Semenjak acara minum teh dengan Perdana Menteri beberapa hari lalu, Anne terus mendapati kedua orang tuanya berbicara secara rahasia di ruang kerja sang ayah. Kata kekaisaran dan namanya sering terlontar dari pembicaraan misterius itu. Jelas Anne tak suka dengan fakta itu.
Setiap kali Anne menghampiri dan berusaha mencari tahu, mereka berdua tiba-tiba berhenti berbicara. Entah diam dengan sikap canggung yang aneh atau pun mengalihkan pembicaraan menanyakan keadaannya yang sudah jelas-jelas membaik, selain ingatan Anne yang asli jelas tak akan pernah kembali selama ia menempati raga perempuan itu.
"Nona! Tidak baik berteriak begitu! Sangat tidak sopan!" Runa melekatkan telunjuknya pada bibir bawahnya, terlihat serius.
"Entah kenapa, akhir-akhir ini aku tidak suka mendengar kata kekaisaran," Anne tertawa kikuk.
"Ah... wajar saja demikian. Alam bawah sadar nona sepertinya masih ingat..." bisik Runa pada dirinya sendiri, telapak tangan kanannya menopang sebelah pipinya, air mukanya sedikit memucat.
"Hah? Kamu bilang apa tadi? Aku kurang jelas mendengarnya."
"Lupakan saja, nona!" Runa berkacak pinggang, mulutnya dimanyunkan dengan ekspresi gemas, "saya harus menceritakan kehidupan anda yang dulu agar nona tidak mendapat pelajaran tata krama kembali!"
"Eh? Memang apa salahnya mendapat pelajaran ulang?" Anne bertanya dengan hati penuh tanda tanya. Jika ia mendapat pelajaran tata krama bangsawan, bukankah itu akan baik untuknya yang buta dunia baru ini?
"Aduh! Nona tidak tahu apa yang nona katakan! Benar-benar seperti bayi!" kali ini, Runa melipat tangan di d**a, matanya menyipit tak suka.
"Ah... maaf sudah menjadi bayi besar," Anne tertawa aneh dengan wajah lemah.
"Tidak! Tidak! tidak!" ujar Runa dengan ritme cepat, kepala digelengkan seirama, "berapa kali nona harus minta maaf terus? Ini bukan salah nona! Ini semua gara-gara tuan besar sedari awal!"
"Gara-gara ayah?" Ada apa memangnya? Apa aku diracun oleh ayahku sendiri—?" Anne tiba-tiba tercekat di ujung kalimat.
"BUKAN SEPERTI ITU, NONA!" pekik Runa buru-buru, wajahnya memutih panik.
"RUNAAA!!! BERSIKAP SOPANLAH PADA NONA ANNE!"
Sebuah suara berat pria terdengar dari sebelah pagar tanaman tinggi. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan membuat hatinya bergetar oleh perasaan was-was.
Anne menduga pemilik suara itu adalah pekerja kebun yang suka dilihatnya mondar-mandir membawa pot besar di pagi hari. Pekerja kebun itu selalu memakai pakaian rakyat pada umumnya, berkumis tebal, berotot, dan bertubuh tinggi besar.
"BAIK, PAK FRANCESCO!!!" balas Runa dengan mata menutup erat, kepala didongakkan dengan kedua kepalan tangan setinggi d**a.
"Duduklah dulu, Runa. Ini adalah perintah. Jadi kurasa tak mengapa. Dan tolong jelaskan apa
maksud perkataanmu sebelumnya? Siapa yang meracuniku?"
Runa merasa kepalanya dijatuhi batu besar, tangan kanannya memukul-mukul mulutnya dengan gerakan cepat seraya menggerundel, "mulut bodoh! mulut bodoh!"
"Runa!" suara Anne merendah menjadi bisikan tipis, "ini adalah perintah! Duduk dan ceritakan padaku apa yang terjadi! Tolong jangan sembunyikan apa pun padaku seperti terakhir kali! Bukankah kita adalah saudari?"
Sang pelayan membatu di tempatnya dengan roh seolah melayang keluar, mulutnya menganga hebat.
"Sa-saya...."
Anne tak memberikan kesempatan padanya untuk menolak kali ini. Status saudari yang ada di antara mereka akhirnya berguna di saat-saat seperti ini, meski, yah, agak licik juga sebenarnya.
"Jika kau terus bersikap bermain rahasia padaku, itu artinya kamu sendiri yang memutuskan ikatan saudari kita ini. Bukan aku yang lupa ingatan. Aku tak mau punya saudari yang bersikap memusuhiku!" Anne berpura-pura terlihat ngambek, ia bersiap untuk meninggalkan tempat itu dengan raut wajah kecewa.
Tekanan batin yang menimpa pelayan itu membuatnya seperti tali yang menipis di ujung jurang, suaranya tergagap. Dengan kedua tangan gemetar ia mencegat Anne dari kursinya.
"Du-duduklah, nona! Akan saya ceritakan apa yang saya tahu! Tapi, saya mohon, pertama-tama nona jangan bersikap begini pada saya. Nona yang saya kenal selama ini selalu bersikap ramah, hangat, dan penyayang!" bisiknya tertahan.
Anne tersenyum lebar dengan hasil sandiwaranya.
"Baiklah. Ceritakan semua yang kamu tahu!"
***
Di istana kekaisaran di saat yang sama pada salah satu ruangan paling sibuk.
"Apa kau sudah mengurus pakaian untuk pesta dansa putra mahkota?" t.anya sang perdana menteri pada salah seorang pria berseragam hijau.
"Oh! Tentu! Tentu! Saya hanya perlu mendengar persetujuan dari Beliau agar mencoba pakaiannya
sebelum hari H."
"Sepertinya itu agak sedikit sulit. Pangeran Arden masih melakukan perburuan para pemberontak di wilayah perbatasan bagian barat."
Wajah pria berseragam hijau itu tiba-tiba memutih mendengar hal itu.
"Ah... begitu rupanya! Tidak apa-apa! Saya bisa menunggu kepulangan Beliau. Begadang beberapa
hari sebelum pesta berlangsung bukanlah masalah besar bagi saya!" suaranya terdengar bergetar,
ada nada ketakutan di dalamnya.
"Hmmm... baguslah kalau begitu. Butuh seminggu untuk kembali kemari, pastinya pangeran akan jengkel jika dipanggil hanya untuk mengepas pakaiannya semata," perdana menteri muda itu duduk di kursinya dengan perasaan gamang, " bisa-bisanya pangeran memimpin perburuan di saat hari pesta dansa pengumuman pertunangannya akan dilaksanakan dua bulan lagi?! Dua bulan lagi!
Astaga! Waktunya semakin dekat! Apa yang dipikirkannya dengan melakukan perburuan tanpa batas waktu itu?"
Perdana menteri tiba-tiba terserang sakit kepala instan.
"Apa pangeran berdarah dingin kita kembali mengayunkan pedang berdarahnya?"
Sebuah suara tipis dari seorang pria terdengar dari luar.
"Oh! Kamu rupanya! Aku pikir siapa!"
"Hamba Myron Alistair, memberi hormat pada Yang Mulia!"
Seorang pria muda berambut pendek cokelat dengan pakaian level bangsawan memasuki ruangan, dia membungkuk memberi hormat lalu berjalan santai ke arah meja sang perdana menteri.
"Apa kamu tidak bisa menasihati pangeran sebagai seorang teman? Dia terlalu mengerikan sebagai penerus kekaisaran yang penuh kehangatan ini."
Myron tersenyum kecil.
"Anda tahu jika Pangeran Arden adalah pria yang haus darah meski penampilannya tampan, kalem, dan mempesona, bukan? Saya rasa nasihat saya hanya akan berakhir sia-sia. Lagi pula, saya tak mau mempertaruhkan leher saya memberikan ceramah hidup padanya. Saya tidak sebodoh itu, Yang Mulia. Teman tetaplah teman, tapi jika pedang sudah berbicara, saya bisa berharap apa?"
"Ah... kau benar juga. Seperti yang diharapkan dari keluarga Viscount Alistair. Sekumpulan pria cerdas!" sang perdana menteri mengerah seraya memutar bola mata.
"Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia!" Myron, lelaki muda dengan wajah ceria itu tersenyum penuh rendah diri.
"Aku hanya cemas. Bagaimana kelangsungan kekaisaran ini jika diserahkan pada Pangeran Arden. Dia sangat bertolak belakang dengan ayahnya yang lembut. Apakah kerajaan tetangga akan segan, atau malah ingin menjatuhkannya?"
"Hamba rasa, anda terlalu berpikir berlebihan. Bagaimana pun juga Pangeran Arden memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Sejauh ini, tak ada bawahannya yang mengeluh atau pun membencinya. Mereka semua patuh dan bangga berada dalam satu tim dengan beliau. Dia pasti akan menjadi kaisar yang paling ditakuti."
Sang perdana menteri mengeryitkan kening tak senang.
"Paling ditakuti bukanlah hal yang bagus untuk seorang pemimpin, Myron. Itu bisa menimbulkan banyak masalah dan musuh dalam selimut," perdana menteri menghela napas sejenak, dan melanjutkan dengan nada prihatin, "terlalu berwibawa dan bijak pun bukan hal yang baik. Itu terbukti dari masa pemerintahan kaisar saat ini yang terlalu mendapat beban hingga jatuh sakit."
Perdana menteri menggeleng tak percaya, ia mengamati beberapa pekerja kebun istana melalui kaca jendela. Mereka sibuk mengatur taman istana secantik mungkin sebelum hari pengumuman pertunangan diadakan.
Bunga-bunga dirapikan dan pohon-pohon besar tak layak pun diremajakan. Sebuah acara yang benar-benar dinantikan oleh seluruh kekaisaran. Bahkan perdana menteri yang selalu bersikap tenang pun menjadi sedikit gugup dibuatnya.
Pertunangan anak satu-satunya dari Kekaisaran Leclair yang termasyhur!