Disclaimer:
Cerita ini adalah fiksi. Kesamaan peristiwa historis, nama, tempat digunakan dalam buku ini adalah untuk keperluan cerita fiksi. Nama, karakter, tempat, dan peristiwa di dalam cerita ini adalah hasil imajinasi penulis, dan kesamaan dengan peristiwa nyata, tempat, atau orang, baik yang masih hidup atau mati, adalah kebetulan belaka.
***
Hari Senin di minggu keempat ini tidak mengubah ritme kehidupan di Manhattan, New York City (NYC) menjadi lebih santai. Kota yang tidak pernah tidur ini selalu sibuk. Sebagai CBD (Central Business District), pusat bisnis utama di Amerika, kecepatan menjadi sesuatu yang lumrah. Begitu juga dengan kesibukan. Didukung dengan subway system (sistem transportasi bawah tanah) yang tersedia dalam 24 jam, juga restoran, bar, juga hiburan malam, membuat denyut kota ini tidak pernah berhenti.
Pada pukul tujuh pagi, aku sudah berlari-lari ke Starbucks terdekat dari kantorku, JAP Inc., untuk memesan espresso kesukaan, Jack Allen Peterson. CEO di JAP. Inc, atasanku. Walaupun hari kerja sebagai asisten pribadinya adalah Senin sampai Jumat, terkadang di hari Sabtu aku tetap harus melayani kebutuhan pribadinya, seperti misalnya mengambil atau menaruh laundry ke tempat laundry, dan tidak lupa membawakan pesanan espressonya, lalu mengantarkannya ke apartemennya di Upper West Side. Sebenarnya baik tempat laundry maupun starbuck tidak jauh dari apartemennya. Aku juga tidak tahu alasannya yang selalu memintaku melakukan hal itu.
Mungkin karena dia terlalu sibuk untuk mengurusi remeh-temeh semacam itu. Untunglah apartemenku sendiri di daerah Central Harlem tidak terlalu jauh dari kantor maupun dari apartemen Jack. Hanya butuh sekitar 20-30 menit memakai subway. Sama sekali tidak ada masalah akan hal itu, apalagi sampai memikirkan untuk pindah kerja. Tidak pernah muncul di benakku.
Memang menjelang saat barang harus diekspor atau mengurus permasalahan yang berbelit-belit penyelesaiannya, Jack umumnya menjadi lebih galak dan kritis. Ditambah sifat perfeksionisnya yang kudengar membuat beberapa orang asisten pribadi sebelumnya mengundurkan diri, itu memang cukup membuat frustrasi. Walaupun begitu, dia sangat adil, terutama dalam memberikan bonus. Setiap minggu saat mengantarkan laundry dan espressonya, dia sering mengajakku makan bersama di apartemennya, atau di luar. Terkadang kalau terlalu sibuk, dia hanya menambah gajiku di awal bulan berikutnya. Jadi setidaknya mempunyai bos seperti Jack masih termasuk cukup lumayan.
Dari seleranya yang hanya menyukai espresso, sepertinya sangat menggambarkan dirinya. Laki-laki berusia 32 tahun ini lajang, sangat cerdas, pekerja keras, tidak heran termasuk salah satu miliuner termuda di New York, bahkan di Amerika Serikat. Belum cukup itu saja, seolah-olah Tuhan sedang sangat bermurah hati saat menciptakannya, Jack memiliki fisik yang selalu tidak gagal membuat kaum Hawa menoleh, dengan mata yang bisa menyorot sangat hangat sampai bisa membuatmu meleleh (hal yang agak jarang terjadi) sampai membeku seperti es di Antartika, tergantung suasana hatinya (yang terakhir lebih sering daripada yang pertama). Kepribadiannya yang sedingin es tidak menjauhkan para penggemarnya yang jumlahnya bisa menyaingi antrian untuk masuk teater Broadway. Mulai dari para pesohor, sesama eksekutif, sampai sebagian besar staf wanitanya, semua berlomba-lomba menarik perhatian bosku.
Selama 5 tahun bekerja dengannya, tidak pernah kudengar kabar atau kulihat sendiri Jack berkencan dengan seorang pun. Gosip-gosip yang beredar bosku itu gay, atau penyuka sesama jenis. Entah aku sendiri tidak bisa memberikan konfirmasi hal itu, karena walaupun penggemar prianya cukup banyak juga, dia juga tidak meladeni mereka. Sejauh yang bisa diamati selama ini, Jack selalu datang ke kantor pukul 8 pagi tepat dan pulang dari kantor minimal pukul 6 atau 7 malam. Selalu begitu setiap hari, kecuali kalau ada kondisi darurat.
Hari ini, 21 Agustus 2017, adalah hari yang banyak dinantikan oleh begitu banyak orang di seluruh dunia, termasuk di New York sendiri. Info dari The New York Times dan beberapa sumber lain, pada hari ini tepat pada 1:23 siang, bulan akan mulai melintasi matahari, memulai terjadinya gerhana matahari. Dikabarkan gerhana ini akan terjadi sampai pukul 2.44 sore, saat 70-72% matahari akan tertutup bulan. Seharusnya memang terjadi gerhana matahari total, tapi sayangnya di New York City (NYC) kami tidak akan bisa menyaksikan itu, walaupun di kota-kota dan di negara bagian lain di Amerika Serikat bisa melihat gerhana matahari total itu. Dikabarkan pula peristiwa langka ini akan selesai pada pukul 4 sore nanti.
Kubaca juga ada sejumlah alternatif tempat yang pas di Manhattan untuk menyaksikan gerhana matahari ini, yaitu di taman seperti misalnya Central Park, Fort Tryon Park, dan Inwood Hill Park. Alternatif lain adalah di rooftop bar [1], seperti beberapa tempat yang sudah menawarkan kesempatan untuk menyaksikan gerhana matahari tersebut, yaitu di Hotel Americano, di Chelsea, di bar City Vineyard, di Hudson River Park, daerah Lower Manhattan, atau di restoran dan bar Lovage Rooftop. AMNH (American Museum of Natural History) di Planetarium Hayden juga akan mengadakan sesi menyaksikan gerhana matahari itu. Tempat lainnya adalah di Times Square.
Dari begitu banyaknya tempat tersedia untuk menyaksikan fenomena alam yang menakjubkan ini, karena jatuh pada siang sampai sore hari pada waktu kerja, beruntunglah karena lokasi kantor di Times Square, tepatnya di Eleven Times Square, aku akan bisa mencuri-curi waktu untuk a menyaksikan gerhana matahari tersebut. Sebenarnya melihat gerhana matahari bukan sesuatu yang jadi prioritasku, terutama karena berbagai masalah yang terjadi dalam hidupku baru-baru ini. Salah satunya baru saja datang menghampiriku.
“Daphne!” teriaknya begitu memasuki ruanganku.
“Ya, Bos,” jawabku dengan gugup. Mati aku, apa kesalahanku kali ini?
“Apa kau sudah kehilangan akal sehat?” bentaknya lagi. Sosoknya yang tinggi menjulang, 6 kaki 2 inci [2] sangat mengintimidasi saat dia marah.
“A-akal sehat? Apa maksudmu, Jack?” Aku menengadah untuk menatapnya. Sesuatu yang selalu harus kulakukan karena perbedaan tinggi kami yang cukup jauh, lebih dari setengah kaki. Dari sejak pertama bekerja untuknya, bosku tidak pernah mau dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’ atau ‘Pak’, maupun nama keluarga.. Cukup nama depan saja katanya.
Jack membanting berkas dokumen ke atas mejaku. Tatapan dingin dari mata biru itu terasa sangat menusuk. “Proyek ekspor ke China, satu juta microchip. Sudah ingat sekarang?”
Aku tersentak. “I-itu….”
“Karena kelalaianmu dalam mengurus dokumen ekspor, JAP Inc. akan mengalami kerugian hampir 500 ribu dolar. Bagaimana kau akan mempertanggungjawabkan hal itu, Daphne?” bentak Jack lagi.
“A-aku….”
“Cepat urus dokumennya sekarang! Mudah-mudahan pihak China mau menerima keterlambatan pengiriman dari pihak kita,” teriak Jack.
“Ba-baik,” gumamku tergagap.
Jack segera keluar dari ruanganku sambil membanting pintu ruangan keras-keras. Sementara aku segera membuka file dokumen ekspor dan perizinan. Sesudah mengisi beberapa perincian yang diperlukan, kucetak dokumen itu. Aku sebenarnya sudah mempersiapkan dokumen-dokumen tersebut dari minggu lalu. Hanya tinggal menunggu sejumlah data saja sampai kemarin. Kalau saja kemarin tidak terjadi peristiwa tragis yang mengacaukan hidupku, tentu tidak akan terjadi kelalaian yang sangat fatal semacam ini.
Begitu selesai mencetak dokumen, kubawa ke ruangan Jack. “I-ini sudah kucetak.” Kusimpan di mejanya sambil menunggunya memeriksa dokumen itu.
Baru saja mau beristirahat dan menenangkan diri, Jack mulai membentak lagi. “Daphne! Kenapa tertulis MC3216? Seharusnya ini tipe MC3215!”
Segera aku mengambil dokumen itu. Begitu melihat kolom tipe microchip, kesalahan itu baru terlihat sekarang. Buru-buru aku melompat lalu berlari kembali ke ruanganku. Sesudah mengubah bagian yang salah dan mencetak ulang bagian itu, kali ini memastikan tidak terjadi kesalahan lain, baru kuserahkan pada Jack.
“Lain kali, tidak boleh ada kesalahan semacam ini. Kecuali kalau memang kau sudah bosan bekerja di sini, Daphne,” tutur Jack dingin.
Aku hanya bisa menunduk. Menyadari sepenuhnya ini memang salahku. “Iya, Bos. Aku mengerti. Ini memang kesalahanku. Aku benar-benar minta maaf.”
“Sudah, keluar. Segera kirim dokumen ini. Barang-barang sudah menunggu di pelabuhan.”
Kumasukkan dokumen ekspor tadi ke dalam amplop besar, lalu kuberi alamat. Kupanggil Simon. “Ini tolong dikirimkan secepat mungkin ke pelabuhan, Simon.”
Simon, office boy merangkap kurir kantor kami, segera menerima amplop itu. Dia menatapku sesaat. “Hari yang berat, ya? Bertahanlah.”
Aku meringis. “Terima kasih. Pergilah. Dokumen ini sudah ditunggu dari kemarin.” Sesudah Simon keluar dari ruanganku, aku kembali ke ruangan Jack. Sesudah mengetuk pintunya terlebih dahulu, aku masuk. Jack tampak sedang memeriksa sejumlah berkas.
Begitu melihatku, dia menaikkan alisnya. “Ada apa lagi, Daphne?”
“Aku benar-benar minta maaf. Karena ada masalah pribadi, aku benar-benar lupa mengenai deadline pengiriman dokumen kemarin. Untuk keterlambatan pengiriman, charge selama setengah hari kapal di pelabuhan biar dipotong dari gajiku.” Itu artinya hampir 7 persen gajiku bulan ini akan melayang, tapi apa boleh buat? Hanya itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bertanggung jawab.
“Sudah banyak uang, Daphne?” sindir Jack.
Aku segera duduk. Menghadapi sindiran dan omelan Jack butuh kekuatan ekstra. “Bu-bukan begitu,” sahutku. “Memang itu kesalahanku. Satu-satunya cara yang bisa terpikir olehku untuk bertanggung jawab hanya itu.”
Jack menghela napas panjang. “Sudah, tidak usah dipikirkan. Lain kali tidak ada kesalahan lagi. Masalah pribadi harus dipisahkan dengan urusan kerja. Mengerti, Daphne?”
Aku mengangguk dengan cepat. “Ya, aku mengerti, Jack. Terima kasih.”
“Sebenarnya ada masalah apa?” tanya Jack sambil bertopang dagu menatapku. “Lima tahun kau bekerja denganku, bahkan saat ibumu meninggal tiga tahun lalu, kau tidak sekacau ini. Apa masalah yang lebih berat dari meninggalnya ibumu?” Jack memiringkan kepalanya menatapku dengan intens.
Di bawah tatapan mata birunya yang kali ini terasa lebih hangat, tanpa terasa air mataku meleleh. “Pacarku…. Kemarin aku memergokinya tidur dengan sahabatku. Padahal kami sudah merencanakan akan menikah akhir tahun ini, dengan sahabatku seharusnya menjadi pengiring pengantin.” Air mataku mengalir semakin deras. “Untunglah belum kubayar semua yang harus dibayarkan, tapi beberapa uang muka akan hangus. Mungkin ini yang terbaik,” isakku lagi.
Tiba-tiba, Jack berjalan ke arahku, lalu menarikku sampai berdiri. Diarahkannya kepalaku ke dadanya. “Menangislah kalau itu membuatmu merasa lebih baik.” Jack kemudian memelukku.
Isakku semakin keras. Air mataku membasahi kemeja putihnya. Jack mengusap-usap rambut pirang panjangku dengan lembut, membuatku semakin tersedu-sedu di pelukannya.
“Perselingkuhan adalah pengkhianatan yang terburuk, apalagi dilakukan oleh orang tercintamu. Dalam hal ini, kekasih dan sahabatmu sendiri.” Jack menghela napas. “Ini memang gila, tapi sesudahnya kau akan menyadari bahwa sungguh beruntung kau tidak menikah dengan pacar brengsekmu itu. Dia dan sahabatmu pantas bersama. Sesama sampah memang cocok bersama,” sahut Jack berapi-api.
Terheran mendengar perkataannya, aku mendongak. “Jack?” bisikku di tengah isak tangis.
“Sssh, aku sangat mengerti keadaanmu,” jawab Jack lagi. “Begini saja, bagaimana kalau kau cuti dua hari? Kamis semoga kau sudah segar kembali, Daphne.”
“Terima kasih banyak, Bos,” bisikku masih dengan air mata yang mengalir.
Jack mengangguk, sambil masih terus mengelus rambutku dan memelukku erat.
Beberapa saat isakan tangis pun terhenti. Dengan malu, aku menjauh. “Terima kasih banyak, Jack. Maaf, aku menjadi begitu emosional.”
Jack tersenyum hangat sambil menggeleng. “Tidak apa-apa. Kapan pun kau butuh seseorang untuk mendengarkan atau menghiburmu, aku akan ada di sana untukmu.”
Aku terkesima menatapnya, lalu mengangguk. Sesudah itu, dengan canggung aku keluar dari ruangannya. Selama lima tahun bekerja dengannya, Jack tidak pernah memperlihatkan kehangatan dan perhatian yang sebegitu besarnya. Itu sebabnya, tadi itu seperti mimpi saja, terlebih setelah bentakan dan sindirannya sebelumnya.
Keterangan:
[1] bagian atap dari bangunan bar di area terbuka.
[2] sekitar 185 cm.