Awal pekan datang lagi, aktivitas dimulai lagi. Jeremia sudah berada di meja makan sejak beberapa menit yang lalu menyantap sarapannya. Dua potong sosis goreng, sebutir telur yang digoreng setengah matang dan dua potong bacoon cukup untuk mengisi perutnya pagi ini.
Jeremia tinggal sendiri di apartemen, dia tidak ingin ditemani, oleh seorang pelayan sekalipun. Dia bisa hidup sendiri. Bukannya tidak memerlukan orang lain, tapi kalau hanya untuk mengurus diri dan semua keperluannya dia masih bisa sendiri. Lagipula dia jarang berada di rumah kecuali malam hari, itu pun kalau tidak ada rapat atau keperluan lain yang mengharuskannya untuk berada di luar rumah.
Jeremia mengecek jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul setengah delapan, masih ada kira-kira setengah jam lagi kantornya dibuka. Jeremia berdiri, membawa piring yang telah kosong ke bak cuci piring dan mencucinya. Hanya satu set piring beserta gelas jus, sebilah garpu dan pisau. Sangat keterlaluan kalau dia memakai jasa seorang pelayan hanya untuk mencuci ini saja.
Selesai mencuci piring dan meletakkannya di rak, Jeremia langsung menyambar sling bag yang akan digunakan untuk melengkapi penampilannya hari ini. Sambil berjalan keluar, tangannya mengaduk isi tasnya mencari kunci kontak mobil yang tadi dimasukkannya ke dalam tas itu. Setelah menemukan barang yang dicarinya, Jeremia mempercepat langkah agar dia bisa mencapai basement lebih cepat. Dia hampir terlambat untuk ke kantor. Salahkan dirinya yang mencuci piring sambil melamun tadi sehingga menghabiskan waktu sepuluh menit baginya hanya untuk mencuci empat buah peralatan makan.
Jeremia menggeleng pelan. Dia beruntung karena apartemennya dilengkapi dengan sistem pengunci otomatis. Pintu apartemen akan terkunci dengan sendirinya setelah penghuni asli keluar. Jeremia selalu lupa mengunci pintu kalau keluar, dia selalu tergesa. Seperti hari ini. Setengah berlari jeremia menggapai pintu lift yang akan segera tertutup. Dia memerlukan lift itu untuk turun dari apartemennya yang berada di lantai lima.
Jeremia yakin dia akan terlambat masuk kantor lagi hari ini. Meskipun dia menjabat sebagai direktur utama di perusahaan tempatnya bekerja tetapi dia bukan pemilik perusahaan. CEO Collins Corps sewaktu-waktu bisa saja memecatnya kalau kinerjanya dalam memimpin salah satu anak perusahaan mereka menurun. Isabella Collins mungkin memang sangat menyayanginya, tetapi perempuan itu tetap tidak akan mentolerir dalam masalah pekerjaan.
Jeremia membalas sapaan resepsionis dan penjaga gedung apartemen hanya dengan anggukan. Dia hampir terlambat. Dengan sesekali menengok jam tangan di pergelangan kirinya, Jeremia terus mengemudikan mobil. Perempuan itu mengerang, dia sudah pasti terlambat. Beruntung tidak ada jadwal penting untuknya pagi ini, Philip pasti sudah menghubunginya untuk mengingatkan.
Sekali lagi Jeremia merasa keberuntungan berpihak padanya pagi ini. Jalanan kota New York yang yang biasanya padat sekarang cukup lengang. Meskipun tidak berarti sepi, tapi lalu lintas cukup lancar. Sehingga Jeremia tidak terlalu terlambat, hanya sepuluh menit dari jam seharusnya.
"Hai, Philip, selamat pagi!" sapa Jeremia terengah. Sama seperti dari apartemen menuju basement, dia juga setengah berlari. "Apa ada yang penting untukku pagi ini?" tanyanya.
Philip mengerjap, menatap Jeremia dari atas ke bawah kemudian kembali ke atas lagi dengan heran.
"Ada apa denganmu?" tanya Philip dengan alis berkerut. "Kau terlihat sangat berantakan." Philip menggelengkan kepala pelan. "Apakah ada sesuatu yang mengejarmu?"
Jeremia mendelik kesal. Namun dalam hati membenarkan perkataan pria berambut hitam di depannya. Jeremia yakin kalau dia memang terlihat sangat berantakan.
"Kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu," sahut Jeremia. "Karena itu bukan tugasku. Jawab saja pertanyaanku!"
Alis Philip terangkat sebelah. Meskipun Jeremia bersikap sok bossy di depannya tetapi dia tidak pernah takut. Lagipula dia tahu kalau Jeremia tidak pernah serius dengan sikapnya itu. Dia terlalu mengenal perempuan itu. Mereka bersahabat sudah sejak lama. Kalau Jeremia terlihat dan bersikap seperti sekarang ini, pastilah karena dia terlambat dengan alasan yang konyol dan tidak masuk akal.
"Kau tidak memiliki jadwal penting hari ini selain makan siang bersama nyonya Collins," jawab Philip dengan mata memicing menatap Jeremia.
Jeremia memutar bola mata. Kalau hanya makan siang bersama Isabella, itu bukanlah jadwal penting lagi tapi jadwal tetap. Setiap makan siang dia selalu bersama Isabella, kecuali salah satu dari mereka pergi ke luar kota atau keluar negeri.
"Itu jadwal tetapku, Phil."
Philip tertawa mendengar jawaban Jeremia. Bos cantiknya terlihat malas menjawab perkataannya tadi.
"Memang benar seperti itu." Philip masih terus tertawa.
Jeremia berdecak kesal. "Maksudku selain itu," ucapnya sambil melangkah memasuki ruangannya.
Philip mengekor Jeremia di belakang perempuan itu, menyerahkan laporan tugas yang dilimpahkan padanya sebelum libur akhir pekan kemarin itu. Philip sudah tahu jadwal Jeremia, sebulan sekali perempuan itu akan pulang ke kota kelahirannya. Namun hanya satu hari, Jeremia tidak pernah menginap. Dia pernah ikut ke kota itu dan mengunjungi tempat yang selalu menjadi tujuan Jeremia. Dua buah makam yang berada di pemakaman umum kota itu adalah tempat yang selalu dikunjungi Jeremia, tidak pernah absen setiap bulannya. Kata Jeremia, dua makam itu adalah makam tunangan dan putra mereka.
Philip mengakui kalau Jeremia memang sangat hebat. Perempuan itu sangat tangguh. Selama dua belas tahun mereka bersahabat, tak pernah Philip melihat Jeremia pergi berkencan. Kesetiaan Jeremia pada tunangannya yang sudah tiada sangat-sangat tidak perlu diragukan lagi. Jeremia sangat mencintai pemuda bernama Jordan itu. Kadang Philip merasa iri dengan kesetiaan itu. Seandainya saja dia memiliki kesetiaan seperti yang dimiliki Jeremia.
"Ini laporan yang kau minta, aku sudah selesai mengerjakannya." Philip meletakkan berkas yang dibawanya ke atas meja kerja Jeremia kemudian duduk di depan bosnya itu.
Jeremia mengangguk. Tangannya menarik kertas-kertas itu agar lebih dekat dan memeriksanya sejenak.
"Terima kasih," ucap Jeremia. "Kau yang terbaik, Philip."
Philip tak bangga mendengar pujian itu, dia justru memutar bola mata. Sudah terlalu sering Jeremia memujinya seperti itu sehingga dia sudah terbiasa. Jeremia terlalu padanya sampai-sampai Jeremia tidak pernah memeriksa hasil kerjanya. Karena itu Philip merasa dia harus mengerjakan semua yang dilimpahkan padanya dengan baik dan sungguh-sungguh. Kepercayaan Jeremia merupakan tanggung jawab yang diberikan perempuan itu padanya.
"Kau hanya memeriksanya sambil lalu, Jeremia, dan kau mengucapkan terima kasih padaku?"
Jeremia mengalihkan tatapan dari laptop menyala di depannya ke wajah Philip kemudian mengangguk.
"Dan kau mengatakan aku yang terbaik?"
Jeremia kembali mengangguk.
Philip mengerang. "Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?" tanyanya tidak percaya. "Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan atau ... bagaimana kalau aku menipumu? Apa kau tidak takut?"
Jeremia menggeleng. "Aku tidak takut," jawabnya. "Aku tidak mempunyai alasan untuk itu, Phil. Aku percaya padamu."
"Bagaimana kalau seandainya...."
Jeremia berdecak memotong perkataan Philip. "Dengarkan aku, Phil. Aku percaya padamu, dan itu artinya aku benar-benar mempercayaimu. Aku juga yakin kalau kau tidak akan mengkhianati kepercayaanku itu."
"Bagaimana kau yakin?"
Jeremia memgembuskan napas lantas tersenyum. "Seorang sahabat tidak akan mengkhianati kepercayaan yang diberikan sahabatnya. Kita bersahabat bukan?"
Philip mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya cepat.
Sejak memasuki sekolah menengah, Philip mulai dijauhi terutama oleh teman-teman lelakinya. Mereka mengatakan dia aneh sehingga tidak ada yang mau berteman dengannya. Hal itu berlangsung selama enam tahun. Bukan hanya anak laki-laki, anak-anak perempuan pun menjauhinya. Mereka sering mengejek dan mengata-ngatainya dengan kata-kata kasar. Meskipun dia mendapatkan predikat sebagai murid terbaik dan teepintar di sekolah, tapi hal itu tidak bisa mengubah keadaan.
Semuanya mulai membaik bagi Philip saat dia mulai menginjakkan kaki di bangku kuliah dan mengenal Jeremia. Philip tidak menyangka kalau Jeremia yang cantik bak boneka Barbie mau berteman dengannya. Pemikirannya tentang gadis cantik berubah. Selama ini dia menilai kalau gadis-gadis cantik itu pasti sombong, tapi Jeremia mematahkan pemikirannya itu. Buktinya Jeremia mau berteman dengannya, sampai sekarang. Bahkan Jeremia memercayainya. Segala sesuatu tentang Jeremia dia sudah tahu semuanya, termasuk kisah perjalanan cintanya yang sangat menguras air mata.
"Kita bersahabat, Jeremia," sahut Philip serak. Entah kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak. Sepertinya karena dia mengingat kisah cinta Jeremia yang sangat menyedihkan sekaligus menimbulkan decak kagum. "Kita bersahabat selamanya!" Philip mengangguk.
Jeremia tertawa kecil. "Kalau begitu kenapa kau menangis?" tanyanya. "Ayolah, Phil. Jangan membuat pagiku menjadi bertambah buruk."
Philip mengipas-ngipaskan kedua tangan di depan wajahnya. Dia berharap hawa panas yang dirasakannya segera menjauh, agar sesak di dadanya juga menghilang.
"Astaga! Maafkan aku, Jeremia." Philip meringis. "Aku tidak bermaksud untuk mengacaukan harimu, tapi sungguh aku tidak sengaja. Aku tahu aku cengeng."
Jeremia tertawa lagi, masih jenis tawa kecil seperti tadi. "Aku tidak mengatakan kalau kau cengeng." Jeremia menggeleng. "Bagiku kau orang paling tabah dan kuat yang pernah kukenal."
Philip menatap Jeremia lekat. "Benarkah?" tanyanya dengan ujung jari mengusap air di sudut matanya.
Jeremia mengangguk. Tawa tak lagi terdengar dari mulutnya hanya senyum yang sekarang menghiasi.
"Kau yang paling tahu itu," sahut Jeremia.
Philip mengangguk. Mungkin Jeremia benar tentang dirinya yang paling tabah. Di negara mereka yang terkenal serba bebas, penyimpangan seksual yang diidapnya masih belum bisa diterima oleh sebagian orang. Termasuk keluarga dan orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya. Dia dikucilkan dan dijauhi. Seolah perlakuan seperti itu tidak cukup diterimanya di lingkungan sekolah, di rumah pun dia mendapatkan perlakuan yang sama bahkan lebih parah. Selain mendapatkan cacian, orang tuanya juga sering main tangan. Dengan alasan ingin membuatnya jera dan kembali normal membuatnya sering mendapatkan pukulan dan siksaan dari mereka.
Namun dia tidak mendapatkan semua itu ketika bertemu Jeremia. Perlakuan hangat dan penerimaan yang didapatnya dari perempuan itu. Menurut Jeremia wajar saja banyak yang tidak berani mengungkapkan jati diri yang sebenarnya, para pengidap orientasi seksual menyimpang itu takut. Bagaimana mereka bisa sembuh kalau mendapatkan perlakuan buruk seperti itu?
Jeremia menerimanya dan mau berteman dengannya. Bahkan Jeremia sangat memercayainya. Jeremia yakin kalau dia akan sembuh suatu hari nanti, kalau keinginan itu ada dalam dirinya.
Tentu saja Philip ingin sembuh, tapi semuanya tidak semudah itu. Kehidupan menyimpang yang bertahun-tahun dijalaninya tentu membutuhkan proses, apalagi sekarang dia masih menjalin hubungan dengan Gabriel. Pria yang bekerja sebagai bartender itu masih terlalu memikat untuk dilepaskan begitu saja.
"Semua itu karena dukunganmu," ucap Philip. "Aku kuat karena kau selalu ada untuk menguatkanku."
Jeremia mengangguk-anggukkan kepalanya pelan beberapa kali. Bukan hanya dirinya yang menguatkan Philip, pria itu juga seperti itu untuknya. Philip juga selalu mendukungnya, rela menggantikan tugas-tugasnya saat dia harus kembali ke kota asalnya untuk menjenguk dua lelaki kecintaannya yang sudah berada di surga. Philip juga merupakan satu-satunya orang yang tidak memintanya untuk mencari pengganti Jordan. Di saat semua orang mengasihani kesendiriannya, hanya Philip yang mendukungnya. Philip tidak memaksa atau memintanya untuk berkencan. Philip mengerti kalau dia tidak membutuhkan yang lain selain Jordan. Philip selalu mengatakan kalau dia pasti akan mencari pasangan kalau dia siap. Yang mana menurutnya dia tidak akan pernah siap walau sampai kapan pun. Karena Jordan tidak akan pernah tergantikan.
Jeremia tidak rela dan jijik kalau tubuhnya disentuh pria lain. Sampai saat ini hanya Jordan yang pernah menyentuhnya, dan selamanya akan tetap seperti itu. Dia tidak menginginkan pria lain selain Jordan, dan dia akan tetap setia pada pemuda itu selamanya.
Jeremia mengusap air mata yang jatuh tanpa disadarinya menggunakan tisu yang disodorkan Philip. Mengingat Jordan selalu membuatnya seperti ini, dia bahagia tetapi air matanya tetap ikut ambil peranan.
"Kurasa bukan hanya kau saja yang cengeng hari ini, aku juga." Jeremia tertawa kecil seraya melemparkan tisu yang sudah dipenuhi air mata dan ingusnya ke tempat sampah terdekat.
"Well, kurasa iya." Philip juga tertawa. "Bagaimana kemarin, apakah semua baik-baik saja?" tanyanya. Philip tahu Jeremia tidak pernah baik-baik saja setelah kembali dari mengunjungi tempat itu, karena dia menghubungi Jeremia mengajaknya ke klub dia malam yang lalu.
"Aku yakin mereka baik-baik saja," sahut Jeremia. Mata birunya kembali berkaca-kaca.
Philip mengangguk, kembali menyodorkan selembar tisu ke tangan Jeremia. Dia paham siapa mereka yang dimaksud Jeremia. Pastilah Jordan dan putra mereka. Sampai sekarang kesetiaan Jeremia pada kedua lelaki itu masih membuatnya kagum. Philip berharap dia bisa seperti Jeremia, setia pada satu orang saja.
"Mereka juga pasti mendoakanku dari atas sana. Mendoakan agar aku kuat dan selalu sabar. Karena itu aku mampu bertahan sampai sekarang."
Philip mengangguk. "Iya, yakinlah." Philip mengembuskan napas, punggungnya bersandar ke belakang. "Aku iri padamu, Jeremia," ucapnya. "Pada kesetiaan dan keyakinan yang kau miliki. Aku harap aku bisa memiliki kedua hal hal itu sama seperti dirimu."
Senyum kembali menghiasi wajah cantik Jeremia. "Kau akan setia kalau kau benar-benar mencintai orang itu, Philip. Dan kau juga akan yakin padanya." Jeremia juga bersandar. "Sejak awal mengenal Jordan, aku selalu yakin padanya. Aku juga percaya pada kesetiaannya, Jordan tidak akan pernah mengkhianatiku. Selamanya."
Kata terakhir dari kalimatnya itu diucapkan Jeremia dengan suara yang kembali serak. Jeremia mendongak, mengerjapkan mata beberapa kali menghalau air yang kembali menggenangi matanya.