Aku kira kau adalah separuh jiwaku yang akan menetap hingga masa akhirku.
Ah, ternyata kau separuh kisah yang menjadi pelengkap jalan takdirku.
Dulu kita pernah mengucap sumpah seiya sekata.
Kita pernah saling mengikat janji.
Bahwa kita adalah tinta dan kata.
Sementara masa adalah kertas penyalur imaji.
Kita pernah mendamba dalam ingin.
Bahwa sukacita, ceria, sedih, luka, dan air mata.
Kita akan jadikan adukan semen perekat dari terpa angin.
Dan rasa saling menyempurnakan kita adalah susunan bata.
Yang kan menjadi rumah bagi kasih yang tengah kita jaga.
Tempat berteduh dari lara hati dan rapuhnya raga.
Tapi..
Takdir memang bukanlah pujangga.
Dalam jiwanya tak ada puitis atau suka cita.
Hanya amarah dan bengis membungkus raga.
Dia adalah penyihir tak kasat mata.
Yang dapat merubah inginku dan inginmu menjadi angan semata.
Yang merubah segar menjadi kering dan dahaga.
Dan menyulap kobar kasih putih bersih bak permata.
Menjadi kobaran api liar yang mengepulkan jelangga.
Dalam panggung sandiwara semesta ini.
Kita tak dicipta untuk menjadi laki-bini.
Ternyata kita hanya diberi peran untuk saling membantu.
Bukan sebagai pemilik 2 hati yang akan menyatu.
Ternyata sedari awal, kita hanyalah sepasang sepatu.
Dibiarkan bersama, tapi tak diizinkan bersatu.