Sudah satu bulan sejak tragedi pertengkaranku dengan Ayah dan Ibu. Rumah tempatku tinggal menjadi tempat yang sangat asing bagiku. Aku selalu melewatkan sarapan dan mengunci pintu sebelum mereka datang. Sesekali mereka menyuruhku keluar dengan kalimat yang lagi-lagi menyakitkan untuk kudengar. Aktivitasku hanya belajar, belajar dan belajar. Aku ingin mendapatkan beasiswa pendidikan untuk melanjutkan studiku.
Aku memang pasti akan keluar dari rumah ini, tetapi bukan untuk menjadi tuna wisma yang luntang-lantung hidup di jalanan. Aku memiliki beberapa rencana, yang jelas aku harus bisa membuktikan bahwa aku bisa meraih masa depan yang selama ini dibilang tidak ada oleh keluargaku.
Seperti sekarang, aku berada di perpustakaan sekolahku mengerjakan soal latihan Ujian. Lalu ketika pulang aku les privat di tempat Miss Nessa dan sampai kamar aku membuat sebuah motivation letter untuk syarat beasiswa yang ingin aku ajukan. Orang Tuaku? Aku tidak peduli lagi dengan semua ucapan tajam mereka. Membandingkan aku dengan Kak Adera yang baik dan membanggakan katanya. Bahkan Ibu pernah mengatakan muak dengan tubuh gemukku ini. Bagiku, tidak ada kasih sayang sedikit pun yang kurasa.
"Azzura, waktu istirahat sudah selesai. Ayo kembali ke kelasmu", Bu Ida menginterupsi kegiatanku. Ku lirik jam di dinding dan benar saja, 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi.
"Baik Ibu, terima kasih”, jawabku dan bu Ida menjawabku dengan anggukan.
Sekeluarnya aku dari pintu perpustakaan sudah berdiri lelaki b******n yang hampir melecehkanku tempo hari.
Secara otomatis aku melingkupi tubuh dengan kedua tanganku dan mundur saat ia hendak mendekatiku.
"Jangan ganggu aku”, ucapku.
Lelaki itu mengangkat bahunya dengan enggan. Ia menatapku meneliti.
"Kenapa kau tidak pernah terlihat di kantin?", tanyanya.
Aku menyipitkan mata mendengar pertanyaannya.
"Bukan urusanmu, yang jelas jangan ganggu aku. Cari saja perempuan lain", desisku.
"Bisakah kau minggir? Aku ingin kembali ke kelas”, ucapku.
Ia melangkah pergi meninggalkanku di depan perpustakaan. Laki-laki itu, kenapa ia sering muncul tiba-tiba di hadapanku. Mengerikan. Aku berjalan secepat mungkin agar cepat sampai ke ruang kelasku. Tapi tiba-tiba perutku terasa sakit melilit membuat langkahku terhenti. Rasanya sakit sekali! Aku memejamkan mata untuk menahan rasa sakitnya. Sepertinya karena aku belum makan apa-apa sejak pagi, mau bagaimana lagi... aku sedang berhemat untuk mempersiapkan semuanya. Setelah beberapa saat sakit diperutku berangsur-angsur menghilang, perlahan aku menarik nafas untuk memulihkan tubuhku.
Srek!
Aku berbalik saat mendengar tanaman di salah satu taman kecil di depan salah satu ruang kelas bergerak. Tapi tidak ada siapa pun di sana, angin pun tidak bertiup. Aku tidak sedang diikuti kan? Hei.. yang benar saja memangnya ini cerita misteri, lagi pula siapa juga yang mau mengikutiku.
Sudahlah, lebih baik aku kembali ke ruang kelasku untuk mengikuti ulangan harian yang sudah dijadwalkan oleh Bu Meyda. Semoga nilaiku bagus.
***
Aku tersenyum menatap hasil ulanganku hari ini. 88. Angka yang sangat bagus bukan? Well, setidaknya untuk seorang Azzura yang bodoh nilai segitu adalah prestasi baru. Aku mengingat tatapan Bu Meyda seakan bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapat nilai seperti itu. Kalau ia masih mengira aku menyontek aku akan menawarkan untuk ujian ulang agar ia bisa percaya. Bahwa aku sudah bukan Azzura yang bodoh seperti dulu.
Miss Nessa juga memberikan selamat atas nilaiku hari ini saat aku les di tempatnya tadi. Yihi! Senangnya! Sampai rumah akan aku perlihatkan pada Bi Asti lalu akan kupasang nilai ini di dinding kamar mungilku.
Aku mengetuk langit-langit bus umum yang kutumpangi, gerbang perumahan tempatku tinggal sudah terlihat.
Aku turun dari bus dan berjalan kaki sampai rumah. Sesampainya di depan pagar aku mengernyit bingung melihat mobil Ayah dan Ibu yang sudah terparkir di garasi. Ini kan masih jam 7.30 malam, kenapa Ayah dan Ibu sudah di rumah.
Aku membuka pintu rumahku dan mendengar suara tangisan Ibu dan teriakan Ayah. Tunggu. Ada apa ini? Mereka bertengkar? Setahuku mereka tidak pernah bertengkar seperti ini. Aku melangkah masuk dan secara tiba-tiba Bi Asti mencegah dan menarikku ke arah kamarnya.
"Ada apa Bi? Apa terjadi sesuatu?”, tanyaku pada Bibi.
Bi Asti tampak bingung ingin berkata apa.
"Bi?"
Bi Asti menatapku ragu-ragu.
"Tadi ketika di dapur saya tidak sengaja mendengar bahwa Nyonya menerima telepon dari universitas tempat Tuan Dera kuliah"
Kak Adera? Ada apa dengannya?
"Ada apa dengan kak Dera, Bi?"
"Tuan Dera dikeluarkan dari sekolahnya akibat memperkosa teman wanitanya di suatu pesta, nona. Tuan dan Nyonya sangat terpukul. Nyonya tak berhenti menangis sejak tadi dan Tuan murka kepada Tuan Adera"
Tanganku membungkam mulutku mendengar penjelasan Bibi. Astaga Kak Dera, ASTAGA!!
Aku berlari meninggalkan Bi Asti dan mengunci pintu kamarku. Kusandarkan tubuhku pada pintu yang ada di belakangku. Kepalaku terasa pening. Kak Adera, bisa-bisanya ia melakukan hal menjijikkan seperti itu. Astaga Ya Tuhan, apa yang telah terjadi?
***
Satu minggu setelahnya kak Adera resmi dikeluarkan dan dipulangkan dari asrama tempatnya tinggalnya. Aku melihat kak Adera yang tengah duduk di ruang tv dengan toples berisi tortilla ditangannya. Ia masih bisa makan dengan santai di tengah situasi seperti ini? Ia benar-benar gila.
Kak Adera yang menyadari kedatanganku mengangkat sedikit alis tebalnya.
"Hai, Zura"
Aku tak menjawab dan langsung melangkah menuju kamarku.
"Cih", decitnya.
Aku memejamkan mata menahan sakit dihatiku. Dulu. Sebelum aku menyadari keluargaku tidak menyayangiku aku sangat mengidolakan figur kak Adera yang tampan dan pintar. Tapi semuanya sirna seketika setelah perbuatan yang ia lakukan. Rupanya ia tidak lebih dari pria b******k yang suka memaksakan kehendaknya seperti pria b******n di sekolahku itu.
Aku semakin tidak percaya cinta dan kasih sayang. Hasrat dan obsesi, itu yang nyata adanya.
***
"Katanya kemarin kau sempat hampir dilecehkan ya?"
Hampir saja aku menyemburkan isi mulutku saat tiba-tiba kak Adera bertanya hal seperti itu dengan intonasi yang biasa saja. Aku meneguk sisa air dalam gelas ditanganku. Ya, kami sedang di dapur saat ini. Tidak, akulah yang tadinya di dapur dan kak Adera baru saja tiba dan menanyakan hal menjijikkan untuk kuingat. Lagi pula bukankah tadi ia sedang memakan tortilanya di ruang keluarga? Untuk apa ia bertanya seperti itu?
"Kenapa bertanya seperti itu?”, tanyaku.
Kulihat ia mengangkat bahunya dengan santai.
"Yaa, aku hanya ingin tau saja. Para asisten mengatakannya padaku"
"Lalu? Ketika kakak sudah tau kakak ingin apa?”, tanyaku.
"Wow, aku hanya bertanya baik-baik kenapa kau tampak mempermasalahkannya Azzura? Kenapa pemikiran semua wanita sesempit itu sih?"
Sempit katanya? Justru pikirannya yang dangkal!
"Dan mengapa kalian para pria suka sekali melecehkan wanita? Seakan-akan memperkosa seorang wanita adalah hal yang wajar dan tidak merusak mental orang lain?!"
Nafasku memburu sesak. Entahlah, aku benci laki-laki berpikiran dangkal!
Kak Adera tergelak, dan aku tidak menemukan satu kata pun dari kalimat yang kuucapkan.
"Dasar adik bodoh, lagi pula aku heran lelaki mana yang mau melecehkanmu itu? Seleranya tidak bagus"
Astaga, Ya Tuhan. Benarkah lelaki didepanku ini adalah saudara kandungku?
"Ya, aku memang gendut, bodoh dan jelek. Tidak seperti kakak yang tampan dan pintar, tapi setidaknya aku masih memiliki moral dan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bukan hanya pikiran dangkal dan menjijikkan seperti kakak!"
Entah keberanian dari mana yang datang kepadaku, kakiku terayun menendang tulang kering Kak Adera dan detik itu pula berlari secepat mungkin ke kamarku. Kak Adera tampak murka dan ikut berlari mengejarku. secepat mungkin aku menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.
BRAK! BRAK! BRAK!
"KELUAR KAU MAKLUK BURUK RUPA! AKU PATAHKAN KAKIMU SINI! BERANI-BERANINYA KAU MENGATAKAN SEPERTI ITU KEPADAKU!"
BRAK! BRAK! BRAK!
Aku menahan isak tangisku sekuat tenaga agar tidak terdengar oleh Kak Adera.
BRAK! BRAK! BRAK!
Astaga, Kak Adera seperti akan mendobrak pintu kamarku.
BRAK!!!
"Asal kau tau babi gendut, apa pun yang terjadi padaku hari ini tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Karena sudah jelas aku akan meneruskan perusahaan Ayah, dan kau hanya akan menjadi manusia tidak berguna yang mengemis uang kepadaku!"
"ENYAHLAH KAU!" Bentakku.
Tidak akan! Aku tidak akan membiarkan hidupku bergantung kepada kak Adera. Sebentar lagi Azzura. Sebentar lagi, bertahanlah sedikit lagi saja lalu kau akan keluar dari rumah mengerikan ini!