"Di mana kau tinggal?" Pertanyaan Jeremia bersamaan dengan angin yang berembus sedikit lebih kencang. Dia mengeratkan kardigan, mengusap-usap lengannya untuk mengusir dingin.
Penghujung musim gugur, cuaca tidak menentu, sering tiba-tiba berubah tanpa memberi tanda. Meskipun tidak ada salju, tetapi dinginnya angin yang berembus sampai menusuk tulang. Seperti sekarang..
"Di pinggiran kota," jawab Jordan tersendat. Ia meneguk ludah kasar, tenggorokannya terasa sangat kering seperti gurun pasir.
Jeremia mengangguk. "Kenapa tidak tinggal di rumahmu dulu?" tanyanya dengan kening berkerut. Jujur saja, dia penasaran.
Jordan mengatakan dua tahun, kemudian sebulan terakhir, tanpa ada penjelasan lebih lanjut mengenai kedua bilangan yang menunjukkan keterangan waktu itu. Entah ini benar atau hanya perasaannya saja, tetapi Jordan seperti tengah menyembunyikan sesuatu.
"Kau tahu, rumahmu tetap kosong, hanya ditempati beberapa pelayan. William dan Isabella sangat jarang ke rumah itu. Jeremia menyesap cokelat panas pesanannya sebelum meneruskan. "Meskipun mengunjungi makam, mereka tidak akan menginap. Langsung pulang ke Manhattan."
Jordan mengusap wajah kasar. Ia ingat dengan nama-nama yang disebutkan Jeremia. Mereka berdua adalah orang tuanya. Orang tua yang baru diingatnya seminggu yang lalu. Iya, benar. Jordan kehilangan ingatan dan baru mengingat semuanya satu bulan terakhir. Inilah yang akan dikatakannya pada Jeremia. Sebab kehilangan ingatan itulah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
"Jeremia, ada satu hal yang akan aku katakan padamu. Kuharap, kau tidak menjeda saat aku menceritakannya." Jordan menatap Jeremia penuh harap. Ada rasa bangga yang meluap melihat wanita yang dicintainya tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Di usia dewasa, Jeremia terlihat semakin anggun dan memesona, membuatnya jatuh cinta untuk yang kesekian kali.
Sepasang alis Jeremia berkerut. Dia tidak mengerti apa maksud perkataan Jordan. Meskipun seperti itu, Jeremia tetap menganggukkan kepala. "Akan kucoba!" sahutnya pendek.
Jordan menarik napas panjang, menyimpannya di paru-paru beberapa menit sebelum melepaskan dengan pelan. Ia merasa akan memerlukan banyak persediaan udara saat bercerita. Ia menatap Jeremia, tepat di mata birunya yang selalu mampu membuatnya hanyut seakan terhipnotis.
"Dua tahun yang lalu, saat aku membuka mata pertama kali, aku terbangun di sebuah tempat yang asing." Jordan memulai ceritanya. "Aku ... aku tidak mengenali tempat itu, termasuk diriku sendiri."
Mata biru Jeremia melebar mendengarnya. Apakah itu artinya ...?
Jordan mengangguk, mengiakan apa yang dipikirkan Jeremia. "Iya, Jeremia, aku amnesia," akunya sambil menundukkan kepala. Entah kenapa, cangkir berisi cappucino yang belum tersentuh sedikit pun itu terlihat lebih menarik di matanya.
Jeremia benar-benar tidak menjeda perkataan Jordan. Padahal banyak yang ingin ditanyakannya, tetapi mulutnya tidak bisa bersuara. Suaranya seakan hilang saking terkejutnya. Apakah semua karena kecelakaan itu? Lalu, apa yang terjadi sebelum dua tahun itu? Apa yang terjadi dengan tahun-tahun sebelumnya?
"Tidak ada yang aku kenal, Jeremia, bahkan namaku sendiri pun aku tidak tahu." Jordan menggeleng, mengangkat kepalanya menatap Jeremia dengan mata berkabut. "Aku ketakutan karena tidak mengenal siapa pun. Apalagi mimpi tentang kecelakaan itu selalu datang setiap malam dan membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak."
Sekarang Jeremia tahu tentang perubahan Jordan. Tubuhnya terlihat lebih kurus dengan sedikit bulu-bulu halus menghiasi rahangnya yang kokoh. Jeremia menutup mulutnya dengan kedua tangan, ternyata Jordan mengingat kecelakaan yang menimpanya. Bodohnya dia sempat berpikir jika Jordan tidak pernah mengalami kecelakaan. Maksudnya, yang berada di dalam mobil bukanlah pria itu, melainkan orang lain yang mengenakan semua barang miliknya.
"Mimpi itu membuatku tidak pernah bisa lagi memejamkan mata setelah terbangun." Jordan menggeleng. "Semuanya buruk. Aku ...." Jeda. Jordan menatap kosong ke depannya, ke belakang Jeremia, di mana terdapat beberapa bangunan baru yang sebelumnya tak ada. "Aku mendapatkan ingatanku beberapa minggu terakhir ini. Tebak, siapa yang pertama kali kuingat!" pintanya serius.
"Apakah itu aku?" tanya Jeremia dengan alis berkerut.
Jordan terkekeh kecil. "Kau sangat percaya diri sekali," katanya disela tawa kecilnya. "Tidak pernah berubah sama sekali."
Jeremia mengangguk, mengiakan. "Tidak ada yang berubah dariku. Semuanya tetap sama seperti dulu," katanya memejamkan mata selama beberapa detik. Dia menarik napas panjang, mengembuskannya bersamaan dengan membuka mata perlahan. Lumayan, sesak di dadanya sedikit berkurang.
"Apakah yang tidak berubah itu termasuk ... kita?" tanya Jordan hati-hati. Ia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menanyakan hal ini. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat takut, sesuatu yang ia tidak ingin Jeremia mengetahuinya karena ketakutan itu adalah kehilangannya.
Mimpi terburuk dalam hidupnya adalah kehilangan Jeremia. Tidak masalah dengan mimpi mengerikan tentang kecelakaan yang merenggut ingatannya, ia masih bisa bertahan. Namun, tidak jika Jeremia meninggalkannya. Ia tidak akan bisa bertahan lagi. Jeremia adalah segalanya, udara dan pusat semestanya. Katakan, bagaimana seseorang bisa bertahan jika tidak ada udara? Akan mati. Seperti itulah dirinya jika tanpa Jeremia.
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau menjawab pertanyaanku!" sahut Jeremia angkuh. Sebelah alisnya terangkat, menantang Jordan.
"Astaga, kau benar-benar!" Jordan menggelengkan kepala. Ingatannya berputar pada saat pertemuan mereka untuk pertama kalinya. Iya, semakin lama bersama Jeremia, semakin banyak ingatannya kembali.
"Ingin tahu jawabanku atau tidak?" Jeremia bertanya sekali lagi. Kali ini dengan dagu yang terangkat, dan tangan terlipat di depan d**a.
"Baiklah, baiklah!" Jordan mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Ia menyerah jika harus menghadapi kekeraskepalaan Jeremia. Selalu seperti itu, 'kan, sejak dulu. "Aku akan menjawab pertanyaanmu."
Jeremia mengangguk angkuh.
"Iya!" kata Jordan dengan nada serius. "Yang pertama kali kuingat adalah kau. Bahkan sebelum aku sadar, kau selalu datang di dalam mimpiku, memintaku untuk bangun dan bertahan."
"A ... apa maksudmu?" tanya Jeremia terbata. Dia menahan napas. Separuh dirinya berharap dugaannya benar, separuh lagi mengharapkan yang sebaliknya.
Jordan mengangguk lagi. "Aku koma selama sepuluh tahun sebelum membuka mata, dan ...."
Jeda. Sungguh, Jordan tidak ingin membahasnya. Meskipun ingin menceritakan semuanya pada Jeremia, tetapi tidak bagian yang paling mengerikan dalam hidupnya, yang ia sendiri bahkan tak ingin mengingatnya.
"Tidak apa, kau tidak perlu menceritakan semuanya jika belum siap." Jeremia mengangguk. Dia menarik napas panjang melalui mulutnya. "Aku juga tidak ingin mendengarnya. Bagiku, itu yang terburuk."
Iya, bagian terburuk dalam hidup seorang Jeremia Natasha Rodriguez bukanlah saat pertunangannya dengan Manhattan Jackson, tetapi saat hari pertunangannya dengan Jordan Alexiel Collins yang tak pernah terjadi. Dia hancur setelah mendapatkan kabar tentang kecelakaan maut yang menimpa laki-laki yang dicintainya. Dia terpuruk bahkan beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Apalagi setelah dia kehilangan bayi yang masih berada di dalam kandungannya.
Beruntung, dia memiliki banyak orang-orang yang menyayanginya. Mereka semua memberikan dukungan padanya untuk bertahan. Sampai dia berada di titik sekarang ini dia berdiri. Mungkin dia tidak akan sanggup melewati semuanya jika seorang diri.
"Maafkan aku, Jeremia," desis Jordan lirih. "Maafkan aku karena sudah meninggalkanmu, maafkan aku karena sudah membuatmu mengalami berbagai hal buruk, maafkan aku karena tidak bisa mendampingimu saat kau membutuhkanku. Maafkan aku ...."
Jeremia menggeleng. "Tidak, itu bukan salahmu," katanya tersenyum. "Kau juga tidak bermaksud untuk seperti itu, 'kan?" Dia balas bertanya.
Jordan menundukkan kepalanya. Ia sudah mengambil keputusan, tidak akan menceritakan kisah lain di balik ingatannya yang hilang. "Sekarang giliranmu!" katanya setelah mengangkat lagi kepalanya. "Giliranmu untuk menjawab pertanyaanku, Jeremia!"
Jeremia mendengkus, membuang tatapan pada matahari yang sudah tenggelam sempurna. Sekarang lampu-lampu menyala menggantikan sinar matahari untuk menerangi.
"Aku lupa dengan pertanyaanmu," kata Jeremia santai. Dia menyandarkan punggung pada sandaran kursinya setelah menyesap minuman cokelatnya yang sudah tidak sepanas tadi. "Bisakah kau ulangi lagi?" tanyanya meminta sambil melipat tangan di depan d**a.
Astaga! Apakah yang baru didengarnya, serius? Kenapa Jeremia menjadi sangat menyebalkan seperti sekarang ini? Mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka yang sedikit memalukan, baginya. Insiden tabrakan tak sengaja di tikungan lantai dua gedung sekolah mereka dulu tidak akan pernah dilupakannya. Sebab, itu adalah awal dari segalanya. Kisah mereka.
Jordan menyugar rambutnya sebelum melakukan apa yang diminta Jeremia. Ia tersenyum tipis, Jeremia benar-benar menguji kesabarannya, sejak dulu.
Jordan menghela napas. "Katamu, kau tidak berubah, tetap seperti dulu. Apakah itu termasuk perasaanmu padaku? Apakah kau masih mencintaiku, Jeremia?" Ia melepaskan napasnya bersamaan dengan pertanyaan itu.
Jeremia membuang muka, berpikir betapa bodohnya pertanyaan Jordan. Seharusnya pria itu sadar, dia tidak akan mengunjungi makamnya setiap bulan, dan tidak akan betah dengan kesendirian jika perasaan padanya berubah? Jordan bodoh! Jeremia menggeram dalam hati.
Jordan mengusap wajah kasar. Hatinya tercubit melihat gerakan kepala Jeremia. Apakah itu artinya Jeremia sudah tak lagi memiliki perasaan apa-apa untuknya? Apakah Jeremia sudah tidak mencintainya lagi?
"Apa kau tahu, aku selalu mengunjungi makammu setiap akhir bulan?"
Jordan meringis mendengar pertanyaan itu. Kata 'makammu' yang disebutkan Jeremia terdengar sedikit berlebihan di telinganya. Agak mengerikan karena pada kenyataannya ia masih hidup dan duduk di depannya.
"Aku reka menempuh jarak sejauh itu hanya untuk mengunjungimu, dan anak kita. Aku menjadi wanita yang gila bekerja hanya untuk melupakan bahwa aku sendirian." Jeremia menarik napas panjang. "Aku tidak suka sendirian, Jordan, tetapi aku juga tidak bisa jika itu bukan kau."
Kekecewaan Jordan lenyap seketika. Dari perkataan Jeremia, ia dapat menyimpulkan bahwa hati dan cinta wanita itu masih tetap miliknya.
Jeremia menaikkan tangan kirinya, memamerkan cincin di jari manisnya. Cincin pertunangannya dan Jordan dua belas tahun yang lalu, dan masih muat di jarinya.
Jika ada yang membuat Jordan menitikkan air mata, hal itu pasti berhubungan dengan Jeremia. Tatapannya kembali berkabut, seiring semakin bertambah banyaknya air yang menggenangi matanya. Jordan meraih tangan itu, membawa ke mulutnya, dan menciumnya hangat berkali-kali. Ia sangat terharu, Jeremia masih mengenakan cincin yang berusia lebih dari sepuluh tahun itu.
"Aku tidak akan melepasnya, kecuali kau menggantikannya dengan cincin pernikahan." Suara Jeremia serak. Dia juga sudah kembali menangis sekarang. Pertemuannya dengan Jordan seperti mimpi yang menjadi nyata. Mengetahui fakta mengejutkan jika pemuda yang dicintainya masih hidup merupakan sebuah hadiah terbaik di dalam hidupnya.
Tak hanya Jeremia, air mata Jordan juga semakin deras mengalir, menuruni pipinya yang tirus. Ia tak menyangka jika gadisnya masih menunggunya dalam jangka waktu selama itu. Tak hanya haru dan bahagia, tetapi perasaan lainnya mengumpul menjadi satu di dalam dadanya. Rasa bersalah yang paling besar dan mendominasi, mengoyak jantungnya sampai habis tak bersisa.
Senja sudah berubah menjadi malam. Kafe mulai dipadati pengunjung yang akan makan malam, ataupun hanya menghabiskan waktu mereka saja. Jeremia berdiri, dia akan pulang untuk memenuhi janji makan malam bersama ayahnya. Jordan mengikutinya, mereka meninggalkan kafe bersama sambil bergandengan tangan.
"Aku sangat ingin kau bertemu Papa, tetapi kupikir sekarang bukan waktu yang tepat." Jeremia meringis. "Kau tidak keberatan jika bertemu Papa kain kali saja, 'kan?" tanyanya kurang nyaman.
"Tidak apa-apa." Jordan menggeleng. "Aku mengerti," katanya tersenyum.
Senyum yang sangat dirindukan Jeremia. Dua buah lubang di pipi Jordan melekuk dalam, menambah semuanya semakin manis saja. Jujur, dia iri. Kenapa harus Jordan yang memiliki lesung pipi, kenapa bukan dirinya yang perempuan? Jordan itu laki-laki, tidak banyak laki-laki yang memiliki lesung pipi sepertinya
"Apa kita bisa bertemu lagi besok?" tanta Jordan was-was. Ia takut Jeremia menolak untuk bertemu dengannya lagi. Namun, Jeremia mengangguk. Ia mengembuskan napas melalui mulutnya dengan pelan, rasanya sangat lega.
"Tentu saja!" jawab Jeremia cepat. "Kau bisa menghubungiku jika sudah tiba di makam lebih dulu." Dia tersenyum jahil.
"Kita bertemu di area pemakaman?" tanya Jordan dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Jeremia.
Ayolah, area pemakaman bukanlah sebuah tempat romantis yang bisa dijadikan sebagai tempat pertemuan sepasang kekasih. Tempat itu adalah perpisahan abadi.
"Kenapa?" tanya Jeremia mendengar Jordan mengerang tertahan. Dia memasang wajah polos tidak mengerti apa-apa.
"Jangan bercanda, Jeremia!" pinta Jordan lemas. "Kita tidak sedang merayakan Halloween apalagi April mop."
Jeremia tertawa kecil. "Maksudku bukan di area pemakaman, Jordan, tetapi di kafe ini atau di mana pun yang dekat dengan pemakaman umum. Aku akan mengunjungi makam Jordan kecil sebelum kembali ke Manhattan lusa."
"Apa?" Jordan terkejut mendengarnya. "Kau akan pergi dari Brandville?" tanyanya.
Jeremia mengangguk. "Aku bekerja dan tinggal di sana, ke sini hanya untuk mengunjungi kalian saja. Oh, iya, apa kau juga ingin makammu juga diletakkan bunga?" tanyanya. Senyum usil menggeliat di bibirnya yang hanya dipoles lipbalm.
Jordan berdecak. "Baiklah, aku akan menunggumu di kafe ini. Kita sama-sama mengunjungi si kecil. Aku yakin dia pasti senang dikunjungi Mama dan papanya."
Dia bulir bening kembali menuruni pipi Jeremia. Selama ini dia berpikir jika putranya sudah bersama Jordan, papanya. Dia baru tahu jika putranya hanya sendirian di sana.
"Ada apa? Kenapa menangis?" tanya Jordan panik. Ia paling tidak suka melihat air mata Jeremia. Persetan dengan yang lainnya, Jeremia paling berharga.
Jeremia menggeleng "Tidak apa-apa!" katanya serak. Dia membiarkan Jordan mengusap air matanya. "Selana ini aku berpikir kalian bersama, tetapi ternyata aku salah. Putra kita hanya sendirian."
Jordan memeluk Jeremia, membiarkannya menangis di dadanya. "Dia tidak sendirian, banyak malaikat bersamanya."
Jeremia tidak menyahut, dia hanya mengangguk dan membenamkan wajahnya semakin dalam di d**a bidang pria yang dicintainya. Ini bukan mimpi, tetapi jika benar mimpi, biarkan dia terus tidur selamanya agar dapat selalu bersama dengan Jordan.