“Eh cupu! Lo tadi diantar bokap lo lagi?” tanya Diva melempar penghapus cuil ke meja Azkia.
“Nenek lampir gak usah lo tanggepin!” ucap Dave teman sebangku Azkia. Hanya Dave si ketua kelas yang mau berteman dengan Azkia.
“Heh Azkia, lo napa sih jadi orang gak ada ceria-cerianya? Katanya anak orkay, kok manyun terus? Orkay boongan ya?” tanya Diva lagi. Azkia merasa kalau Diva ini si ratu julid. Ada aja perbuatannya yang salah di matanya.
“Diva, walau aku anak orang kaya, aku gak akan katrok kayak kamu! Kamu lihat sendiri kan kalau aku tiap hari diantar jemput pakai mobil, emang kamu yang tiap hari nebeng temen.” jawab Azkia tanpa menatap Diva. Kini gilaran satu kelas yang menyoraki Diva.
Tentu saja ulah Azkia membuat Diva panas dingin. Dia tidak suka dilawan, dan dia tidak suka dikalahkan. “Percuma kalau anak orang kaya, tapi bodoh!” maki Diva.
Azkia diam. Ia tau kalau Diva sedang mengejek nilai desainnya yang selalu jeblok. Dave yang melihat ketegangan antara dua cewek, lantas menengahi. Sebagai ketua kelas yang baik, dia sebisa mungkin menghalau pertengkaran yang berujung pada pembullyan.
Azkia menengadahkan kepalanya. Matanya memanas, sepertinya air mata mulai diproduksi lagi. “Apa aku memang bodoh, Dave?” tanya Azkia.
“Siapa bilang? Bukankah kamu sering menjuarai olimpiade? Kamu pinter, dari kelas satu juara terus.” jawab Dave tersenyum.
“Tapi aku bodoh dalam menggambar. Padahal ini jurusan gambar yang harusnya diperuntukkan anak-anak jago gambar.”
“Kalau udah jago, kenapa harus sekolah? Sekolah itu tempatnya belajar.”
“Pinter banget kalau soal menghibur.” ucap Azkia terkekeh. Dave ikut terkekeh pelan.
Sedangkan Nathan duduk di depan kelasnya dengan merenung. Tadi, dia sempat melihat air mata Azkia saat ia menegur gadis itu. Sebenarnya bukan sekali dua kali dia melihat air mata Azkia jatuh, tapi sudah sering. Nathan tak berani bertanya lebih, walau di benaknya banyak pertanyaan yang bersileweran.
Padahal, Azkia terkenal sebagai anak orang kaya yang menjadi donator terbesar di sekolah. Lalu, apa gerangan yang membuat anak itu menangis terus?.
“Heh Nathan! Sampai kapan lo mau di situ? Bentar lagi bel bunyi nih!” teriak Tio menyembulkan kepalanya di jendela.
Nathan buru-buru memasuki kelasnya. Saat masuk kelas, sudah pasti dia akan disambut sorakan dari teman-temannya terlebih dari anggota gengnya.
"Waah ketua geng kita sudah datang!" seru Tio bersiul-siul, teman-temannya ikut bersiul dengan semangat.
"Siapa kita?" teriak Nathan menggebrak meja.
"Beha Kawat!" jawab mereka kompak.
"Siapa kita?"
"Si Beha kawat!"
"Siapa kita?"
"Si Beha Kawat!"
"Apa motto hidup kita?"
"Menjerat mama muda satu kedipan mata!"
Nathan Cs tertawa ngakak karena ucapan mereka sendiri. Motto hidup mereka terinspirasi karena melihat mama muda yang makin hari lebih mempesona daripada gadis-gadis.
“Heh Nathan! Jangan buat ulah! Gue catet nama lo gue serahin ke bu guru.” Ancam Dave dengan garang. Dave antisipasi saja kalau Nathan akan buat ulah, karena memang kerjaan Nathan tiap hari ya buat ulah.
“Jangan jadi kang ngadu napa, Dave,” sinis Nathan. Mata Nathan melirik bangku samping Dave, gadis yang tadi menangis kini sibuk dengan hp nya. Jiwa usil Nathan meronta, dia yang sangat anti mendekati perempuan, kini perlahan mendekati Azkia.
“Napa lo ke sini?” tanya Dave mendelik.
“Syuut!” tekan Nathan menyabetkan dasinya ke bahu Dave.
Nathan melirik hp Azkia, melihat apa yang ditonton gadis itu. Tangan Nathan dengan usil merebut paksa hp Azkia. Azkia terkesiap, dengan cepat dia menghampiri Nathan, ingin merebut kembali hp nya.
“Balikin!” pinta Azkia. Pasalnya, Azkia sedang membalas pesan papanya. Kalau dia slow respon sudah pasti papanya akan marah dikira dia mengabaikan pesan.
“Gak bisa. Lo nonton bokep, ya sampai ngowoh kayak tadi?” selidik Nathan menyembunyikan hp Azkia di belakang tubuhnya.
“Bukan urusan kamu. Sekarang balikin!”
“Gak sebelum gue lihat.”
“Kamu kenapa jadi kepo sama urusanku, hah? Ingat, Nathan! Kita gak pernah deket sebelumnya, dan kamu gak berhak tau apa yang aku lakukan!” ucap Azkia dengan tajam.
“Lo ngarep dekat sama gue? Jangan mimpi lah pagi-pagi.” jawab Nathan mengejek.
“Nathan, balikin!”
“Ambil aja kalau bisa!” ledek Nathan. Azkia menarik tangan Nathan, ingin merebut hp nya, tapi kalah cepat dengan Nathan yang menaikkan tangannya agar Azkia tidak bisa menjangkau.
Karena kesal, Azkia menendang kaki Nathan dengan kencang. Bukannya kesakitan, remaja itu malah berlari menjauh. Azkia yang tidak terima, langsung berlari mengejar Nathan.
“Nathan balikin!” teriak Azkia.
“Azkia, jangan bodoh jadi orang. Percuma papa biayain kamu sekolah kalau kamu tetap bodoh!” teriak Nathan membaca isi pesan di hp Azkia.
Hening
Satu kelas langsung diam saat mendengar ucapan Nathan yang membaca pesan di hp Azkia. Azkia meremang, rasa malu langsung menggerogoti dirinya. Dengan terburu-buru, Azkia berjalan kembali menghampiri Nathan, tapi naas, kaki Diva yang sengaja di rentangkan membuat Azkia yang ta siap, lantas tersandung dan jatuh tersungkur,
Bruukkk
“Azkia!” panggil Dave membantu Azkia berdiri.
“Udah puas kamu ngerjain aku, Nathan? Kamu punya masalah hidup apa sama aku? Aku gak pernah usik kamu, aku pun gak pernah dekatin kamu, tapi kenapa kamu tiba-tiba kepo dengan urusanku? Kamu membaca pesan dari papaku yang mana itu adalah privasi. Kamu sengaja mau bully aku kayak teman-temanmu?” tanya Azkia dengan datar. Azkia mengusap lututnya yang lecet.
“Pantesan murung, sama papa sendiri aja digoblok-goblokin!” cibir Diva.
Brakkkk!
Azkia menggebrak meja dengan kencang. Aura kemarahan tampak terpancar di wajah gadis itu. Sudah cukup sabar yang dia gaungkan, ada kalanya dia Lelah menjadi orang sabar yang terus ditindas.
“Kamu juga punya masalah hidup apa sama aku? Kamu gak tau kehidupan pribadiku, tapi kamu seolah tau segalanya tentang aku. Kamu iri sama aku sampai kamu suka cari gara-gara sama aku?” tanya Azkia dengan marah.
“Azkia nih hp lo. Udah jangan ribut malu-maluin!” ucap Nathan memberikan hp pada Azkia.
“Kamu yang udah permaluin aku, harusnya kamu yang malu!” sinis Azkia merebut hp nya dengan kasar.
Mata Azkia membulat sempurna saat Nathan membalas pesan papanya. Nathan mengatakan kalau gakpapa bodoh yang penting hidup. Azkia menatap garang ke arah Nathan, tangannya bergerak mencekik leher Nathan dengan erat.
“Eh eh apa yang lo lakuin?” teriak Nathan mencoba melepas tangan Azkia. Azkia tidak peduli, dia makin menekan leher Nathan dengan kenceng.
“Kamu udah main-main sama aku, Nathan! Jangan harap aku akan diam saja. Karena nyawaku yang menjadi taruhannya saat kamu lancang membalas pesan papaku.” tandas Azkia dengan tajam. Nathan ngeri melihat tatapan Azkia dan lehernya yang makin lama makin sakit. Nathan melihat pribadi Azkia yang baru, yaitu Azkia yang pemberani.
“Nathan, Azkia!” teriak pak Tarno di depan pintu membuat anak-anak yang mulanya menatap Azkia dan Nathan, langsung menghadap ke depan. Azkia buru-buru melepas cekikannyal.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya pak Tarno mendekati Nathan dan Azkia.
“Mana dasi kamu?” tanya pak tarno saat melihat penampilan Nathan.
“Ini, pak,” jawab Nathan menunjukkan dasi di tangannya.
“Kenapa gak dipakai?”
“Ini otw dipakai, pak.”
“Kenapa kalian bertengkar?
Nathan menyikut lengan Azkia, menyuruh Azkia untuk menjawab pertanyaan guru seni budaya itu. Namun, Azkia hanya diam, enggan menjawab maupun menanggapi ucapan Nathan.
“Kenapa kalian bertengkar?” bentak pak Tarno yang membuat seisi kelas tersentak.
“Maaf menyela, pak. Tadi, Nathan membully Azkia, Azkia marah dan balik membalas Nathan.” jelas Dave. Pak Tarno manggut-manggut. Pak Guru yang dikenal tegas itu memukul kaki Nathan dengan penggaris panjang yang dia bawa.
“Kamu cupu banget jadi cowok. Sukanya membully cewek, gak malu sama kelamin?” bentak pak Tarno.
“Huuuu Nathan cupu!” sorak teman-teman Nathan tergelak. Nathan mengacungkan jari tengahnya ke arah teman-temannya.
“Diam!” bentak pak Tarno membuat mereka diam lagi.
“Cepat Nathan minta maaf sama Azkia!”
“Dia yang salah kenapa saya yang minta maaf, pak?” seru Nathan tidak terima.
“Aku salah apa sama kamu?” tanya Azkia dengan garang.
“Lo kenapa terlalu fokus sama hp, membuat gue kepo dan berakhir merebut hp lo.”
“Itu bukan salah aku, tapi salah kamu yang terlalu kepo dengan urusan orang lain!”
“Diaaaam!”
Nathan dan Azkia tersentak diam. Mereka jadi senggol-senggolan untuk mencari cara agar pak Tarno menyudahi sidangnya.
“Jadi, minta maaf sekarang apa saya bawa kalian ke ruang BK?” tanya pak Tarno mendelik.
“Minta maaf sekarang.” jawab Azkia cepat. Azkia menyalami tangan Nathan dengan paksa.
“Aku minta maaf!” ucap Azkia dengan tajam. Perempuan itu langsung meninggalkan Nathan dan Pak Tarno untuk duduk di bangkunya. Nathan mengerutkan alisnya bingung melihat Azkia yang malah minta maaf duluan. Azkia tidak peduli ditatap aneh oleh Nathan, orang yang dia sukai. Daripada harus ke ruang BK dan menambah kemurkaan papanya, lebih baik kalau dia mengalah.
Sepanjang pelajaran, Azkia tidak fokus mendengar penjelasan guru. Azkia terus menggigit bibirnya gelisah, memikirkan alasan yang tepat untuk dia berikan pada papanya soal balasan pesan tadi. Papanya bukan orang sembarangan yang bisa dia bohongi dengan mudah. Pasti papanya akan bertanya dari ujung bawah sampai ujung atas. Tak beda jauh dengan Azkia, Nathan juga tak fokus. Remaja itu melirik-lirik ke arah Azkia yang kelihatan sekali sedang gelisah. Dalam hati, Nathan bertanya-tanya soal pesan papa Azkia yang berisi banyak makian dan u*****n. Apa benar kalau Azkia diperlakukan tidak baik oleh papanya?. Pertanyaan itu berseliweran di kepala Azkia.
*****
Bel pulang sekolah menjadi momok yang menakutkan untuk Azkia. Azkia tidak siap bila harus pulang ke rumah. Takut menghadapi kemurkaan papanya. Azkia menggigit kuku jarinya dengan gelisah. Keringat dingin bercucuran di keningnya seiring langkahnya di koridor sekolah.
Saat sampai ke gerbang, Azkia menangis melihat mobil papannya sudah menunggu. Buru-buru Azkia melipir, bersembunyi di balik tembok. Tampak gadis itu menghembuskan napas berulang kali sembari menghapus air matanya. Nathan yang sejak tadi membuntuti Azkia, hanya diam mengamati.
“Tuhan, bantu aku!” jerit Bathin Azkia menatap telapak tangannya yang masih ada bekas lebam, bekas pukulan papanya semalam. Papanya selalu memukulnya dengan besi.
Dering hp Azkia membuat gadis itu terkesiap, panggilan dari papanya. Tanpa mengangkat telefon, Azkia berlari menuju papanya. Bram menarik tangan Azkia. Menyeretnya kasar sampai ke belakang sekolah. Tampak sekali wajah Bram memerah tanda pria itu sangat emosi. Sampai di belakang sekolah, Bram menghempaskan tangan Azkia dengan kasar.
Plak!
Azkia memegang pipinya yang sangat panas saat mendapat tamparan mentah dari papanya. Sebenarnya dia sudah kebal dengan kekerasan, tapi kali ini rasanya dia sangat Lelah, ingin rasanya dia kabur dari papanya.
“Kamu anggap papa ini apa, hah? Kamu mau main-main sama papa? Etika kamu di mana? Kamu balas pesan papa gak ada sopan santunnya. Kamu bilang kamu bodoh gak papa asal hidup? Kalau prinsip hidup kamu kayak gitu, mending sekalian kamu gak usah hidup!” teriak Bram menampar sekali lagi pipi Azkia.
Nathan dan Tio terkesiap melihat perlakuan papa Azkia pada anaknya. Ya, mereka berdua memang membuntuti Azkia sampai ke sini.
“Dan kamu mau kabur-kaburan dari papa? Udah gak butuh sama uang papa?” tanya Bram dengan sinis.
“Maaf, pa. Tadi bukan Azkia yang balas.” jawab Azkia menunduk.
“Siapa yang balas? Teman kamu? Bukannya papa sudah bilang, jangan berteman dengan teman-teman yang berpengaruh buruk buat kamu!” bentak Bram membuat nyali Azkia makin menciut.
“Kasihan,” bisik Nathan.
“Lo sih pakai acara usil sama Azkia. Kena imbasnya kan tuh anak.” ujar Tio menyalahkan.
“Lagian lo kan gak pernah dekat sama Azkia, terus kenapa tiba-tiiba lo kepo?”
Nathan hanya diam, dia juga bingung kenapa tiba-tiba kepo dengan Azkia. Mungkin juga karena tadi pagi dia melihat air mata Azkia.
“Sebagai hukumannya, hari ini kamu gak boleh pulang! Mau ke mana aja terserah asal jangan ke rumah!” tandas Bram berlalu pergi. Saat melihat Nathan dan Tio, Bram hanya melengos.
Azkia meremas rok yang dia pakai. Ke mana dia akan pulang selain ke rumahnya? Azkia merogoh sakunya, hanya uang sepuluh ribu yang ada di sana. Dompet yang berisi kartu ATM tidak dia bawa.
“Azkia.” Panggil Tio membuat Azkia buru-buru menghapus air matanya.
“Azkia, maafin gue. Gue gak bermaksud buat kamu dimarahin papamu.” ucap Nathan yang ikut mendekati Azkia.
“Aku gak tau maksud kamu apa, yang pasti kamu udah membuat aku makin menderita.” jawab Azkia.