Seminggu kemudian, Pak Hendra di temani putranya ke rumah untuk silahturahmi. Pak Hendra orang yang sangat lembut dan penyayang, aku seperti menemukan ayah yang selama ini tidak pernah aku temui. Tetapi saat aku bertemu pandang dengan anaknya yang aku panggil Kak Adrian, aku merasa dia tidak menyukai kami, khususnya diriku.
Hal itu terbukti pada saat dia minta diri hendak ke toilet, dan aku mengantarnya untuk menunjukkan jalan. Aku menunjukkan toiletnya dan saat aku akan berbalik dan akan berjalan kembali ke raung tamu, dia memanggil dengan nada tajam.
“Hei.... dengar! Boleh saja ibumu menikah dengan ayahku, dan kamu dan ibumu akan tinggal di rumah kami. Tetapi jangan harap kalian akan memanfaatkan kekayaaan kami. Ingat itu!” dia berbalik dan masuk ke toilet.
Aku terkejut, mengapa dia berpikiran seperti itu. Padahal aku tidak tahu seberapa besar kekayaan Pak Hendra. Dan jikalaupun Pak Hendra kaya, aku bahkan tidak terlintas sedikitpun mengenai masalah tersebut, yang aku pikirkan adalah kebahagian ibu yang telah menemukan jodohnya dan bahkan dengan cinta pertamanya dulu. Aku menata raut wajah dan berusaha tersenyum saat aku kembali ke ruang tamu untuk menemui ibu dan Pak Hendra.
Melihat wajahku tidak seperti tadi membuat Pak Hendra bertanya. “Vio kenapa? Kok wajahku begitu?” Aku sedikit tersentak mendengarnya, padahal aku berusaha menutupinya dengan semaksimal mungkin.
“Apakah Adrian mengatakan sesuatu yang membuat wajahmu seperti itu?” beliau menyelidikku.
“Vio baru ingat, ada ujian mendekati acara nikah nanti Pak.” Aku mengelak dan membuat alasan yang terlintas dibenakku serta masuk akal, dan berusaha untuk tersenyum dari hati untuk menunjukkan bahwa tidak ada apa-apa antara aku dan anaknya Adrian. Aku tidak ingin kebahagiaan ibuku terengut kembali.
Adrian sesaat kemudian masuk kembali ke ruang tamu setelah aku selesai menjawab, aku tidak tahu apakah dia mendengar apa yang Pak Hendra katakan atau tidak. Tetapi raut wajahnya memandangku yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mengerti mengapa aku tidak memberitahu Pak Hendra dan ibuku apa yang baru saja terjadi di belakang. Mungkin juga dibenaknya tersimpan pemikiran yang tidak-tidak lagi kepadaku.
___*___
Walaupun dengan pertentangan yang tidak kentara oleh Adrian, yang hanya ditunjukkan kepadaku akhirnya pernikahan itu tetap berjalan. Setelah melewati serangkaian persiapan yang walaupun bukan untuk acara yang besar, tetapi tetap memakan tenaga, waktu dan pikiran. Aku berharap semuanya berjalan dengan lancar, dan ibu akan menemukan kebahagiannya.
Pernikahan ibuku berlangsung dengan sederhana, setelah akad nikah hanya mengundang jiran tetangga kiri, kanan dan depan rumah serta pak RT dan Pak Lurah. Sedangkan acara resepsi hanya syukuran kecil mengundang orang satu RT saja, sebagai bentuk pengumuman resmi bahwa ibu sudah menikah.
Sesuai kesepakatan kami tetap menempati rumah yang aku tempati dan ibuku. Rumah kami terbilang kecil tetapi sangat nyaman dan asri dengan udara yang masih alami, maklum desa dekat pegunungan. Rumah kami hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tamu, kamar utama, ruang makan, dan dapur, sedangkan kamarku di atas sendiri seperti paviliun tetapi letaknya di atas. Kamar mandi hanya ada di kamar utama dan satu lagi di dapur.
Saat kami hanya berdua, aku sering tidur dengan ibu dan menghabiskan banyak waktu di rungan keluarga. Tetapi setelah ibu menikah, sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamarku di atas karena tidak mau mengganggu waktu bersama ayah dan ibu. Apalagi kalau Adrian menginap, karena sebagian besar waktu di habiskan Adrian di kota mengurusi perusahaan yang di pimpinnya.
Saat Adrian berkunjung dia menempati kamar tamu, kami sering bertemu di pagi hari, dia baru akan ke kamar mandi saat aku lagi di dapur membantu ibu menyiapkan makanan atau sama-sama mau ke kamar mandi.
Aku setiap hari ke sekolah dengan berjalan kaki, lebih sehat dan kebanyakan teman-teman juga seperti itu kebetulan sekolah jaraknya hanya satu kilometer dari rumah. Ada seorang teman kecil dari sekolah dasar dulu namanya Nanang, saat ke sekolah kita selalu bareng. Bahkan teman-teman banyak yang menyangka bahwa kami pacaran, tetapi itu tidak terbersit sedikitpun di hatiku.
Tetapi Nanang memang lebih perhatian, terkadang buku yang tidak sanggup aku beli dia pinjamkan untuk aku copy atau untuk aku resume sehingga tidak ketinggalan pelajaran. Untuk membeli buku agar lengkap terkadang lebih mahal sehingga aku kebanyakan mengcopy saja, dengan harga yang jauh lebih murah.
Pada saat aku habis mandi dan masuk ke kamarku, aku terkejut mendapati Kak Adrian berada di kamarku dan sedang melihat-lihat isi lemari belajarku yang dipenuhi dengan buku tulis dan copy-an buku cetak. Karena mendengarku masuk dia berpaling dan mengangkat buku copy-an tersebut.
“Mengapa semua bukumu copy-an dan bukan buku asli?” dia bertanya dengan nada marah.
“Kenapa? Isinya juga sama. Yang penting bisa di baca dan dapat saya pahami.” Aku menjawab dengan cuek dan merebut buku itu dari tangannya. “Dan tidak sopan masuk ke kamar orang lain tanpa seijin yang punya!”
Aku berjalan kembali ke pintu dan membuka daun pintu memberi isyarat dengan kepala untuk dia keluar.
“Kau masih bertanya kenapa?” Kak Adrian berjalan menghampiriku “Mengapa tidak beli saja? Apakah ayah tidak memberikan uang yang cukup atau kamu menyelewengkan uang tersebut?”
Aku tertawa, miris mendengar tuduhannya. “Kamu pikir, dengan perkataanmu dulu aku bisa menerima uang yang akan diberikan oleh ayahmu?” aku menggeleng tidak percaya. “Dengar. Sudah cukup aku berhutang budi terlalu banyak dengan ibuku, tidak perlu aku tambah dengan hutang budi juga dengan ayahmu. Sekarang keluar dari kamarku.” Aku menguatkan nada terakhir kalimatku dan memandangnya dengan marah.
Uang saku yang ayah berikan sebagian besar aku tabung, aku menggunakannya hanya untuk hal yang sangat penting saja. Mengingat uang saku yang diberikan setiap bulannya cukup besar, disamping itu dengan perkataan Adrian yang masih membekas di benakku untuk tidak sembarangan menggunakan uang tersebut.
Karena dia tidak bergerak aku menyeretnya dengan menarik tangannya, aku melihat tanda kebingungan dari mukanya tetapi aku tak menghiraukannya. Saat dia akan membuka mulut untuk bertanya apa yang aku maksud, aku menutup pintu di depan wajahnya.
Setelah mendengar dia turun, aku melepaskan nafas lega. Dan bertanya dalam hati mengapa dia ke atas ke kamarku? Apa dia menyelidikiku atau ada sesuatu yang lain? Aku menghela nafas, dan membatin itu terserah dia. Melihat jam sudah pukul 7 malam, aku bergegas untuk turun makan malam kalau tidak ibu akan khawatir. Mengapa anak cantiknya ini tidak makan malam.
Saat turun makan malam, aku melihat Kak Adrian mengikuti pergerakanku dengan matanya. Aku berusaha terlihat normal, walaupun hal itu tidak pernah terasa normal lagi jika dia datang dan bermalam di rumah ini.
“Vio, besok biar kakakmu yang antar ke sekolah ya?” ayah bertanya dengan lembut.
“Tidak perlu, Yah. Vio sudah terbiasa berjalan kaki lebih sehat dan juga kebanyakan teman-teman juga jalan kaki semua, hanya beberapa saja yang naik kendaraan.” Aku tersenyum dan melanjutkan makan yang ada dihadapanku.
“Besok aku antar, sekalian tahu dimana sekolahmu.” Kak Adrian memberikan pernyataan.
“Tidak perlu. Aku tidak enak sama teman-teman.” Aku bersikeras untuk tidak diantar.
“Vio, memang seperti itu. Sama ibu saja tidak mau diantar, walaupun satu arah tujuan dia selalu berjalan kaki lebih duluan sebelum ibu berangkat sekolah juga.” Ibu memberikan alasan buatku.
“Mengapa seperti itu?” ayah bertanya dengan nada heran, dan menggerakan alisnya menggodaku.
Aku tersenyum sebelum menjawab “Bukan seperti yang ayah pikir. Vio malu, sudah besar masih di antar seperti anak TK. Nanti jadi bahan ejekan teman-teman lagi. Cari aman Yah.” Aku menjelaskan dengan malu.
“Kalau begitu, tidak apa-apa kalau di antar Kak Adrian? Kan tidak akan terasa seperti anak TK.” Ayah melanjutkan dengan nada menggodanya lagi.
Aku tersedak minuman yang aku minum, membuat semua mata tertuju kepadaku. “Tidak perlu, nanti malah tambah pertanyaan lagi.” Aku mengutarakan keberatanku yang lain.
“Pertanyaan seperti apa misalnya?” ayah bertanya usil membuat mukaku merona. Bukan berarti aku suka dengan Kak Adrian, walaupun aku akui bahwa dia sangat tampan. Kalau boleh dibilang seperti, bintang film yang ada di TV wajah tampan, perut sickpack bukan berarti aku sudah melihatnya tetapi dilihat dari fisiknya yang gagah. Aku lebih tidak mungkin untuk suka dengan Kak Adrian karena pernyataannya dulu sebelum ayah dan ibu menikah. “Atau ada orang spesial yang setiap hari berjalan bersama!” ayah semakin membuat aku merona lebih malu lagi.
“Tidak ada Yah. Vio belum punya pacar. Nanti setelah Vio siap untuk menikah baru cari calonnya. Tetapi tidak dengan cara pacaran tetapi cukup dengan ta’aruf, jika cocok nanti langsung menikah saja.” Aku memberikan penjelasan sekenanya. Tanpa memandang mereka, dengan melanjutkan menikmati makan malam.
“Kalau ada yang siap melamarmu, dan bisa menjadi imam yang baik buatmu sekarang bagaimana?”
Lontaran pertanyaan ayah membuat aku mendongak memandangnya, dan kehabisan kata-kata. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya, apakah beliau serius atau hanya bercanda sehingga yang dapat aku jawab hanya pernyataan bahwa aku masih ingin sekolah dulu.
“Vio, masih mau sekolah dulu Yah. Boleh kan!” aku menjawab hanya fokus kepada wajah ayah tanpa memandang Kak Adrian sedikitpun yang sedikit terpana dengan pertanyaan ayah.