Setelah pulang dari perusahaannya, Adrian mampir ke toko buku. Dia membeli semua buku mata pelajaran untuk anak SMU kelas 3, mulai dari buku cetak sampai buku kumpulan soal-soal. Saat dia keluar dari toko buku, ia menenteng dua kantong besar. Kalau biasanya setelah ia menginap di desa, ia akan pulang ke rumahnya menikmati waktu istirahatnya dengan tenang sendirian.
Tetapi sekarang ia memacu mobilnya kembali ke desa, Adrian bingung mau menyebut apa rumah yang ditinggali oleh ayahnya bersama dengan istri barunya yang merupakan rumah istrinya. Bukan karena ayahnya tidak mampu membelikan rumah tetapi karena perjanjian yang Violet inginkan agar mereka tetap tinggal di sana.
Perubahan yang ada di rumah itu setelah pernikahan adanya renovasi rumah mulai perabotan yang baru dan lebih nyaman, mempercantik tampilan rumah, serta adanya tukang kebun yang merawat halaman berbentuk taman depan dan kebun kecil di belakang rumah.
Saat sampai di desa hari sudah menunjukkan pukul 9 malam, ayah dan ibu tirinya belum tidur masih menonton berita di televisi yang suaranya sedikit terdengar dari beranda rumah. Saat mobil Adrian masuk, ayahnya sudah mendengar suara mobil Adrian yang sangat dia hafal sehingga sudah beranjak ke depan rumah untuk membuka pintu sebelum pintu di ketuk.
Belum sempat Adrian mengetuk pintu, pintu itu terbuka dan terlihatlah ayahnya dengan raut wajah antara terkejut, khawatir dan bingung.
“Assalamu’alaikum, Yah.”
“Wa’alikumsalam. Tumben ga biasanya kamu pulang lagi saat hari kerja.” Ayahnya mengutarakan perasaannya. “Kamu tidak ada masalah, kan?”
“Tidak, Yah.” Adrian menggaruk kepala yang tidak gatal dan sedikit salah tingkah karena dia sendiri sebenarnya bingung akan tindakan imflusifnya.
“Apa yang kamu bawa? Sepertinya berat?”
Adrian lebih salah tingkah, ia berjalan masuk mengikuti ayahnya yang sudah kembali masuk dan duduk di samping istrinya. Adrian akhirnya duduk di samping kursi yang diduduki orangtuanya, sambil meletakan bawaannya yang lumayan banyak di atas meja.
“Apa yang kamu bawa, Adri?” suara lembut ibu tirinya menegurnya setelah pertanyaan ayahnya tidak di jawab tadi.
“Buku cetak untuk Vio, Bu.”
Mendengar jawaban Adrian membuat ayahnya tersenyum bahagia setelah saling pandang dengan istrinya.
“Vio minta dibelikan buku kepadamu?” tanya ayahnya yang penasaran.
“Tidak, Yah. Adri inisiatif sendiri, soalnya toko buku di desa tidak ada. Tadi pagi Adri lihat Vio meminjam buku dengan temannya. Adri tidak tega.”
“Vio pasti akan senang menerimanya.” Kata Bu Salma sambil tersenyum lebar kepada Adrian. “Kamu sudah makan?”
“Belum, Bu. Tadi tidak sempat, karena takut terlalu malam sampai ke sini.” tetapi dia juga berkata dalam hati, seperti apa reaksi Violet saat tahu dia membelikan buku untuknya.
“Kamu segarkan dirimu dulu, biar ibu siapkan makan malam untukmu.” Bu Salma berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan buat Adrian.
Sementara Violet setelah belajar dan membuat pekerjaan rumahnya, sekarang sudah tidur nyenyak di kamarnya di lantai atas.
Setelah Adrian menyegarkan diri dan berganti baju, ia menuju meja makan yang sudah terhidang rapi. Ia menarik kursi dan duduk untuk menikmati makan malamnya dengan lahap karena dia memang sangat kelaparan, setelah rasa tegang yang terus berkecamuk di pikirannya bagaimana tanggapan orangtuanya akan tindakannya ini.
Melihat senyum bahagia yang dilihatnya di wajah kedua orangtuanya, ia merasa lega dan dapat menikmati malam dengan makan dan istirahat yang nyaman malam ini. Untuk masalah besok dengan Violet, hadapi saja besok.
∞
Saat Subuh, kesibukan di rumah kecil itu mulai terdengar. Setelah melaksanakan kewajiban setiap muslim, aktifitas di dapur mulai terdengar. Violet seperti biasa sudah bergabung dengan ibunya untuk membantu menyiapkan sarapan mereka. Violet belum mengetahui bahwa Adrian ada di rumah dan belum menampakkan dirinya.
“Vio, semalam kakakmu datang. Kamu sudah tidur. Dia membawakanmu buku pelajaran buatmu, coba kamu lihat di meja depan.” Bu Salma memberi tahu Violet.
“Buku?” mendengar suara Violet yang heran bercampur kaget, akhirnya Bu Salma menoleh kepada Violet yang sedang mengupas bawang di sampingnya.
“Iya. Bukunya di meja depan belum ibu pindahkan letaknya, kamu ambil dan bawa ke kamarmu. Jangan lupa ucapkan terima kasih kepada kakakmu.” Beliau menasehati Violet, yang hanya merespon seadanya.
Karena tidak ingin ibunya sedih kalau dia menolak, Violet akhirnya ke depan untuk melihat buku tersebut. Dalam perjalanan ke depan ia berpapasan dengan Adrian yang baru keluar dari kamar tidur dan akan menuju ke kamar mandi. Sebelum Adrian berjalan menuju kamar mandi, ia dicegat oleh Violet.
“Apa maksud dari buku-buku itu?” dengan suara rendah dan marah, Violet menuju ke arah kantong plastik yang memuat buku-buku di meja.
“Kamu tidak mempunyai buku, jadi aku belikan. Kamu jangan membuat ayah dan ibu menjadi malu.” Balas Adrian dengan cuek dengan suara yang rendah juga.
“Kamu tidak dengar apa yang aku bilang kemarin dulu?” Violet semakin terselut emosinya “Apa kamu tidak dapat mengingat dengan baik?” sebelum Violet melanjutkan marahnya, ia dipotong oleh Adrian.
“Kamu terima saja. Ayah dan ibu sangat senang semalam, karena tahu aku ada perhatian sama kamu. Jangan buat orangtua kita kecewa.” Adrian berlalu dan menuju ke kamar mandi. Ia sudah menduga reaksi Violet akan seperti ini, tetapi marah yang dia tunjukkan tidak dapat lepas karena tidak mau sampai terdengar oleh orangtua mereka. Kelemahan terbesar violet adalah ia tidak mau mengecewakan orangtuanya sehingga itu senjata yang dipakai Adrian untuk membungkam kemarahan Violet dan dengan terpaksa menerima apa yang sudah ia belikan.
Sepeninggalan Adrian, Violet menghela nafas frustasi tetapi ia tidak mau mmelihat kekecewaan di mata kedua orangtua mereka, terutama ibunya yang telah susah payah membesarkannya. Violet akhirnya membawa kantong plastik yang berisi buku-buku itu ke kamarnya.
Sampai di kamar, ia mengeluarkan buku-buku tersebut dan melihat buku apa saja yang dibelikan oleh Adrian. Ia terkejut, ternyata buku yang dibelikan Adrian adalah buku cetak yang mereka pergunakan di sekolah dan terbilang lengkap semua mata pelajaran, ditambah dengan buku-buku kumpulan soal-soal untuk menghadapi ujian.
Violet tersentuh, ternyata orang yang dulu sangat membenci pernikahan orangtua mereka dan berpandangan buruk dengannya ternyata dapat memberikan perhatian kepadanya. Tetapi dihati Violet, tidak serta merta luluh sepenuhnya karena kembali teringat dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Adrian dulu.
Setelah menyusun buku-buku tersebut, Violet kembali ke dapur untuk membantu ibunya kembali. Setelah selesai, ia segera mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Saat Violet sampai di meja makan, biasanya orangtuanya sudah lebih dulu sarapan dan akan duduk di luar. Tetapi pagi ini, mereka semua komplit bahkan dengan Adrian sekalian duduk di meja makan menikmati sarapan. Violet menarik kursi di seberang Adrian dan duduk untuk menikmati sarapannya.
“Vio, berangkat bareng Adri saja, sekalian dia akan kembali ke kota untuk mengurus perusahaan.” Pak Hendra berujar kepada Violet yang hampir menyelesaikan sarapannya.
Daripada berdebat di pagi hari, Violet hanya mengangguk mengiyakan permintaan ayahnya itu. “Baik, Yah.”
Setelah selesai sarapan, Violet segera mengambil tasnya dan bersaliman dengan orangtuanya untuk pamit. Adrian sudah lebih dulu dan menunggu di dalam mobil sekalian memanaskan mobilnya.
Setelah perjalanan yang tidak terlalu lama karena jarak sekolah Violet yang terbilang dekat, Violet akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya saat mobil sudah hampir berhenti di dekat gerbang sekolah.
“Lain kali tidak perlu membelikan apapun untukku. Aku tidak mau punya hutang budi yang lebih besar lagi dan aku tidak mau mengambil keuntungan apapun dari kekayaanmu. Permisi.”
Mendengar apa yang baru saja ia dengar, membuat Adrian kembali teringat tentang perkataannya dulu sebelum pernikahan orangtua mereka. tetapi dia lebih terkejut mendengar perkataan Violet dan berpikir apa maksud dari hutang budi yang selalu dibicarakan oleh Violet kepadanya. Seorang anak tidak mungkin memiliki hutang budi kepada orangtuanya, karena sudah kewajiban orangtua dalam memenuhi kebutuhan anaknya termasuk biaya sekolah.
Adrian yang penasaran harus menekan keingintahuannya itu, karena urusan perusahaan yang sudah menunggunya harus ia atasi dahulu. Rasa penasaran tentang pernyataan Violet harus ia kesampingkan dahulu, sampai ia kembali ke desa lagi dan akan mengorek kehidupan Violet dari ayahnya.
∞
Dua minggu berlalu sejak kejadian Adrian yang membelikan buku pelajaran buat Violet, selama itu Adrian disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk di kantor bahkan sampai ke luar kota. Setelah minggu yang panjang akhirnya Adrian mempunyai kesempatan pulang ke desa lagi.
Walaupun pada awalnya Adrian sangat enggan untuk menginap di desa, tetapi sekarang ia menikmatinya waktu yang ia habiskan di desa. Hal itu menjadi refreshing baginya setelah penat sepanjang minggu dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, dan mengakui bahwa keputusan ayahnya untuk setuju menetap di desa sangat tepat.
Adrian kali ini memiliki misi yang akan mengorek tentang Violet dari ayahnya, ia sangat penasaran. Mengapa Violet sampai terucap kata-kata seperti itu. Sepanjang jalan Adrian terus memikirkan apa pertanyaan yang harus diajukan kepada ayahnya agar beliau tidak curiga bahwa dia sedang penasaran dan mengorek tentang kehidupan Violet