Vanesa Oktavia, gadis cantik, berkulit kuning langsat. Cantik namanya beserta orangnya juga. Dia yang cantik dan menawan menjadi primadona di kampusnya. Banyak pria yang tertarik dengannya, tetapi tak pernah dihiraukan. Salah satunya Arkan, dia pria yang tampan dan juga berprestasi di kampus itu.
Vanesa selalu menolak pria yang ada di sana dengan alasan fokus dengan kuliahnya. Walaupun sebenarnya itu hanya kebohongannya semata. Dia kategori cewek yang tak suka di kekang dengan pria makanya memilih tak menerima pasangan dari kampus itu, namun bangga menjadi primadona untuk saat ini. Tak sedikit perempuan di sana yang memusuhinya sebab merasa iri dengan kecantikannya itu, tapi hal itu tak membuat Vanesa takut karena dia merasa hanya bangga dikagumi, tapi tak mempunyai keinginan untuk dimiliki.
"Vanesa!" teriak Arkan saat selesai kelulusan hari itu.
Vanesa hanya menoleh, tetapi enggan untuk menghentikan langkahnya. Dia tahu, banyak mata yang saat ini tertuju kepadanya. Arkan tetap gigih mengejar Vanesa.
"Van, tunggu!" Arkan meraih tangan Vanesa.
Dengan terpaksa, Vanesa pun menghentikan langkahnya.
"Apa, sih?" tanya Vanesa sembari menghempaskan tangan Arkan.
"Ikut aku." Arkan malah menarik tangan Vanesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.
"Ke mana, Arkan? Banyak anak-anak yang ngelihatin kita, aku nggak mau buat perkara sama mereka!" Vanesa tetap mencoba melepaskan tangan Arkan, tetapi tenaganya cukup kuat sehingga dia hanya mengikuti kemauan Arkan saat ini.
"Cepat masuk mobil. Ada hal yang ingin aku katakan ke kamu," ujar Arkan, sembari membukakan pintu untuk Vanesa.
Arkan dengan cepat masuk ke dalam mobilnya juga, sebab dia tak ingin Vanesa cepat pergi dari sana. Setelah itu, Arkan dengan perlahan melajukan mobilnya. Sedangkan Vanesa saat ini hanya mampu mengalihkan pandangannya dari Arkan, dia tahu akan menjadi peperangan besar sebab kejadian ini.
"Tahu nggak, sih? Pasti ada cewek yang bakal marah terhadapku. Kamu tahu, mereka banyak yang menyukaimu. Kenapa harus di kampus, sih? Ah, aku nggak suka keributan. Malas aku, tuh." Vanesa mengatakan itu, tetapi tetap menatap ke arah luar jendela.
"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Arkan yang membuat Vanesa jengkel.
"ya, kamulah. Siapa lagi?" Vanesa dengan muka masam menatap ke arah Arkan.
"Sudah ngomelnya? Vanesa ... Vanesa, kalau nggak gini, kamu pasti menghindar dariku. Bertahun-tahun, kamu seperti itu. Oke, aku mau tunjukan janjiku, kalau aku akan buktikan ucapanku saat lulus kuliah. Nah, itu tepat hari ini." Arkan tetap kekeh dengan keinginannya.
____
Vanesa hanya tercengang, dia tak menyangka jika Arkan terlihat seserius ini. Dia ingat, beberapa tahun lalu saat semester kedua di kampus itu, Arkan sengaja ingin mendekatinya. Awalnya mereka dekat seperti biasa, namun saat pulang sekolah segerombolan cewek menghentikan kendaraannya.
"Vanesa, turun!" gertak salah satu wanita itu. Sebut saja dia Silvi, dia anak satu angkatan dengannya, namun dia juga teman satu sekolah dengan Arkan dulu.
Silvi sudah lama menyukai Arkan sejak mereka pertama kali sekolah menengah atas. Arkan yang tampan menjadi pusat perhatian Silvi kala itu. Dia merasa tertarik dan suka saat pandangan pertama.
Silvi dengan susah payah mendekat ke arah Arkan. Arkan anak yang baik pun menerima pertemanan itu dengan senang hati. Dia merasa pertemanan dengan Silvi biasa saja seperti yang lain, sedangkan Silvi malah merasa kedekatannya sebab mereka memiliki perasaan yang sama.
Tiga tahun di sekolahan itu, tak ada satupun cewek yang berani mendekat ke arah Arkan, sebab selalu kena marah dengan Silvi. Tiga tahun itu juga, Silvi menunggu Arkan mengungkapkan perasaan namun tak kunjung ia katakan. Hingga, suatu hari Silvi memberanikan diri untuk jujur kepadanya, tapi justru penolakan yang Silvi dapat.
Arkan hanya menganggap Silvi teman yang baik. Dia tak ingin, sekolahnya saat itu hancur karena cinta-cintaan. Hingga, Silvi dengan kekeh mengikuti ke manapun Arkan masuk ke jenjang kuliah. Akhirnya mereka keterima di salah satu universitas yang sama dan bahkan dia mengambil jurusan yang sama.
Walaupun berbeda kelas, Silvi sudah bahagia sebab bisa menatap Arkan setiap harinya. Namun, kebahagiaan Silvi terasa hancur kala Arkan terlihat fokus terhadap Vanesa. Dia salah satu cewek cantik yang ada di fakultasnya.
Arkan, malah sering mendekat ke arah Vanesa, bahkan dia juga lebih mencari perhatian ke Vanesa. Hingga suatu hari, Silvi dan teman-temannya dengan marah menghentikan mobil yang dikendarai Vaneza.
"Vanesa, berhenti!" teriak Silvi saat mencoba menghentikan mobil Vanesa.
Vanesa yang berada di dalam mobil, sontak melajukannya minggir untuk berhenti. Silvi dan beberapa temannya pun turun saat Vanesa sudah menghentikan mobilnya itu.
"Vanesa, turun!" gertak Silvi.
Cuaca yang mendung dan bahkan sore hari, membuat Vanesa terpaksa menuruti kemauan Silvi untuk turun.
"Ada apa, Sil?" tanya Vanesa. Mereka berdua memang saling kenal, sebab satu fakultas.
"Aku peringatkan, mulai hari ini jauhi Arkan. Arkan itu milikku, jangan berani-beraninya mendekatinya. Siapa yang berani mendekatinya, dia akan berurusan denganku!" gertak Silvi.
Vanesa yang tak merasa bersalah hanya menyeringai kala melihat Silvi marah-marah.
"Astaga, seperti itu? Kau apanya Arkan? Kakaknya? Mamaknya? Atau Tantenya? Kenapa sih, sibuk banget jadi orang? Dahlah, pulang keburu hujan lebat. Lihat tuh, kilat sudah mulai menyambar," ujar Vanesa lalu kembali membuka pintu mobilnya.
"Vanesa!" teriak Silvi kembali.
Vanesa membuka kaca jendela mobilnya.
"Minggir nggak? Aku mau pulang, malas berurusan sama orang yang gampang sensi. Pantes aja cepat tuah, huh!" Vanesa dengan entengnya mengatakan itu.
Vanesa menggeberkan mobilnya, sehingga secara langsung Silvi dan teman-temannya sontak minggir. Vanesa segera melajukan mobilnya, hendak meninggalkan tempat itu.
"Bye-bye, cepat pulang Ibu-ibu. Keburu hujan, loh." Vanesa melambaikan tangannya. Namun, saat melewati Silvi, Vanesa kembali menghentikan mobilnya. "Menyedihkan!"
Vanesa kembali menyeringai, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Silvi yang menatap mobil Vanesa yang perlahan hilang, hanya menahan rasa kesalnya.
"Si@lan! Bisa-bisanya dia seberani itu denganku," gumam Silvi.
"Sepertinya kita kasih pelajaran saja itu anak. Kalau hanya peringatan, dia justru membalas ucapanmu dengan lebih judes." Teman Silvi justru menyarankan yang tidak baik untuknya.
"Nanti kita pikirkan lagi. Kita pulang, sudah mau turun hujan," sahut temannya yang lain.
Silvi tangannya di tarik dengan teman-temannya untuk masuk ke dalam mobil. Dia dengan wajah cemberut, hanya duduk di samping kursi kemudi.
"Tenanglah, Sil. Masih ada kita-kita, nanti kita berikan pelajaran terhadapnya," ujar teman Silvi sembari menyeringai.
"Vanesa! Aku nggak akan tinggal diam. Hanya aku yang boleh memiliki Arkan. Tak ada satu pun orang yang bisa memilikinya, selain aku!" Silvi mengepalkan tangannya dengan kuat.