1. I Can't

1664 Words
"Darren What?!", Laurel menutup telinganya ketika mendengar Helen setengah memekik setelah mendengar cerita yang disampaikan. Niat awal Helen hanya ingin bertanya mengapa pagi ini wajah Laurel tampak murung dan sembap. Tapi ternyata ia mendengar informasi mengejutkan mengenai Darren yang akan melamar Stella. Untung saja kelas sudah mulai sepi karena sesi kuliah pagi telah usai. "Sssttt, jangan keras-keras. Bagaimana kalau Stella tiba-tiba datang kemari dan mendengar?", Laurel memutar matanya. "I don't f*****g care with her, Laurel. Dia tahu kalau kau suka dengan Darren. Dan sekarang dia menikungmu?", "Stella tidak menikungku, Helen. Aku dan Darren tidak ada hubungan apapun.", jawab Laurel. Helen mendengus. "Tidak ada hubungan apapun? Kau yakin? Karena aku melihat kalian saling menyayangi. Hanya saja Darren mendadak buta.", sindirnya. "Helen, biarkan saja.", Laurel mencoba menenangkan emosi Helen. Ia paham betul kenapa Helen bisa sangat marah seperti ini. Helen merasa bahwa Stella mengkhianati. Sama dengan Laurel, ia marah. Tapi bukan kepada Stella, melainkan dirinya sendiri karena tidak berani menyatakan perasaanya pada Darren sebelum hal ini terjadi. Dan sekarang? Sudah terlambat. "Kau terlalu baik, Laurel. Jangan mau kalah. Kau harus mengatakan pada Darren mengenai perasaanmu.", Laurel menggeleng pelan sembari membereskan buku-bukunya diatas meja. "Tidak, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Darren. Lagi pula semuanya sudah terlambat.", "Tidak ada kata terlambat Laurel.", "Tapi aku sudah merasa ini terlambat.", balas Laurel. "Terserahmu saja. Sudah aku katakan dari awal bahwa Stella punya maksud ketika ingin berteman denganmu. Dan sekarang kau lihat sendiri...", ... Laurel dan Helen sedang menikmati makan siangnya di kafetaria yang ada di dalam kampus ketika Stella menghampiri mereka dengan gayanya yang sedikit berlebihan. Rok mini, tank top, heels dua belas centi membuat Helen menggerutu. "Apa dia tidak bisa santai kalau ke kampus?", "Bersikap biasa saja.", pinta Laurel sebelum Stella dengan santainya mengambil kursi kosong dan duduk dihadapan keduanya. "Laurel, Helen.", sapanya sambil tersenyum lebar tanpa dosa dan mengibaskan rambut blondenya kebelakang. "Bi-", "Stella, how's your day?", sela Laurel sebelum Helen sempat mengumpat. Laurel tahu bahwa Helen memang tidak menyukai Stella sejak awal. Dan ia tidak mau Helen semakin membenci Stella hanya karena masalah ini lalu membuat pertemanan mereka hancur. Helen hanya memutar matanya. "Fine. Bagaimana dengan kalian?", "Not good.", balas Helen singkat. Ia tidak menatap Stella sama sekali dan sibuk memotong daging steak di piringnya. Stella mengangkat alisnya. "Ah benarkah? Apa nilaimu turun?", tanyanya. Laurel diam. Sedangkan Helen meletakkan pisaunya kasar hingga membuat suara dentingan yang cukup keras antara keramik dan stainlees yang beradu. "Kapan kau akan mengatakan pada kami kalau kau berhubungan dengan Darren Williams, Stella?", tanyanya sambil menekankan nama Stella di akhir kalimat. Laurel menutup matanya sejenak. "Helen, tidak perlu dibahas.", "Ah jadi kalian sudah tahu. Ternyata Darren sudah menjelaskan.", timpal Stella sambil tersenyum senang. "Aku tidak perlu repot-repot", Laurel mengangguk. Ia berusaha tersenyum. "Iya, Darren menjelaskan padaku tadi malam.", "Aku tidak bisa melakukan ini.", seru Helen frustasi. Ia bangkit dari bangku kafetaria sambil membawa tasnya. Ia menatap Stella tajam. "Pertemananku denganmu cukup sampai disini, Stella.", Stella mendengus kesal sambil menatap kepergian Helen dengan pandangan tidak bisa dipercaya. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?", tanyanya pada Laurel. Laurel mengusap lehernya. "Helen merasa kau harus menjelaskan kenapa kau tidak memberitahu kami tentang hubunganmu dan Darren." Stella tersenyum mencemooh. "Jadi ini berhubungan dengan perasaanmu pada Darren?", Laurel terdiam. Ia menunduk sambil memutar-mutar garpunya diatas pasta yang mulai mendingin. "Listen to me, Laurel. Karena aku tahu kau menyukai Darren. Jadi aku menyembunyikan hubunganku dengannya. Dan kau tenang saja, aku tidak memberitahu Darren tentang perasaanmu padanya. Kecuali...", Stella menggantung kalimatnya. "Kecuali kalau kau mau merusak hubunganmu dengan Darren. Aku dengar Darren menganggapmu seperti adiknya.", "Aku tahu. Terima kasih stella.", Laurel tersenyum masam. ... Laurel tidak dapat melihat Helen, Stella, maupun Darren dimana pun. Malam ini, Darren mengajak mereka semua untuk makan malam di sebuah restaurant mewah. Laurel tahu, bahwa Darren akan melamar Stella nanti malam. Pria itu sudah meminta saran dari Laurel sejak siang tadi lewat pesan singkat. Terpaksa dia harus datang demi Darren. Jika dia tidak datang, Darren bisa-bisa tahu yang sebenarnya. Pastinya akan membuat Laurel semakin patah hati. Tapi, apalagi yang bisa diperbuat olehnya? Ia hanya berdoa semoga ia bisa berakting bahwa ia juga bahagia. Tak lupa juga berdoa untuk Helen agar gadis itu bisa menahan emosi untuk tidak membalik meja ketika cincin indah yang dilihatnya tersemat di jari Stella. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?", Laurel yang tadinya sedang berdiri di dekat pintu karena tidak bisa menemukan sahabat-sahabatnya didatangi seorang pelayan pria. "Hmm apa ada yang reservasi atas nama Darren Williams?", Pria itu tersenyum ramah. Ia mengangguk pelan, "Silahkan lewat sini miss.", Laurel mengikuti langkah pelayan itu menuju lantai dua. Terdapat sebuah koridor kaca yang menghubungkan sebuah rooftop dimana ia bisa melihat Darren sudah duduk disana bersama Stella. Namun, tidak ada Helen disana. Ia berhenti melangkah. "Berhenti.", "Ya miss?", "Terima kasih sudah mengantarku. Aku bisa sendiri.", ujar Laurel. Pelayan itu mengangguk dan pamit pergi meninggalkan Laurel di koridor. Untung saja Darren dan Stella menghadap kearah pemandangan kota, menjadi kesempatan Laurel bergegas mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Helen. Jika ia duduk bersama Stella atau Darren saja tak masalah. Seperti di kafetaria siang tadi, ia bisa menahan diri. Tapi jika melihat keduanya bersama? Rasanya Laurel tak sanggup. Panggilan mulai terhubung. Suara Helen terdengar. "Kau dimana?", tanya Laurel langsung. Parkiran. Itulah jawaban Helen. Lebih baik ia dan Helen masuk bersama. Setidaknya, bila ada Helen, masih ada orang yang mengerti perasaannya dan membantunya menahan diri untuk tidak menangis. Berbicara mengenai menangis. Rasanya air mata Laurel sudah mualai terkuras habis menangisi Darren tadi malam. Menyimpan perasaan seorang diri sejak umurnya 15 tahun ternyata sangat menyakitkan pada akhirnya. Ya siapa sangka bila Darren lebih menyukai sahabatnya, Stella. "Laurel!", Laurel menoleh. Ia mendapati Helen tengah melangkah menaiki tangga. "Jika bukan karenamu aku tidak mungkin mau datang.", gerutu Helen menyambut. Laurel meringis kecil. "Maafkan aku. Tapi mau bagaimana? Mereka sahabat kita.", "Ralat, sahabatmu. Bukan sahabatku.", Laurel masuk bersama Helen ke area rooftop. Hanya ada beberapa meja diatas sana. Dan hanya terisi oleh Darren dan Stella. Mereka mendekat. "Darren, Stella. Maaf kami baru datang.", ujar Laurel ketika mereka sudah berdiri di hadapan pasangan malam ini. Darren bangkit. Ia hendak memeluk Laurel seperti biasanya. Namun Laurel menghindar. Ia melirik Stella yang sudah menatapnya sinis. "Maaf Darren, kau sekarang memiliki kekasih.", ujar Laurel pelan. Darren tak menggubris perkataan Laurel. Ia langsung memeluk gadis itu erat dan mencium keningnya seperti tak memiliki rasa bersalah bila Stella menggerutu melihat mereka. Dalam hati Laurel, ada perasaan senang dan takut menjadi satu. Ia melirik Helen sekilas dan mendapati gadis itu tersenyum penuh kemenangan. Helen memang lebih menyetujui bila Darren bersama Laurel dibandingkan dengan Stella. Siapapun yang menyandingkan keduanya pasti memilih Laurel. Tapi entah kenapa, Darren mendadak buta, sama seperti yang ia sampaikan pada Laurel siang tadi. "Ayo duduk.", ajak Darren. Darren masih saja memperlakukan Laurel dengan baik. Membantu gadis itu duduk dengan menarikkan kursi. "Apa hanya kita berempat?", tanya Helen. Darren menggeleng, "Tidak Helen. Ada orang tuaku, orang tua Stella, dan orang tua Laurel, ada juga beberapa temanku. Tapi mereka masih akan datang pukul 7.", Setelah mereka semua telah duduk. Darren yang duduk di samping Stella dan dihadapan Laurel mulai memanggil pelayan untuk menyajikan beberapa welcome drink. "Aku pikir kau marah padaku.", Stella membuka suara sambil menatap Helen. Helen tersenyum memaksa. "Memang. Aku datang demi Laurel.", Laurel yang tadinya hanya diam mulai berbisik kearah Helen. Meminta agar gadis itu menahan emosinya sebelum Darren bertanya apa yang terjadi. Dan benar saja, Darren bertanya membuat ketiga gadis itu tekejut. "Apa kalian ada masalah?", Stella mengangkat bahunya. "Tanya saja pada Helen.", Darren menatap Helen dengan kening berkerut. Lalu menatap Laurel yang tampak memberi kode kearah Helen untuk tidak mengatakan yang aneh-aneh. Helen menghela napasnya. "Kenapa kau tidak bilang kalau kau berhubungan dengan Stella selama ini?", Laurel menunduk. Sedangkan Stella menatap kuku-kuku jarinya yang baru saja di cat di salon sore tadi. "Hmm Stella memintaku merahasiakan dari kalian. Dia ingin memberi kejutan.", Helen mendengus. Ia menatap Stella tajam. Ia hendak membuka mulut tapi ia tahan karena melihat para orang tua mulai muncul bersamaan. "Helen...", panggil Laurel. "Aku mohon jangan.", pintanya sambil menyeret sedikit kursinya mendekat pada Helen ketika Darren dan Stella menyambut tamu lainnya. "Tadinya aku menahan diri. Tapi melihat wajah Stela aku benar-benar ingin mencakarnya.", Laurel lagi-lagi hanya bisa terdiam. Kali ini doanya bertambah, semoga acara malam ini berjalan dengan lancar. ... Acara makan malam berjalan dengan baik malam ini meskipun Laurel mati-matian menahan diri dan menahan Helen untuk tidak mengeluarkan tanduknya. Saat ini waktunya acara santai seperti menikmati hidangan penutup dan mengobrol satu sama lain. "Laurel, bisa bicara sebentar?", tanya Stella setelah berhasil menghampiri keduanya di tepi balkon. "Berdua.", tambahnya dan melirik Helen. Helen mendengus. Ia berbisik pada Laurel, "Kalau nenek sihir ini berulah. Teriakkan namaku.", ujarnya masih bisa di dengar oleh Stella. "I hear that.", "Baguslah.", balas Helen sebelum berlalu pergi dan menabrak bahu Stella. Stella mengusapkan telapaknya di bagian yang ditabrak oleh Helen. Ia menatap jijik membuat Laurel menggeleng pelan. "Kenapa?", tanya Laurel. Sebenarnya ia tidak mau berbicara dengan Stella. Tapi entah kenapa sejak tadi hati dan otaknya tidak selaras. "Jauhi Darren.", Laurel mengerjap. "Apa?", Stella dengan santainya mengulang kata-katanya sambil tersenyum lebar. "Yah kalau kau menjadi aku. Kau tidak mungkin mau jika tunanganmu memberikan perhatian pada orang lain, bukan?", "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud se-", Stella memotong ucapan Laurel dengan tangan terangkat di udara. "Aku memaafkanmu. Tapi sebaiknya kau menjauhi Darren. Darren menganggap hal ini biasa saja baginya. Tapi tidak denganku. Aku tidak mau tunanganku memberikan kasih sayang pada wanita lain.", "Stella...", "Jauhi saja Darren. Anggap aku membantumu untuk move on.", Laurel menghela napasnya panjang melihat kepergian Stella. Matanya yang sendu kini menatap Stella yang menghampiri Darren dan mencium pria itu sambil melirik kearahnya. Seolah gadis itu memamerkan kedekatannya pada Laurel membuatnya merasakan goresan di lukanya yang belum sembuh semakin lebar. Perlahan Laurel melangkah mundur, keluar dari rooftop dan berlari menuruni tangga sebelum orang lain melihatnya mulai menangis, terutama Darren, Helen, dan orang tuanya. Laurel berlari tanpa memperdulikan panggilan Helen yang sempat melihatnya pergi meninggalkan acara. Ia berlari keluar sambil menyeka air matanya yang mulai memperburam pandangannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD