BAB 1 Invisible

1635 Words
Aku melangkahkan kaki ke ruang makan dengan perasaan riang. Hari ini adalah tahun ajaran baru dan akhirnya aku menjadi siswa tahun terakhir disekolahku. Dan semuanya aku mulai dari ruangan ini, ruang makan yang telah dihuni oleh tiga orang terpenting dihidupku. Yup, mereka adalah orang tua dan kakakku, Adera. "Halooo, selamat pagi”, sapaku riang. "Hai, Zura. Segera sarapan lalu berangkatlah ke sekolah”, balas Ayah. "Oke, Yah" "Tunggu”, sela Ibu. "Ada apa, Bu?" Ibu memperhatikan penampilanku dari rambut sampai kaki. "Ku rasa seragammu sudah kekecilan, terutama di bagian lengan dan perut. Hari ini akan ibu kirimkan uang bulanan ke rekeningmu, tapi akan ku tambahkan untuk membeli seragam yang baru. Tubuhmu terlalu mencolok dengan pakaian ketat itu”, ucap Ibu. Baik aku, ayah, maupun kakak meneliti seragam yang kupakai. Rasanya biasa saja deh, tidak kekecilan. "Tapi, ku rasa baju seragamku baik-baik saja, bu", negoku. "No, dengan ukuranmu yang segitu pakaianmu terlalu sempit. Besok ganti ya?”, jelas Ibu. Aku menghela nafas. "Oke" Ibu tersenyum puas. "Good girl", gumamnya. Aku mengambil tempat duduk kosong dan mulai mengisi piringku dengan nasi goreng buatan Bibi Asti. "Stop!" Lagi-lagi kegiatan sarapanku terjeda karena interupsi dari keluargaku. Kali ini dari ayah. "Ada apa, yah?", tanyaku bingung. Kulihat Ayah tampak menimang perkataan yang ingin ia ucapkan. "Bukankah sebaiknya kau mulai memperhatikan penampilan dan mengurangi porsi makanmu, Azzura? Tidak kah kau pikir kau sudah ... ehm, yah, you know", usulnya. Aku meneguk tenggorokan yang terasa kering tiba-tiba. Aku menatap piringku yang sudah penuh dengan nasi goreng lengkap dengan lauknya. Lalu aku melihat piring Ayah, Ibu, dan juga kakak. Porsi mereka bahkan tidak sampai setengah porsiku saat ini. Rasa malu menguasaiku dengan sekejap. Aku hanya bisa berdeham dan.. "Akan kucoba, Ayah”, jawabku pelan. Dan lagi-lagi senyum puas terbit di wajah orang tuaku. Dan sebentar lagi pasti akan keluar dua kata yang menjadi jargon orang tuaku ketika permintaan mereka kuturuti. 1.. 2.. 3.. "Good girl" Tuhkan. Aku menghela nafas secara diam-diam sambil mengembalikan separuh nasi gorengku dengan sedikit tidak rela. Makan pagi pun kembali berjalan dengan hening. Dan biasanya, ibu akan berbicara hal yang hampir tiap hari ia ucapkan. "Oh ya, kemarin aku ditawari jadi brand ambassador make up baru, tapi kutolak. Aku tak mungkin menambah kesibukan disela praktik konselingku”, saut Ibu. Nah.. apa kubilang. "Hmm.. sebenarnya itu peluang bagus, tapi jika kau memutuskan begitu aku mendukungmu, sayang”, balas Ayah dengan lembut. Ibu tersenyum dengan rona yang menambah kecantikan parasnya. "Ayah hampir lupa, hari ini mungkin akan pulang terlambat. Akan ada interview majalah bisnis”, ungkap Ayah. "Lagi?”, desisku tanpa sadar. "Tentu saja, Az.. Ayah itu eksekutif terkenal, jangan kaget kalau banyak yang mengundang interview begitu”, saut kakak yang sedikit geregetan mendengar pertanyaan bodohku. "Oh ya, besok kau akan memulai asrama lagi ya?”, tanya Ibu. "Ya, Bu. Besok akan ke asrama baru, asrama sebelumnya sudah dihuni mahasiswa baru”, jawab Kakak. Ibu tersenyum bangga pada kakak, senyum yang tidak pernah ditunjukkan untukku. Ada sedikit rasa tercubit di hatiku, tapi dengan cepat kusirnakan. Aku tidak boleh merasa iri seperti itu. "Kebetulan sekali, nanti malam Ibu diundang makan malam oleh kolega Ibu yang telah sukses sembuh dari masalah psikisnya. Kau ikut ya? Akan Ibu kenalkan kepada mereka”, ajak Ibu. "Wah.. mau Bu, sangat mau”, ujar Kakak. "Bolehkah aku ikut Bu?”, tanyaku bersemangat. Sontak ruangan terasa hening seketika. Tiga pasang mata yang tadinya menghiraukan aku kini menatapku dengan tatapan yang... entahlah. Ibu sedikit berdeham. "Kau kerjakan saja PR-mu di rumah, hari pertama ajaran baru pasti kau diberi banyak PR”, gumam Ibu seraya melanjutkan sarapannya. "Justru karena ini hari pertama biasanya tidak diberi PR, Bu. Aku boleh ikut ya?”, ujarku sedikit memaksa. Terdengar Ibu menghela nafas. "Kau sudah di tahun terakhir, kau harus banyak belajar untuk mempersiapkan ujian masuk universitas”, balas Ibu. Oh my God, yeah.. aku baru di hari pertama ajaran baru bahkan ujian akhir pun belum tampak masa aku harus belajar masuk Universitas dari sekarang? "Tapi, Bu.." "Kapan-kapan Ibu akan mengajakmu, tapi tidak malam ini. Cepat selesaikan sarapanmu lalu berangkatlah sekolah, jangan sampai terlambat di hari pertama”, potong Ibu. "Baiklah”, jawabku. Aku menatap Ayah dengan wajah penuh harap. "Ayah akan mengantarku sekolah kan hari ini? Kemarin-kemarin kan Ayah sudah janji akan mengantarku”, tanyaku menagih janji Ayah yang.... entahlah sudah lama sekali sepertinya. "Lain kali ya, Azzura. Ayah ada meeting penting pagi ini”, jawab Ayah dengan cepat. Lalu aku berpaling ke harapanku satu-satunya, Kak Dera. "Kak Dera, mau ya antarkan aku? Please..", mohonku. "Maaf, Zura, kakak sudah ada janji pagi ini”, jawabnya dingin. Oke. Tahan Zura. Tahan. Jangan nangis di sini. You'll be fine, Zura. "Baiklah, aku naik angkutan umum saja. Aku berangkat ya. Have a nice day!",pamitku seriang mungkin. Aku tertawa hambar mengetahui tidak ada yang menggubris omonganku. Huft, inilah hari-hariku setiap hari. Berdesak-desakan di dalam bis kota yang penuh sesak dengan para pekerja dan pelajar yang sama-sama mengejar waktu. Ketika keringat sudah membasahi punggungku, aku membayangkan Ayah, Ibu, dan Kakak yang mungkin sedang menikmati perjalanan di mobil mereka masing-masing. Huft.. pasti sangat menyenangkan. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat banner sekolahku. Aku berusaha merambat ke arah pintu masuk bis tersebut. "Duh, perempuan itu tidak sadar badan ya? Menabrak-nabrak orang seenaknya!" Aku hanya diam mendengar suara orang mencemooh di belakangku. Aku berjinjit menggapai atap bus dan mengetuk sekencang mungkin. Sang kenek memberi instruksi pada pak sopir untuk memberhentikan bus di depan sekolahku. Huuuuuh legaaaaa, rasanya udara menjadi ringan dan segar! Kini aku tengah menyusuri koridor utama sekolah. Semuanya tampak sama saja, tidak ada yang spesial. Itu menurutku, sih. Tidak tau kalau kata siswa yang lain. "Azzura" Langkahku terhenti mendapati wali kelasku. Bu Imelda. Yang tidak biasanya memanggil diriku secara pribadi. "Bisa ikut saya ke ruangan sekarang?”, tanya Bu Imelda. Kuanggukkan kepalaku dan mengikuti langkah Bu Imelda dari belakang. Ia mempersilahkan aku duduk di hadapannya. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?”, tanyaku dengan sopan. Bu Imelda tampak menghela nafas. Ia mengambil secarik kertas yang kuketahui dengan pasti isi dari kertas tersebut, data nilai siswa. Dan perasaanku tidak enak sekarang. "Kau tau apa ini?”, tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. "Jadi kau tau kan, alasan saya memanggilmu ke sini?”, tanyanya lagi. Aku mengangguk seraya menundukkan kepalaku. Aku malu. "Saya menerima banyak sekali laporan dari guru-guru mata pelajaran bahwa nilaimu tetap buruk. Kau tau kan sekarang sudah berada di tahun terakhir? Kau ingin melanjutkan studimu ke Universitas kan?”, cecarnya. Aku mengangguk lemah. "Lalu mau sampai kapan kau mau seperti ini? Harusnya kau lebih berusaha untuk meningkatkan prestasimu. Bukan hanya pelajaran Seni Lukis saja!”, ketus Bu Imelda. Aku sudah menahan tangis sejak tadi. "Maafkan saya, Bu. Sungguh, saya sudah berusaha sekeras mungkin untuk meningkatkan prestasi saya, tap.." "Tapi usahamu kurang keras, Azzura! Jika kau memang berusaha sekeras itu, maka setidaknya akan ada sedikit peningkatan di indeks prestasimu”, geram Bu Imelda. Aku semakin menundukkan kepala, rasanya aku ingin pergi berlari ke mana saja yang bisa menjauhkanku dari kondisi memalukan seperti ini. "Orang tuamu itu kan sangat terkenal akan kegeniusan mereka, bahkan kakakmu pun mempunyai prestasi luar biasa. Lalu ada apa denganmu, Azzura? Pasti ada hal yang salah dari dirimu. Jika memang kau tidak mampu belajar sendiri, mintalah orang tuamu untuk memanggil guru privat untuk membantumu belajar. Tidak sulit kan?!",geram Bu Imelda. Ia menarik sebuah amplop dari lacinya dan memberikannya padaku. "Itu surat pemanggilan orang tua atau wali. Saya ingin berbicara dengan orang tua atau walimu besok”, tegasnya. Sontak aku panik. "Tapi Bu..." "Tidak ada tapi-tapian, Azzura. Besok. Saya tunggu. Mengerti?”, sentak Bu Imelda. "Me.. mengerti bu" "Kau boleh kembali ke kelas”, gumamnya. Dengan patuh aku beranjak keluar dari ruangan Bu Imelda. Tidak. Aku tidak sepenuhnya patuh. Aku tidak kembali ke kelas. Melainkan ke Unit Kesehatan Siswa (UKS). Aku merebahkan tubuhku sejenak untuk memikirkan apa yang harus kukatakan pada Ayah dan Ibu. *** Aku ingat. Semua keluargaku akan pulang larut malam ini, di rumah ini hanya ada aku dan Bi Asti. Tapi Bi Asti sudah pamit istirahat terlebih dahulu karena waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, kedua mataku pun semakin tidak bisa kuajak kompromi. Namun suara deruman mobil yang familier ditelinga membuat rasa kantukku pudar dan berganti menjadi rasa takut. "Hai Bu, Kak. Bagaimana hari kalian?”, tanyaku basa-basi. "Melelahkan. Ibu tidur dulu ya”, jawab Ibu. "Tapi Bu, ada yang ingin aku bicarakan”, elakku. "Besok saja, Azzura. Kau tak lihat Ibu sangat lelah? Jika kau tak sabar tunggu saja Ayahmu pulang dan bicarakan padanya”, dalih Ibu lalu berjalan meninggalkan aku diikuti oleh Kak Adera yang tampak tidak peduli. "Baiklah..", gumamku. Tak lama setelahnya, aku mendengar mobil Ayah datang. "Hai, Ayah. Bagaimana harimu?”, tanyaku melontarkan pertanyaan yang sama kepada Ibu seakan aku adalah sebuah mesin pemutar suara. Ayah tersenyum tipis. "Melelahkan, Ayah ingin beristirahat lebih dulu. Kau jangan tidur terlalu larut agar besok tidak terlambat ke sekolah”, jawab Ayah. "Tapi, Yah.. ada hal yang ingin kubicarakan sebentar saja”, ucapku. Raut wajah Ayah tampak kesal. "Besok saja, Azzura. Ayah lelah. Sangat lelah untuk berpikir lagi. Jadilah anak yang mandiri. Jangan menuntut semuanya harus sesuai dengan kemauanmu”, ucap Ayah lalu meninggalkan aku dalam kesendirian. Menuntut? Apa aku terlalu menuntut? Astaga Ya Tuhan, kuatkan aku. Jangan menangis Azzura. Kumohon jangan menangis. Jangan menangis, sialan! Tapi tidak bisa. Air mataku mulai mencair, aku berlari ke kamar secepat yang aku bisa. Semuanya terlalu menyakitkan untuk dianggap 'baik-baik saja'. Mungkin.. mungkin aku harus tidur, siapa tau esok kan lebih baik. Ya.. aku harus tidur. Tidur untuk mengobati rasa sakit yang kurasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD