Sore ini, jalanan sedikit macet karena mungkin ini jam pulang sekolah dan juga jam pulang kantor. Arsy harus lebih bersabar lagi ketika lampu berubah merah. Menunggu sekitar 35 detik untuk lampu itu berubah menjadi hijau kembali.
Selama ia menunggu lampu berubah menjadi hijau, ia menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Papanya itu. Apakah sesuatu yang penting untuk Arsy, sampai-sampai harus izin tidak mengikuti bimbel. Apakah kabar baik? Atau malah sebaliknya?
Arsy menghela nafasnya, perasaannya mendadak menjadi tidak enak. Arsy menyandarkan punggungnya pada kursi jok, memejamkam matanya sebentar.
Arsy tersentak kaget saat suara klakson mobil dari arah belakang berbunyi, gadis itu mendongak ternyata lampu sudah berubah hijau.
Arsy melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan sedang.
Dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Arsy memasuki gerbang rumahnya, memarkirkan mobil tersebut disamping mobil sedan Abangnya.
Gadis itu merenyit, tumben-tumbenan Aldi berada dirumah jam segini, biasanya Aldi masih berada dikampus atau jalan bersama pacarnya.
Arsy melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, disana ada Mama, Papa, Aldi dan seorang pria paruh baya yang seumuran dengan Papanya, Arsy sendiri tidak mengenal dia siapa.
"Assalamualaikum." kata Arsy sambil menyalimi tangan semuanya.
"Waalaikumsalam." jawab mereka semua.
Pria paruh baya itu tersenyum ke arah Arsy, Arsy hanya membalas dengan senyum canggung.
"Arsy ke kamar dulu ya Ma."
Mela menahan tangan Arsy. Arsy menoleh dan menaikkan satu alisnya. "Disini aja dulu Sayang, ada sesuatu yang harus kami sampaikan padamu." kata Mela sambil menarik Arsy untuk duduk disampingnya.
"Ada apa?" tanya Arsy polos.
Aldi meraih tangan Arsy lalu ia menggenggamnya. Ary menoleh dan mendapati tatapan Aldi yang tak biasa.
"Begini.." Adam membuka suara sambil ia merubah posisi duduknya menjadi tegak. "Kamu masih ingat dengan Oma Nina dan Opa Doni?" tanya Adam kepada Arsy.
Arsy menggeleng pelan. Ia tidak mengenal nama itu, tapi nama itu begitu tidak asing di memorinya.
"Masa? Kamu padahal waktu masih kecil suka main sama mereka." kata Mela berusaha mengingatkan.
"Mungkin aku lupa." kata Arsy acuh. "Ada apa sih?" tanyanya bingung.
"Oma Nina sekarang sakit, dia dirumah sakit." ujar Adam.
Arsy menoleh. "Terus?"
"Ini Om Dimas, anaknya Oma Nina sama Opa Doni." kata Adam.
Ya, yang berada dirumah Arsy adalah Dimas, Papanya Daniel.
"Terus?"
"Dulu mereka punya perjanjian sama Nenek dan Kakek.." ucapan Mela terhenti, ia sungguh tidak sanggup menyelesaikan ucapannya.
Arsy menatap Mela polos. "Apa?"
Adam menghela nafasnya, bersamaan dengan genggaman tangan Aldi yang mengerat.
"Mereka punya perjanjian bahwa suatu saat jika mereka memiliki cucu berlawan jenis maka mereka akan menjodohkan cucu-cucu mereka." jelas Adam.
Pupil mata Arsy melebar? Menjodohkan? Dijodohkan?
"Ma—maksud Papa?"
"Sesuai wasiat yang Kakek sama Nenek kamu berikan, kami akan menjodohkan kamu dengan anaknya Om Dimas." kata Adam yang sukses membuat Arsy mematung.
Suara petir langsung terdengar, entah kebetulan atau ini pertanda buruk bagi Arsy.
Arsy tidak bisa berkata-kata lagi. Pernyataan Papanya itu sukses membuat dunia Arsy runtuh seketika.
"Ke-kenapa har-harus a-aku?" tanya Arsy dengan suara bergetar. "Ke-kenapa gak A-ab-abang?"
Mela menghela nafasnya pelan, matanya sedikit berkaca melihat Arsy menangis. "Dia sudah mempunyai pacar. Lagian anak pertama Om Dimas laki-laki." kata Mela.
Arsy menatap kosong kearah depan lalu ia menggeleng, air matanya langsung turun seketika. "Arsy gak mau." ucapnya lirih.
"Sayang, jika ini bukan amanat dari Kakek dan Nenek, kami gak akan melakukan ini sama kamu." kata Mela sambil mengusap lengan Arsy.
Aldi hanya diam. Ia menatap Arsy yang sedang menangis. Hatinya sakit melihat Arsy menangis seperti itu. Ia memang tidak tau perasaan Arsy sekarang, tapi ia mengerti perasaan Arsy.
Arsy adiknya yang begitu Aldi sayangi. Jika ada orang menyakiti Arsy, maka Aldi akan menjadi orang pertama yang akan melindungi Arsy.
Arsy terlalu muda untuk menghadapi kenyataan bahwa dia harus menikah.
Terkadang kejujuran memang lebih menyakitkan dari pada kebohongan.
"Tapi Arsy gak siap, hiks. Arsy gak mau." kata Arsy sambil terisak.
Aldi yang tidak tega melihat Adiknya seperti itu, ia menarik Arsy kedalam pelukannya, membiarkan Adiknya menumpahkan segala kesedihan akibat kenyataan yang mengharuskannya didalam pelukan hangatnya.
"Arsy gak tau dia siapa. Arsy gak mau. Arsy takut." ucap Arsy lagi.
"Dia seumuran sama kamu." kali ini Dimas yang berbicara.
"Papa sama Mama batalin aja perjodohan itu, Arsy gak mau." ujar Arsy sambil melepaskan pelukannya.
"Andaikan Mama bisa, Sayang, Mama akan melakukan itu." ucap Mela lembut, berharap anak perempuannya itu mengerti.
Arsy menghapus air matanya dengan kasar. "Arsy.gak.mau." ucap Arsy dengan penuh penekanan.
Gadis berambut panjang itu meraih tasnya dan langsung berlari ke kamarnya yang ada dilantai dua. Membanting pintu sehingga mengagetkan semua yang ada diruang tamu.
"Maafkan Arsy, Dim, dia mungkin butuh waktu buat sendiri." kata Adam yang merasa tidak enak pada Dimas.
"Tidak apa-apa, Daniel juga gitu saat pertama kali tau. Kalo begitu saya permisi dulu. Semoga ada kabar baik setelah ini." ujar Dimas lalu berdiri.
Adam mengangguk. "Iya. Nanti saya akan kabari kamu."
Dimas mengangguk. "Saya permisi."
Setelah itu Dimas mengucapkan salam dan keluar dari rumah Arsy.
Adam duduk kembali disofa, memijat pangkal hidungnya yang terasa sakit.
"Bagaimana ini, Pa?" tanya Mela. Raut wajah khawatirnya tidak bisa ia sembunyikan.
"Kita beri Arsy waktu dulu."
"Mama sama Papa yakin mau melakukan ini? Arsy pasti gak akan pernah mau." ujar Aldi.
Mela menggeleng. "Ini semua udah wasiat, Di. Mama sama Papa gak bisa berbuat apa-apa."
Aldi menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa, menghela nafasnya. Cowok itu menatap kamar Adiknya yang ada dilantai dua. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Bahkan untuk menghiburnya sekalipun.
*****
Dimas memasuki ruang rawat Oma Nina. Disana ada istrinya dan Daniel yang masih terlihat frustasi dengan kenyataan ini.
Sepulangnya dari rumah Arsy, Dimas langsung bergegas ke rumah sakit.
Dimas mengerti Daniel tidak mau dijodohkan seperti ini. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena semua sudah diatur oleh orang tuanya istrinya dimasa lalu.
"Bagaimana, Pa?" tanya Rina begitu Dimas duduk disofa.
Pria itu melirik Oma Nina yang sedang tertidur, mungkin sedang istirahat.
Dimas menghela nafasnya kemudian menggeleng pelan. "Dia sama kaya Daniel, gak mau juga." ujarnya.
"Yaudah batalin aja lah." kata Daniel.
Dimas menoleh. "Semua tergantung Oma."
"Kalian gak ngerti perasaan Daniel. Ini bukannya zaman Siti Nurbaya yang harus jodoh-jodohan kaya gini." kata Daniel sarkatis.
"Jaga ucapan kamu, Daniel." kata Dimas.
"Emang benerkan, Pa?"
"Udah jangan berantem. Nanti Oma bangun." ucap Rina.
Dimas memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Sedangkan Daniel menghembuskan nafasnya kasar.
"Daniel.." panggil Oma Nina dengan lemah.
Daniel, Dimas, Rina menoleh dan langsung menghampiri ranjang Oma Nina.
"Iya Oma?" sahut Daniel.
"Oma mohon sama kamu. Ini permintaan Oma yang terakhir." kata Oma Nina tiba-tiba.
"Oma ngomong apaan sih? Jangan aneh deh." ujar Daniel dengan sedikit kesal karena Omanya berujar bahwa itu adalah permintaannya yang terakhir.
Oma Nina menggeleng lemah. "Oma mohon, Dan, ini bahkan permintaan terakhir Opa sebelum Opa meninggal."
Dimas dan Rina hanya diam, membiarkan Oma Nina berbicara dengan Daniel.
Daniel duduk dikursi, ia menggenggam tangan Omanya ini. Nina adalah Omanya satu-satunya. Oma dan Opanya dari Papanya, telah meninggal dua tahun yang lalu, kemudian disusul oleh Doni, Opanya yang adalah suami Oma Nina kurang lebih satu tahun yang lalu. "Tapi Daniel gak siap, Oma."
"Oma tau, tapi harus bagaimana lagi? Oma mohoh sama kamu, Dan."
Daniel menghela nafasnya. "Yaudah aku mau. Demi Oma. Asal Oma harus sembuh." ujar Daniel akhirnya membuat senyum dari wanita berumur enam puluh lima tahun itu terbentuk.
"Terima kasih cucu Oma." kata Oma Nina.
Daniel hanya tersenyum. Iyain aja dulu, Dan, nanti lo cari cara lain. Batin Daniel berseru.
*****