Two

1767 Words
“Aduh, ribet banget sih kayak hidup gue!” Seorang gadis dengan dress pendek bewarna merah nampak kesusahan untuk turun dari motornya. Ia menghela nafas lega ketika berhasil turun dari motornya tanpa melukai kaki jenjangnya. Gadis itu berdeham beberapa kali ketika melihat ternyata banyak yang melihatnya. Prily Seana buru-buru mengambil almamater Universitasnya dan membawanya kabur. Namun, dering ponselnya membuat gadis itu menghela nafasnya kasar. “Halo?!” sapa gadis itu terdengar kesal. “Lo udah ngendors sepatu itu belum?” “Sepatu yang mana? Belum ada yang sampe.” “Iya, bentar lagi paketnya sampe sama lo.” “Okeyy.” “Gini amat jadi influencer dua ratus ribu followers,” gumam Prily sambil menutup ponselnya. Prily yang masih menenteng alamamaternya terkejut, gadis itu membulatkan matanya saat melihat pagar sebuah sekolah menengah atas itu tertutup. Astaga, apa ia terlambat?! “Pak, tolong buka gerbangnya dong!” rayu Prily sambil memegang pagar yang sudah digembok itu. “Lho? Orang tua siswa ya, Bu?” Prily semakin membulatkan matanya, lebih ke melotot sebenarnya. What! Ia disangka orang tua siswa? Dipanggil Ibu?  “Saya Mahasiwa PPL disini, Pak,” kata Prily sambil memasang almamaternya sedikit ribut agar Pak Satpam itu melihatnya. “Ohh, kenapa telat?” tanya Satpam bernama Sutrisno itu. “Saya enggak telat kok, Pak. Teman-teman saya aja yang kecepatan,” alibinya. Padahal malam tadi Dian sudah memintanya untuk datang lebih pagi sebab mereka akan ikut upacara yang biasanya diadakan hari senin. “Silahkan masuk, dek.” Prily tersenyum lebar, gadis yang dengan rambut curly sebahu itu berjalan menghentakan heels yang ia pakai dengan bangga.  “Mbak, Mbak!” “Kalo mau foto nanti aja, Pak,” katanya sombong. “Mbak—-“ “Apa, sih? Gue bukan kakak perempuan lo!” Prily menepis tangan yang memegang bahunya, lalu membalikan tubuhnya dengan kasar. Mata gadis itu membulat ketika melihat sesosok didepannya. “Oh my god! Dipanggil sayang gue juga mau!” kata gadis itu pelan sambil terus menatap pria  yang berada didepannya. Oke, kalian harus melihat pria itu. Tingginya kira-kira 175 cm dengan tubuh kekar yang tidak mengerikan. Sangat pas! Dan tentunya akan sangat enak menggendong tubuh langsing Prily. Wajahnya nampak teduh tapi sekaligus nampak serius saat sepasang mata coklat pucat itu menatapnya dalam. Damn! Prily seperti ingin terbakar. Pria itu menumbuhkan sedikit rambut-rambut kecil disekitaran rahangnya yang tegas. Seperti mengatakan bahwa pria itu sudah matang juga berumur. Namun, hal itu semakin membuat Prily ingin mengelusi rambut itu didalam pelukannya. “Bisa?” tanya pria itu yang kali ini masuk ke telinga wanita didepannya, selebihnya terbawa oleh angin. Prily mengerutkan dahinya. Bisa? Bisa apa? Bisa menjadi isterinya? Yah, mau sekali! Gadis itu menatap ke arah paperbag yang diarahkan pria itu kepadanya. Sebuah sepatu. Oh, tunggu kenapa mereknya sama dengan yang disebutkan Biya? Asisten sekaligus manajer kurang ajarnya yang tadi menelpon. “Saya buru-buru, terima kasih!” Pria itu memberikan pada tangan Prily. Dan, detik itu juga gadis itu menyadari. “Kurir jaman sekarang yahud bener, deh.”  “Bikin gue pengen jadi paketnya,” desah gadis itu. Ia kemudian membuka isi paperbag itu, mencari kertas kecil yang biasa Biya berikan untuk ia ucapkan saat merecord videonya. “Lho, ini si Biya lupa kali. Gue harus ngomong apa nanti?” Prily menjadi kebingungan sendiri. Selama ini selalu ada contekan kecil ketika ia meriview salah satu produk yang ia terima. “Ah, nanti ajalah!” Gadis itu tak ingin ambil pusing, ia kemudan berjalan agak cepat menuju teman-temannya yang katanya sekarang berada di ruang Guru. Prily tersenyum kecil ketika mendengar sorakan-sorakan yang menemani langkahnya. Anak-anak SMA disini ternyata tidak buta terhadap gadis cantik. Atau jangan-jangan mereka sudah mengetahui bahwa mereka akan diajar oleh seorang selebgram. Ia jadi tak sabar untuk mengajar disini. “Pri, lo mau kemanaaa!?” tanya Dian histeri melihat penampilan sahabatnya. “Ya, praktek lah Miss Dian.” “Pakaian lo enggak kayak mau ngajar Miss Pri.” Dian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus berdecak. “Lo kayak sosialiatawati mau arisan get apartemen satu bulan!” “Enggak bagus banget nama gue dipanggil gitu!” sewot Prily tak terima dengan namanya. “Yang penting jangan dipanggil Bu Pri, deh. Kayak isterinya Pak Supri aja gue.” “Pri, lo enggak lihat tatapan guru-guru itu?” tanya Dian berbisik sekarang. “Mana sih?!” Prily membalikan tubuhnya, ia kemudian menyesal, meneguk ludahnya kasar ketika melihat guru-guru yang nampaknya hendak masuk untuk mengajar kelasnya menatapnya seperti orang yang baru saja kumpul kebo. Padahal ia hanya mengenakan dress merah dibawah diatas lutut yang mencetak tubuh langsingnya. Tidak salahkan? Dian kemudian menarik tangan Prily menjauh dari sana, gadis itu membawa sahabatnya menuju kantin. “Lo jangan aneh-aneh deh, Pri. Kita itu udah telat lho..” Dian dan Prily sama-sama pernah cuti kuliah selama satu semester dengan alasan yang berbeda. “Santai aja, deh. Santai,” ujar gadis itu sambil tersenyum. Dian menghela nafasnya panjang, ia lupa didalam kamus gadis itu tidak ada kata serius. Semua hal akan dijadikannya candaan.  Karena dunia lebih bercanda dari itu. Orang yang benar-benar berjuang kadang malan tak mendapatkan. Sedangkan yang tak terlalu, kadang lebih beruntung! Prily itu memiliki motto hidup, jika tidak perli dipikirkan ya tidak usah, kalo bisa besok kenapa harus sekarang, kalo ada orang lain kenapa harus dirinya? “Gimana sama Yura kalo lo tinggal?” “Ada mertua gue yang jagain, tapi baru satu jam ninggalin dia gue rindu banget.” Dian sudah menikah dan memiliki seorang anak, wanita itu menikah ketika masih duduk di bangku kuliah. Klise. Dijodohkan. Jika menolak menikah, maka Dian tidak akan diizinkan kuliah. Wanita itu  mengambil cuti kuliah saat hendak melahirkan Yura, putrinya pertamanya. Untung saja suaminya adalah orang yang baik-baik saja, ia juga mulai mencintai suaminya. “Gue udah lama enggak mampir, nanti deh. Jadi orang terkenal sibuk banget,” kata Prily sambil terkekeh sedangkan ikut Dian tergelak. ——————- “Terima kasih, Pak Dipta. Saya benar-benar terbantu dengan kehadiran Bapak. Saya akhirnya bisa bercerai dengan isteri saya dan memenangkan hak asuh anak saya.” Pradipta menyambut uluran tangan pria paruh baya yang menjadi kliennya, ia hanya bisa tersenyum kecil membalasnya ketika pria itu tersenyum lebar. “Kalo begitu, saya pergi dulu, Pak.” Tatapan pria paruh baya itu tertuju pada seorang gadis muda nak seksi berada di dalam mobil pria itu. Dipta menggelengkan kepalanya, ia tahu sebenarnya pria paruh baya itu sengaja menceraikan isterinya yang sudah menemaninya dari susah hanya dengan alasan ketidakcocokan. Hah! Jika tidak cocok bagaimana pernikahan itu bisa bertahan selama ini? Namun, sebagai seorang Pengacara, Pradipta Nugraha hanya bertugas membantu permintan kliennya. Dan, ia sudah berjanji untuk tidak ikut campur pada kehidupan kliennya.  Sebenarnya yang sosok yang paling menderita dari sebuah perceraian bukanlah sang isteri atau suami, melainkan anak mereka. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu bisa sedikit bernafas lega, ia akhirnya bisa beristirahat selama seminggu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sebenarnya ia bebas untuk beristirahat kapan pun yang ia mau, namun banyak diluar sana yang membutuhkan bantuannya. Dipta melihat ke arah arlojinya yang menujukan pukul dua siang, sebentar lagi Pricilia akan pulang. Biasanya anak gadisnya itu akan pulang naik taksi online atau dijemput Omanya, karena tidak memiliki agenda akhirnya pria itu memutuskan untuk menjemput anaknya sekaligus mengajak untuk makan siang. Ah, apa sepatu yang ia titipkan pada wanita itu sudah sampai pada anaknya? Sebagai rasa penyelesaian dan permintaan maafnya, Dipta membelikan sepatu yang mirip dengan sepatu anaknya yang basah. Namun, karena tak melihat jadwal sidang dan saat tahu sidang akan segera dilaksanakan, Dipta yang niat ingin mengantarkan sepatu itu pada Pricilia secara langsung terpaksa harus menitipkan pada gadis yang nampaknya akan menjadi guru PPL disana. Sedikit ragu karena gadis itu nampak tak mendengarkan perkataannya. ————— Tetttttt! Tetttt! “Berisik banget, sih, bel pulang sekolahnya,” ujar Cia yang merasa kesal dengan bunyi bel sekolahnya. Gendis yang masih mencatat materi di Papan tulis tidak bisa menanggapinya, Guru yang memberi materi itu keluar lebih cepat karena ada yang harus dikerjakan dan berpesan jika bel sudah berbunyi semua siswa boleh pulang, asal sudah mencatat materi di Papan. Dan, Gendis harus cepat menyelesaikan karena tak mau ditinggal sendirian di kelas. “Yeah, selesai!” Gadis berkulit hitam manis itu menutup bukunya. “Ndis, kita ke Cafe yang lagi hits itu yuk?” Pricilia yang sudah selesai mencatat dari tadi menujukan ponselnya yang menampilkan cafe kekinian yang baru buka. “Kayaknya enggak bisa, deh. Ci,” tolak Gendis. “Kenapa?” tanya gadis itu menatap kesal ke arah Gendis. “Gue mau nemenin Ibu beli baju, mungkin lain kali.” “Ngapain, sih, Ibu lo pake ditemenin? Kan udah besar, pasti tahu lah jalannya. Ikut gue aja yuk? Pliss?” Cia memohon, hal ini seperti membuatnya tidak memiliki teman. “Gue mau balas budi, walau enggak akan pernah cukup, sih. Dulu waktu kecil gue selalu ditemani ibu gue, dibelanjain. Sekarang giliran gue nemenin Ibu gue, yah, walaupun nanti akhirnya gue yang dibeliin baju...” Gendis tertawa mengingat kelakuan Ibunya, tujuan awal membeli baju untuk Ibunya malah berakhir membelikannya. Pricilia yang mendengar tawa Gendis terdiam, ia tahu bahwa gadis yang menjadi teman sebangkunya ini sama sekali tak bermaksud pamer. Bahkan Pricilia yakin Gendis tak tahu bahwa ia sudah tidak memiliki Ibu. Namun, rasa iri menjalar di hatinya. Perasaan tak suka karena sampai kapan pun ia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan Gendis. “Minggir, Ndis. Badan lo nutupin jalan,” sahut Pricilia sambil memasang wajah datarnya. “Eh, tunggu, Ci. Barengan aja ke gerba—“ “Minggir!” sentak Pricilia sambil menatap tajam ke arah gadis yang menatapnya kini dengan bola mata membulat. Gendis buru-buru bangkit dari duduknya, membiarkan Pricilia keluar dari bangku dengan wajah datar. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada temannya itu, namun Gendis tahu bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Brakkk! “Awhhh! Bisa enggak jalan pake mata?!” Pricilia menatap tajam seorang wanita dihadapannya yang baru saja menabraknya ketika keluar dari kelas. “Dimana-mana jalan itu pake kaki, ngelihat pake mata. Gibah pake mulut, eh!” Prily segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya, memaerkan kuku jari-jarinya yang dihiasi. Pricilia semakin menatap tajam ke arah wanita itu. Persetan dengan usianya yang ia akui lebih tua darinya! Sudah salah tidak mau meminta maaf. “Anda jalan dengan bermain ponsel!” kata Pricilia. “Kalo kamu keluar kelas lihat ke kiri dan ke kanan, pasti lihat saya kok.” Gadis berusia enam belas tahun itu mendengus kuat-kuat, ia tidak akan sudi memiliki kerabat seperti orang ini. Perhatian Prily yang awalnya tertuju pada gadis didepannya berubah ketika melihat sosok yang membuat kepikiran selama satu hari ini. “Pricilia?” “Mas Kurir?” “Lho Papa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD