
Ketika sudah selesai menulis, Noah langsung memberikan kertas itu pada Eve. "Nih, tanda tangan di sini." Noah menunjuk kolom tanda tangan manual di pojok kanan bawah.
"Gue mau baca dulu. Biar clear kalau lo nggak berniat nipu gue," ucap Eve.
"Ya silakan aja," jawab Noah.
Eve langsung membaca tiap kata yang tertulis di sana.
'Saya Eve. Saya berjanji akan memberi makan Noah bagaimana pun caranya selama dia masih berusaha mencari kerja. Saya Eve. Saya berjanji akan terus memberi makan Noah bagaimana pun caranya, selama saya juga berusaha mencarikan pekerjaan untuknya.'
Selesai hanya itu yang dituliskan Noah di sana. Sesuai dengan hasil kesepakatan mereka.
"Oke ...." Eve meminta pulpen yang tadi Noah gunakan untuk menulis. Ia langsung membubuhkan tanda tangan tanpa ragu. Bahkan menulis nama lengkapnya di bawah tanda tangan itu.
Eve lalu menyerahkan kertas itu pada Noah. "Nih ...."
Bukannya menerima, Noah justru menarik tangan kiri Eve. Eve sempat berteriak karena kaget. Apa lagi ketika Noah tiba - tiba mencoret - coret ibu jarinya menggunakan pulpen tinta yang mereka gunakan sejak tadi.
"Lo apa - apaan, sih?" Eve kesal setengah mati. Berusaha melepaskan diri dari Noah. Tapi Noah dengan tenaga laki - lakinya tidak membiarkan Eve lepas.
Selesai membuat bulatan hitam di seluruh ibu jari bagian dalam Eve, Noah langsung mengarahkan ibu jari Eve ke bagian kolom tanda tangan tadi. Membuat cap sidik jari di bagian samping tanda tangan Eve.
Oalah ... Eve baru paham arah pemikiran Noah. Ia pikir jempolnya mau diapakan tadi.
"Nah, perjanjian ini udah lebih resmi sekarang. Gue harap lo nggak bakal ingkar janji," ucap Noah.
"Gue pantang ingkar janji. Nggak bakalan!"
Noah mengulurkan tangan kanannya. "Deal?"
Eve dengan mantap menjabat tangan Noah. "Deal."
~~~ Sepasang Sayap Untukmu - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --