Malam pun tiba, Intan baru saja menceritakan semuanya pada Rina. Menolak permintaan bertemu yang diajukan oleh Bima.
“Jadi, kamu menolak bertemu dengannya?”
“Iya, aku tahu betul kalau pertemuannya kali ini adalah hal yang disengaja olehnya. Aku merasa, kalau itu semua hanya akal-akalan nya saja. Dan aku, tidak akan masuk ke dalam perangkapnya.”
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?”
“Karena, memang pria itu akan selalu melakukan segala cara untuk bisa bertemu kembali. Aku akan mulai mempermainkannya, tidak akan pernah menerima untuk bertemu, jika dia yang meminta. Jadi, aku akan membuatnya menunggu dengan penuh kegelisahan atas syarat yang diajukan sebelumnya. Biarkan ia menunggu, aku yang akan menghubunginya nanti.”
“Tunggu, aku belum paham maksudnya bagaimana, Intan?”
“Saat ini, yang dibutuhkan olehnya itu adalah persetujuan dari Rika, bukan? Aku yakin, w************n itu tidak akan mungkin memberikan izin begitu saja untuk aku kembali ke sana. Dan, permainan akan dimulai, Rina.”
“Aku akan bersikap seakan-akan merasa yakin, bahwa Rika tidak akan mungkin setuju dengan syarat yang diberikan, caranya selalu menolak ajakannya untuk bertemu. Aku yakin sekali, setuju atau tidak Rika dengan syarat tersebut, Bima tidak akan peduli dan bersikap seakan-akan wanita itu setuju.”
“Dengan aku menolak bertemu, Bima pasti merasa gusar dan akan selalu menyalahkan Rika, karena masih belum setuju dengan syarat yang diajukan. Dari situ, aku sudah mulai menepuk dua nyamuk jahat secara bersamaan, sekaligus.”
Rina tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak menyangka jika Intan bisa langsung bergerak dengan cepat walaupun terlihat santai.
“Aku tidak menyangka, kamu memiliki ide yang luar biasa seperti ini, Intan.”
“Aku memikirkan semuanya secara matang, Rina. Makanya kenapa aku bisa setenang ini sekarang.”
“Kamu, memang wanita hebat! Tidak dapat diragukan,” puji Rina menunjukkan dua jempol pada Intan.
*
Hari-hari berikutnya, Bima masih selalu berusaha untuk mengajak Intan bertemu, tapi wanita itu memiliki banyak sekali alasan untuk menolak sampai merasa kesal karena terus saja dipaksa untuk bertemu. Padahal, sejak awal sudah mengatakan bahwa untuk bisa memberikannya ruang dan waktu, karena tidak semudah itu juga menerima semuanya.
Semakin hari, Mahendra semakin melihat perubahan dari dalam diri Intan. Walaupun, wanita itu perlahan namun pasti mulai lebih terbuka pada pria dingin itu, tapi tetap saja belum bisa sepenuhnya menceritakan apa yang terjadi. Wanita itu memang merasa yakin bahwa bosnya itu adalah orang yang sangat bisa dipercaya untuk saat ini, tapi ia juga masih berusaha untuk menjaga perasaan agar tidak terlalu terikat dalam satu hal.
Hari ini, ada yang terlihat berbeda dari Intan, wanita itu terlihat sangat suntuk sekali. Dan, Mahendra menyadari hal itu. Pria itu langsung menghubungi melalui sambungan telepon dan meminta sekretarisnya itu untuk segera masuk ke dalam ruangan.
“Intan, keruangan saya sebentar bisa?”
“Baik, Pak.”
Intan bangkit dan mengetuk pintu ruangan Mahendra lalu setelah itu masuk ke dalam. “Ada apa, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Duduk, Intan! Saya ingin bicara denganmu.”
Intan mengangguk, menatap pria dingin yang saat ini ada di hadapannya dan menunggu pria itu bicara. Mahendra tampak terlihat ragu untuk bicara, tapi akhirnya bersuara juga.
“Intan, saya tahu betul bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah menjadi urusan saya. Tapi, saya ingin kamu tahu betul, bahwa saya benar-benar merasa sangat peduli sekali padamu, Intan.”
“Beberapa hari ini, saya melihat sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatimu. Saya ingin sekali membantumu, tapi khawatir jika kamu tidak bersedia.”
Intan kembali merasa terharu dan menghangat mendapatkan perhatian yang sederhana seperti itu. “Terima kasih banyak, Pak. Bapak selalu baik padaku dan memperhatikan saya sedemikian rupanya. Tapi, ada beberapa hal dan masalah yang memang harus saya selesaikan sendirian, tidak bisa dibantu oleh orang lain. Bahkan, Rina pun tak saya izinkan untuk membantu, Pak.”
“Karena, semua masalah ini hanya saya yang bisa menyelesaikannya.”
Mahendra mengangguk, mencoba untuk memahami dan mengerti wanita itu. “Saya paham, Intan. Tapi, entah mengapa saya merasa tidak rela melihatmu begitu sangat banyak pikiran seperti ini. Padahal, kamu itu tidak sendirian karena saya akan selalu berusaha ada untukmu.”
“Terima kasih, Pak. Saya benar-benar merasa tersanjung dengan semua sikap baik Pak Mahendra. Saya juga menghargai semua perhatian yang diberikan, tapi tetap untuk saat ini saya belum membutuhkan bantuan, Bapak.”
“Baiklah, saya tidak akan memaksa. Tapi, jangan pernah menopang semua masalah sendirian ya. Ingat, ada saya yang akan selalu ada untukmu, Intan.”
“Terima kasih, Pak. Saya tidak tahu harus membalas kebaikan Pak Mahendra dengan cara yang seperti apa.”
“Cukup dengan kamu merasa bahagia saja, saya merasa bahwa itu adalah yang paling penting dalam hidup saya. Karena, saya selalu berharap, kamu bisa merasa bahagia sampai kapanpun. Sekalipun itu bukan bersama dengan saya.”
“Intan … saya merasa kalau perasaan yang ada di dalam hati saya ini … semakin dalam untuk mencintaimu …,” gumamnya samar.
Intan menoleh dan menatap pria itu dengan tatapan menyelidik. Ia mendengarnya tapi samar, namun ingin memastikan apa yang didengar olehnya barusan itu, tidak salah.
“Bagaimana, Pak? Tadi Bapak bicara apa?”
“Ah, tidak. Saya tidak bicara apa-apa, Intan. Mungkin kamu salah mendengarnya,” elak Mahendra, merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya meloloskan semua kata yang seharusnya tidak diucapkan olehnya itu.
Hening. Keduanya kembali diam dengan pikiran masing-masing dan tak ada obrolan lagi. Canggung dirasa sudah mulai menyusup masuk ke relung hati mereka berdua.
Mahendra terlihat ragu-ragu dan memilih untuk diam beberapa saat sebelum akhirnya mengutarakan keinginannya itu. Intan sendiri merasa khawatir ketika melihat raut wajah bosnya yang sudah terlihat sedikit cemas dan tidak biasa.
“Pak, baik-baik saja?” tanya Intan begitu sangat perhatian.
“I-iya, aku baik-baik saja. Hm … Intan, kamu malam ini ada kegiatan?”
“Tidak ada, Pak. Apakah ada rapat dengan klien?”
“Tidak. Saya hanya ingin mengajakmu untuk makan malam bersama, Intan,” kata Mahendra akhirnya mengatakan juga maksudnya. “Ya, hanya sekedar makan malam biasa saja, semua ini untuk merayakan pencapaian proyek kita.”
“Saya pikir … ini saat yang tepat untuk kita berdua bisa bersantai sejenak.”
“Berdua saja, Pak?”
“Iya, memangnya kamu mau ramai-ramai? Sekantor begitu?”
Intan terkekeh mendengar kata-kata nyeleneh dari bosnya itu. Tapi kemudian tersenyum lebar, ia juga merasa sangat lelah dengan pekerjaan juga masalah yang datang silih berganti. Ajakan dari Mahendra itu terdengar sangat menyenangkan sekali, lagi pula mereka juga sudah lama tidak pergi makan malam berdua. Wanita itu berpikir, tidak ada salahnya untuk makan malam bersama, toh selama dalam masalah yang dialami olehnya, hanya bosnya itu yang selalu membuatnya nyaman dan tenang.
“Baiklah. Saya mau, Pak,” jawab Intan tegas. “Benar yang dikatakan oleh Bapak, saya juga butuh waktu bersantai sejenak dari semua masalah yang hadir dan menghantam jiwa.”
“Nah, kalau begitu kita pergi makan malam dan menikmatinya dengan tenang.”
“Jadi, saya jemput dimana? Apa kamu sampai saat ini masih berada di rumah Rina, Ntan?”
“Iya, Pak. Saya masih bermalam di rumah Rina. Jadi, nanti jemput di rumah Rina saja, seperti biasanya, ya.”
“Baik. Tunggu saya nanti malam ya, kamu harus sudah siap, agar saya tidak lagi menunggu,” jawab Mahendra tersenyum manis.
“Iya, tenang saja, Pak,” balas Intan tak kalah manis senyumannya.
Melihat senyuman yang diberikan oleh pria itu, membuat wajah Intan memerah menahan malu. Entah mengapa, melihat senyumannya saja mampu membuatnya merasa mabuk kepayang. Memang, tidak seperti biasanya karena perasaan mereka saat ini sudah mulai bermekaran layaknya bunga yang bermekaran di taman.
Intan keluar dari ruangan Mahendra dan kembali melanjutkan pekerjaannya terlebih dahulu, wajahnya terlihat lebih ceria lagi, karena memang suasana hatinya juga sudah mulai membaik. Memang, pria itu paling pandai membuat hatinya menghangat dan bahagia.
“Kenapa aku baru bertemu denganmu sekarang, Mahendra? Kenapa kisah kita harus terhenti sebelumnya?” tanya Intan di dalam hatinya.
“Andai saja … kisah cinta kita tidak pernah terhenti sebelumnya. Mungkin … kita sudah bisa bersama. Dan aku … tidak akan merasakan penderitaan yang sangat dalam seperti ini,” batin Intan bermonolog, menatap lurus ke layar monitor laptopnya.
Sedangkan bosnya itu sendiri sedang tersenyum bahagia karena akhirnya bisa meluangkan waktu bersama lagi dengan wanita yang masih menjadi nomor satu di dalam hatinya itu. Rasanya, tidak sabar menunggu nanti malam, tapi tetap berusaha tenang agar Intan merasa nyaman.
“Intan, aku tahu betul penderitaanmu seperti apa dan bagaimana. Aku merasa sangat bersalah karena meninggalkanmu dulu dan merelakanmu bersama dengan pria b******k itu,” gumam Mahendra, memainkan pulpen yang ada di tangannya.
“Dulu, aku memang salah dan bodoh karena sudah merelakanmu. Tapi, ketika pria itu berhasil membuat hatimu terluka, maka aku akan berusaha untuk merebutmu kembali. Dan aku, tidak akan pernah sedikitpun memberikan celah untuknya tetap bisa menyakitimu,” tambahnya.
“Aku akan menunggu waktu dimana kamu akan menyelesaikan semuanya dengan dia. Setelah itu, aku akan gerak cepat untuk bisa memilikimu.”