Tepat satu bulan telah berlalu.
Perempuan modern yang kini berada dalam tubuh gadis yang lebih muda darinya itu tengah berjalan-jalan santai di sekitar mansion dekat danau seraya mengamati keadaan.
Runa, sang pelayan pribadinya mengekorinya dengan mulut tak hentinya mengunyah biskuit buatan nyonya Sabrina. Dalam pelukan satu tangannya tergenggam satu toples kecil biskuit dengan isi yang sudah habis separuh.
Anne sampai bisa mendengar sebuah suara yang tak terucap di telinganya: GUK!
Rasa bersalah menggelayut di hatinya, ia sebenarnya menganggap Runa sebagai saudarinya atau hewan peliharaannya, sih? Diam-diam, ia tertawa kikuk sendiri memikirkannya.
"Apa perasaan nona sudah lebih membaik?" tanya Runa, mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Anne berbalik.
Gaun biru cerahnya dengan banyak renda berpusing lembut mengikuti gerakan tubuhnya.
"Ya. Aku sudah membaik. Dokter Marvin harusnya tak perlu repot-repot datang tiap minggu hanya untuk mengecek perkembanganku."
Hari ini, Anne mengikat satu rambutnya seperti kebiasaannya sewaktu di dunia lamanya. Kepala pelayan yang mendapati gaya rambut rakyat jelata itu nyaris syok terkaget-kaget. Berkata bahwa aura elegan dan bangsawannya berpotensi turun level ke tempat terendah.
Anne tak peduli, ia tak suka rambutnya digerai begitu saja, apalagi ini daerah yang lumayan hangat sepanjang waktu, tidak seperti di kehidupannya yang dulu.
"Kau bilang di sini tidak turun salju?"
Runa menggeleng cepat.
"Bukan tidak turun, tapi jarang. Hujan selalu mengguyur negeri kita, nona! Itulah kenapa kerajaan kita sangat makmur."
"Ah... jadi tempat ini mirip seperti di Inggris cuacanya...." gumam Anne pelan.
"Inggris? Apa itu?" kepalanya dimiringkan, mata terlihat bingung.
"Itu..." Anne kesulitan menjelaskannya, jadi dengan kembali memberikan kebenaran dengan caranya, ia menjawab, "itu adalah nama suatu negeri nun-jauh di sana. Meski memiliki 4 musim, tapi salju hampir selalu tergantikan oleh hujan."
"Oh...." mulut Runa membulat. "Apakah itu jauh dari sini? Nona pernah ke tempat itu?"
"Jauh! Jauh sekali! Saking jauhnya aku belum pernah ke sana."
Ia tersenyum kecut mengatakan hal itu.
Si pacar brengs*knya suka membawanya keluar negeri. Entah ke Yunani, Indonesia, Amerika, Perancis atau Jerman, tapi kenapa ke Inggris belum pernah sekali pun? Ia baru menyadari hal ini. Apa jangan-jangan Inggris dijadikan tempat untuk berselingkuh tanpa sepengetahuannya?
Dada Anne menjadi panas. Sudah sebulan hal itu perlahan hilang di hati dan pikirannya, kini rasa amarah itu kembali mulai berkecamuk di dalam dirinya.
Detik berikutnya, ia mendingin.
Helaan napasnya panjang.
Percuma memikirkan masa lalu, batinnya setengah memelas.
"Nona, tidak apa-apa?
Runa berjalan mendekat, cemas dan gelisah.
Anne yang melihat perhatian ini menjadi terenyuh.
"Ya. Aku hanya sedikit kesal pada beberapa hal."
"Seperti?"
"Hmm... seperti tertahan di dalam mansion ini!" kedua bahunya surut, kening bertaut lemah.
"Apa nona lupa? 3 hari lagi acara pesta rakyat akan digelar. Nona bisa keluar mansion dan menikmati suasana ibukota."
Sebelah kening Anne terangkat.
"Apa aku boleh begitu? Bagaimana dengan izinnya?!"
Belum sempat Runa menjawab, dari seberang danau ibu Anne, Calista, melambaikan tangan dengan anggun dan penuh semangat. Wajahnya cerah dan berseri-seri. Ia memakai gaun yang sangat glamor berwarna kuning cerah dan sebuah payung putih kecil berenda walau pun telah memakai topi bunga-bungan yang menarik sebagai pelengkap penampilannya.
Di belakangnya, kepala pelayan, kepala pengurus mansion, dan beberapa pelayan wanita muda, mengikutinya dengan patuh.
Anne memaksakan diri tersenyum bahagia, membalas lambaian tangan itu.
Sapaan itu diikuti Runa yang cepat-cepat meletakkan toplesnya di tanah dan membungkukkan badan, kedua tangannya di balik punggung sibuk ditepuk-tepukkan membuang remah-remah biskuit.
"Runa, ibuku sedang apa, sih, akhir-akhir ini? Kenapa dia sering bepergian dengan kepala pelayan dan kepala pengurus mansion?" tanya Anne tanpa menatap Runa, tangan masih melambai pelan ke seberang sana.
Runa menegakkan badan, berbisik dengan wajah tersenyum seperti sedang sakit gigi ke arah danau, menunggu hingga sang majikan besar berlalu dan membalas pertanyaan itu. "Saya kurang tahu, nona. Mungkin ini berkaitan dengan acara pesta rakyat itu. Selama sebulan ini persiapannya sudah dikerjakan sungguh-sungguh. Mungkin karena ini adalah pesta rakyat terbesar, makanya begitu membuat nyonya bersemangat."
"Apa tidak apa-apa menghabiskan anggaran sebanyak itu hanya untuk syukuran?"
"Tidak, nona. Kerajaan kita, kan, sangat kaya dan besar. Lagi pula, yang saya dengar, rakya negeri ini juga ikut antusias menanti pesta rakyat itu. Mereka bahkan menghias jalanan layaknya akan mengadakan festival tahunan."
"Apa mereka tahu alasannya?"
Wajah Runa tiba-tiba memucat, suaranya terdengar gagap dan tercekat untuk mengatakan sesuatu. Runa ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tak bisa memuntahkan hal yang diketahuinya selama ini begitu saja, terlalu berisiko. Makanya ia hanya bisa diam dan mengelak sebisa mungkin.
"Kau kenapa?"
Gadis pelayan itu menggeleng cepat, dan berkata dengan nada mengendur, "sepertinya ada sisa biskuit tersangkut ditenggorokan saya, nona! Hahaha!"
"Bawa air minum, dong! Jangan makan terus!" mata Anne menyipit.
"Baik, nona!"
"Lalu, kau belum menjawab pertanyaan sebelumnya. Apa yang mereka ketahui tentang pesta rakyat itu?"
Mereka berdua melanjutkan sesi jalan-jalan itu setelah Calista benar-benar lenyap dari pandangan.
Dengan wajah gembira, sang pelayan kembali meraih toples dan kembali menguyah.
"Eh... yang kudengar dari pasar, mereka mengira itu karena sebentar lagi pangeran kekaisaran kita akan segera bertunangan."
"Oh! Pangeran kita masih single?" Anne hampir terbahak mengatakannya.
"Ahhh~ Ya.... tapi sebentar lagi akan bertunangan, kok."
"Semoga pasangan sang pangeran adalah perempuan yang cocok, ya?"
Anne tersenyum sembari mendudukkan dirinya di sebuah kursi batu dekat danau.
Runa yang mendengar ini hanya bisa menelan ludah gugup mengamati majikannya dari belakang. Ekspresi berubah prihatin.
"Kenapa berdiri saja di situ, ayo ke sini!" ia berbalik memanggil sang pelayan dengan tangan melambai.
Runa berjalan sekaku robot.
"Kau tidak enak badan? Apa kebanyakan makan biskuit?"
"Ahahaha! Nona bisa saja!"
Runa pun duduk di sebelah Anne dengan perasaan canggung, biskuit lezat yang tengah dilahapnya tiba-tiba terasa hambar di lidahnya.
"Sebulan ini aku terlalu sibuk menghibur diri. Apa yang harus aku ketahui mengenai kekaisaran? Apa aku dulu sering menghadiri acara-acara sosialita bangsawan?"
"Apa yang nona ingin ketahui mengenai kekaisaran kita? Oh! Nona sering, kok, menghadiri acara-acara semacam itu. Tapi, saya tak tahu siapa saja kenalan nona di sana."
"Sepertinya aku harus mulai mempersiapkan segala sesuatu agar bisa kembali terjun ke dunia merepotkan itu," gumamnya pada diri sendiri.
Selama beberapa menit, ia sibuk memikirkan bagaimana ia yang dulu menghadapi sebuah masalah pelik sebagai seorang psikolog kriminal. Otaknya benar-benar buntu akhir-akhir ini akibat menjalani kehidupan seorang putri bangsawan yang dilimpahi kasih sayang dan cinta.