Aku tak menyangka ajakan Kayana benar-benar serius. Tadinya aku berpikir dia hanya bercanda denganku, tapi di luar dugaan, pukul tujuh malam Kayana tiba-tiba saja meneleponku dan memintaku untuk datang ke Han. Dan disinilah sekarang aku berada, pinggiran sungai Han. Aku menoleh, mengamati wajah Kay dari jarak sedekat ini. Sekarang aku akan mencoba mendeskripsikan visual gadis itu.
Cantik, mata agak sedikit sipit, kulit putih tapi tetap saja tidak seputih gadis Korea kebanyakan, bibir tipis, hidung kecil yang mancung, jika tersenyum maka akan muncul dimple di kedua pipinya. Rambutnya yang panjang berterbangan diterpa angin malam, tanganku sudah gatal ingin menyelipkan helai rambut itu ke belakang telinganya. "Kay, em,.. maaf" dengan hati-hati aku benar-benar melakukannya, Kayana menoleh, tapi tidak menghindar.
"Terima kasih, Oppa."
Ya ampun, bagaimana bisa dia sesempurna itu? Bukan cuma visual yang cantik melainkan suaranya juga terdengar sangat lembut. "Kayana, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu."
"Tanyakan saja."
"Apa,.. kau itu seorang penyanyi?"
Kayana tertawa tepat setelah aku menyelesaikan pertanyaan itu. Dia menghadap kearah ku, "Oppa, apa kau tengah bercanda?? Aku bahkan tidak bisa menyanyi, tapi aku suka mendengarkan musik"
Jawaban Kayana bagaikan angin berlalu, aku tak terlalu memperhatikan lantaran mataku sedari tadi tak bisa lepas dari ukiran tuhan yang paling sempurna, mendadak saja Kayana bersenandung ringan, demi tuhan! Apakah Kayana itu manusia? Kenapa dia begitu sempurna sampai-sampai aku tidak menemukan kekurangan nya barang sebiji semangka saja?
"Oppa tau lagu itu?"
Lamunanku ter buyarkan saat Kay menatapku, netra kita bertabrakan. Belum sempat aku menjawab gadis penjelmaan bidadari kembali berbicara dengan suara pelan.
"Semenjak aku tinggal di Korea, lagu itu selalu ku putar. Entahlah, aku merasa kisah hidupku hampir sama dengan lirik yang dimaksud di lagu itu" ucap Kay menjelaskan, menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, memejamkan mata lantas tersenyum. Duh, Kay, jangan tersenyum. Senyummu bikin debaran jantungku menggila! Udara Han yang dingin seolah langsung lenyap digantikan oleh hangatnya senyum Kayana.
"Long Slow Distance, 'kan?" tebakku, aku tau lagu berbahasa Jepang itu. Lagu yang sesekali kuputar saat merasa dunia sedang tidak berpihak kepadaku, suara penyanyinya pun sangat mendukung. Jika kalian tengah merasa terpuruk kalian bisa mendengarkan lagu ballad tersebut, dijamin pasti kalian akan langsung menangis. Kayana terkekeh, lantas mengangguk.
"Kay, ingin bertanya sesuatu, bolehkah?"
Sepertinya, semenjak bersama Kayana aku jadi semakin kepo dan bawel. Kalau bersama dengan Herrin, aku tidak se kepo ini, ah, kenapa aku jadi teringat Herrin ya?
"Tanyakan saja, Oppa. Aku pasti akan menjawabnya" ujar Kayana santai, aku heran, apa hidup dia terus santai seperti ini? Jujur, kalau kalian melihat wajah Kayana kalian pasti akan berpikir kalau gadis yang ada di sampingku ini tidak pernah punya masalah.
Entahlah, mungkin pembawaan dia yang santai dan begitu menikmati, sesekali aku ingin Kayana bertemu dengan Myung Dae, adik tingkatku. Setelah Herrin, sekarang aku malah memikirkan Myung Dae, lantaran cowok itu juga punya sifat yang hampir sama dengan Kayana. Ah, tapi sayang, dia sudah tidak tinggal di Korea lagi lantaran pindah ke Kanada. Dulu, aku dan dia berteman dekat lantaran rumah kami satu arah dan sering pulang bersama. Selain itu, ada satu hal yang membuat kita semakin dekat, aku tidak bisa mengatakan satu hal tersebut, tapi aku yakin suatu saat kalian pasti akan tau.
Tadi sampai mana?
Aku terlalu banyak mengoceh sampai lupa percakapan yang sempat terputus dengan Kayana.
Terdiam beberapa saat, aku kembali memikirkan apakah pantas atau tidak orang asing sepertiku bertanya sebuah hal yang menyenggol privasi, tapi kalian tau sendiri kan aku kalau sudah kepo tidak akan pernah bisa menahan untuk tidak bertanya? Ya, kalian pasti tau itu.
"Dimana kedua orang tuamu?" tanyaku pada akhirnya, "Em, sori. Bukan maksud apa-apa, hanya saja aku heran. Gadis sepintar kau tidak kuliah dan memilih untuk bekerja. Bukankah bekerja seharusnya menjadi tugas orang tua?"" aku mengangkat bahu "Sedikit aneh bukan?"
"Orang tuaku tidak tinggal di Korea, Oppa. Mereka tinggal di negara lain, Indonesia"
Indonesia?
Apa dia tadi benar-benar mengatakan Indonesia?
Jantungku berpacu dengan cepat, seluruh tubuhku rasanya panas sekarang. Aku menoleh, menatap Kayana, menilik dari manik matanya apakah dia berbohong atau tidak. Terlihat jelas pupil mata gadis itu yang tidak membesar. Jadi, dia berkata jujur. Apa jangan-jangan dia.. Aku segera menggeleng-gelengkan kepala, tidak mungkin itu adalah Kayana.
"Aku juga tidak tau kenapa dulu aku tidak kuliah saja dan malah memilih untuk bekerja. Mungkin, karena aku tidak punya cita-cita dan berpikir untuk apa melanjutkan kuliah, bukankah itu hanya akan membuang waktu dan uang saja?"
"Aku justru berpikir sebaliknya"
"Yah, apapun itu. Aku selalu mensyukuri berkat yang tuhan kasih, Oppa. Hidup tenang dan bahagia adalah impianku, aku bukan seorang pemimpi yang punya cita-cita tinggi"
"Harusnya kau memanfaatkan otak cerdas itu untuk menggapai cita-cita, tapi kau malah tidak punya cita-cita"
Kayana menggeleng dengan santai, "Kadang aku juga heran kenapa aku tidak punya cita-cita. Melihat teman-temanku yang semangat mengejar cita-cita, kadang membuatku iri."
Aku menggigit bibir bawah, mengeratkan jaket tebal lantaran udara semakin dingin, "Aku baru tau kalau ada orang yang tidak punya cita-cita"
"Tidak punya cita-cita bukan berarti tidak punya tujuan hidup"
"Tujuan hidup ya.." aku menggumam, membenarkan perkataan Kayana.
Tak ada pembicaraan lagi, kita berdua terdiam, menyelam ke dasar pikiran masing-masing. Mendadak aku teringat sesuatu, kejadian ini. Aku tidak pernah berpikiran kalau akan berkencan malam-malam di sungai Han bersama Kayana si gadis cantik bak bidadari. Aku kira hubungan kita hanya sebatas, ya.. kalian tau lah. Dia pembuat skripsi dan aku pelanggan nya. Tapi di luar dugaan, hubungan kita semakin dekat sekarang.
"Haaah, udara disini sangat dingin." Kayana menggosok-gosokan telapak tangannya seraya di tiupi.
"Kay" panggil ku, Kayana menoleh "Ya?"
"Bagaimana dengan skripsiku?"
Tawa Kayana meledak, dia sampai terpingkal-pingkal, aku tidak tau apanya yang lucu dari pertanyaanku tadi. Bahkan kalaupun ada aku sama sekali tak berniat melawak, Kayana menepuk pundakku berkali-kali, untung cantik. Coba kalau tidak, sudah pasti kulempar dia di sungai Han lantaran tepukan nya keras sekali membuat pundakku sakit.
Kay meredakan tawanya, dia mengusap bulir bening yang menggantung di sudut mata "Oh, ayolah, Oppa. Kita sedang berkencan sekarang, kenapa Oppa terus memikirkan skripsi itu? Tenang saja, besok pagi sudah bisa Oppa ambil di rumahku, okay?"
"Mungkin bagimu seperti lelucon, tapi bagiku skripsi itu segalanya. Kalau tidak ada itu, aku tidak akan bisa lulus"
Kayana mengangguk, tanpa permisi gadis itu menarik tanganku untuk dia genggam. Rasanya langsung menghangat seketika, gadis itu tersenyum kearahku. “Oppa, aku lapar. Bisakah kita makan? Bukankah di sekitar sini ada kedai cemilan malam?”
“Benar, ayo kita kesana.”
Berjalan berdua menuju kedai cemilan malam yang tak jauh tempatnya dari posisi kita berdua. Kayana masih menautkan jemarinya pada jemariku yang sialnya tak bisa kutolak lagi dan lagi. Kalian tidak perlu menanyakan bagaimana kondisi jantungku saat ini karena rasanya tak bisa dijelaskan. Kedai cemilan malam tak terlalu ramai, aku meminta Kayana untuk duduk dan aku yang akan membelikan beberapa makanan untuknya.
Lamyeon pedas sepertinya cocok dimakan malam-malam seperti ini, apalagi udara malam hari yang begitu dingin membuatku ingin makan makanan yang hangat. “Kay” aku menoleh saat tiba-tiba saja Kayana menghampiri ku.
“Biar aku bantu, Oppa.” tangan Kayana dengan gesit bergerak mengambil alih Lamyeon instan yang belum ter seduh.
“Oppa, aku ingin bertanya sesuatu padamu.” sekarang gantian dia yang bertanya, dan aku yang menjawab. Baiklah..
“Tentang apa?”
Gerakan Kayana terhenti, gadis itu menoleh seraya tersenyum manis, “Apa Oppa pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya?” tanya dia tiba-tiba.
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mencari jawaban yang cocok untuk ku lontarkan. Kayana masih menungguku membuka mulut, “Em, sebenarnya,.. yah,.. belum.”
Lagi-lagi Kayana tersenyum, sumpah demi apapun aku takut kena diabetes karena keseringan melihat senyum manis Kayana yang mengandung gula 100% itu. “Aku akan membantu Oppa merasakan apa itu jatuh cinta, karena sekarang aku sedang merasakannya dan aku ingin Oppa juga tau rasanya seperti apa.”
Deg.
Deg.
Deg.
“Ma-maksud kamu?”
Dia tak menjawab, melangkah pergi sembari membawa Lamyeon yang sudah dimasak, aku masih terdiam di tempat mesin penyeduh. Memikirkan kembali apa maksud dari perkataan Kayana tadi, tapi semakin lama kepalaku jadi semakin pusing. Jangan menertawakanku karena tidak paham apa maksud perkataan Kayana tadi karena aku memang belum pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Bahkan ketika banyak orang yang mencintai sahabatnya sendiri pun, hal itu tidak terjadi padaku.
Setelah Lamyeon ku siap aku berjalan menyusul Kayana yang tengah meniup-niup ramyeon nya, lantas melahap makanan instan itu dengan nikmat. Aku duduk di depan gadis itu, “Enak?” tanyaku. Kayana mengangguk, “Kau seharusnya makan lebih banyak, tubuhmu terlihat begitu kurus" lanjutku, membuat dia mendengus.
“Jangan body shaming, Oppa.”
“Ah ya, ya, aku hanya bercanda tadi”
"Tidak lucu"
"Maaf"
Kita berdua makan dengan lahap, tak ada pembicaraan apapun selagi kita makan. “Min Jun-a” aku menoleh, mendapati Herrin dengan hoodie kebesarannya menatapku dan Kayana dengan tatapan datar. Dan entah kenapa perasaanku jadi tidak enak sekarang. “He-herrin.” ah sial, kenapa aku mirip seorang pacar yang tengah kepergok selingkuh.
“Apa yang kau lakukan disini?" tanya dia.
“Aku, aku,.. aku hanya..”
“Aku minta dia menemani makan cemilan malam” bukan aku yang menjawab melainkan Kayana, gadis itu tersenyum ramah, lantas mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Herrin. “Annyeong, aku Kayana.”
Herrin hanya menatap Kayana dengan tatapan itu, dia tak membalas uluran tangan Kayana dan berlalu begitu saja. Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia terlihat marah sekali padaku? Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa kan?
“Apa dia pacarmu, Oppa?”
Lamunanku ter buyar saat mendengar suara Kayana yang bertanya. Tunggu, kenapa suara Kayana mendadak jadi berubah? Apa dia.. cemburu? “Eh, bukan. Dia,.. dia hanya temanku.”
Aku bisa merasakan lirikan tajam dari pintu kedai, tanpa menoleh pun aku sudah tau siapa pelakunya. Dia pastilah Herrin, tanpa menyapaku lagi gadis itu langsung melenggang pergi. Kayana mengikuti dengan ekor matanya kemana Herrin pergi. “Sepertinya dia marah.” gumam Kayana. Meletakan sumpitnya di meja, "Pulang yuk?" ajak dia, aku mengangguk saja.
Aduh, lagi-lagi dia menautkan jemarinya dengan jemariku. Gila! kalian tau mesin bor untuk aspal jalanan? Nah, kurang lebih seperti itu ritme jantungku saat ini! Sudah ku gambarkan, jadi boleh kalian bayangkan se kacau apa hati, jantung sekaligus organ dalam ku yang lainnya.
Oh iya, Kayana pergi ke Han dengan mengendarai sepeda mini, sementara aku naik bus.
"Oppa, kita pulang bareng ya?"
"Naik ini?" tanyaku sembari menunjuk sepeda yang ada di samping Kay. Dia mengangguk, "Iya, Oppa mau kan?"
"Tidak ada alasan untukku menolak nya, Kayana"
Dan sekarang aku akan membonceng Kayana, gadis itu menempelkan kepalanya pada punggungku, tangan nya melingkari perutku yang tidak six pack sama sekali, perjalanan lenggang tanpa suara sampai gadis yang ada di boncengan ku memecah keheningan. "Oppa, apa Oppa pernah di bully?"
Kenapa? Kenapa dia mendadak bertanya seperti itu? Apa dia korban bullying? Dengan sedikit ragu aku menggeleng. "Bully? Tidak. Meskipun aku tidak punya banyak teman, tapi untung saja aku juga tidak pernah dibully"
Aku tidak tau ekspresi apa yang ditunjukan oleh Kayana saat ini, yang pasti aku merasa dia tengah menangis, suara isakan kecil nan lirih berhasil masuk ke dalam indera pendengaranku. Aku tak menyela, membiarkan dia menumpahkan sesaknya. Aku bukan orang yang pandai memberi nasehat, tapi aku akan berusaha untuk selalu ada jika seseorang yang aku sayang membutuhkanku. Sekarang pertanyaannya, siapa orang yang aku sayang tersebut?
"Bersyukurlah sekarang juga, Oppa. Karena Oppa nggak pernah merasakan betapa sakitnya di bully, disiram air dingin, di ludahi, uang saku di rampas,.hiks"
"Kay" panggil ku dengan suara tersendat, saat kayuhan sepeda hendak aku hentikan mendadak Kayana menggeleng keras, jemarinya semakin kuat mencengkram bajuku. "Jangan berhenti, aku nggak mau di lihat orang lain saat tengah menangis seperti ini, Oppa" ujar dia, aku mengamati sekitar, untung saja jalanan sedang sepi dan hanya ada aku yang tengah mengayuh sepeda juga cewek yang tengah menangis di boncengan ku. Akhirnya, aku melanjutkan kayuhan.
"Apa alasan mereka membullymu?"
"Karena aku jelek"
Apa aku tidak salah dengar?!
Tadi Kayana bilang apa?! Dia di bully karena jelek?! Demi zigot yang perlahan mulai tumbuh!! Aku rasa tidak ada gadis yang bisa mengalahkan kecantikan Kayana, menurutku dia sudah terlihat begitu sempurna. Aku berdehem, agak sedikit kesal.
"Kay, kalo aku boleh jujur, sesekali kau harus melihat kaca. Dan kau akan tau kecantikan yang sesungguhnya, jangan dengarkan apa kata mereka karena,.. karena bagiku tidak ada gadis yang lebih cantik dari seorang Kayana"
Krik.Krik.
"Kay" panggilku saat tidak ada jawaban dari Kayana, aku mencoba menoleh tapi kesulitan lantaran gadis itu masih menyandarkan kepalanya pada punggungku. "Kayana, apa kau tidur?" masih tidak ada jawaban sama sekali. Menekan rem sepeda, lantas benar-benar menoleh untuk memastikan keadaan Kayana, dan benar saja dia tengah tertidur pulas. Dasar!
Melanjutkan mengayuh, memasuki gang rumahnya. Menatap sekitar yang sudah sepi, memang sih kawasan ini tidak pernah seramai kawasan rumahku, dengan hati-hati aku turun lantas menyandarkan sepeda mini di pagar, dengan hati-hati aku menggendong Kayana masuk ke dalam rumah. Membawanya ke kamar dan menyelimutinya agar tidak kedinginan, sejenak, aku kembali menikmati wajah cantik itu.
"Bagaimana bisa wajah secantik ini dikatai jelek?" tanganku bergerak untuk menghapus bekas cairan bening yang masih tersisa di sekitar matanya. Kayana menggeliat saat tanganku turun untuk menyapu pipinya yang sehalus sutera, tersenyum tipis, "Sleep well, Kay. Jangan lupa skripsi ku besok" bisik ku di telinga Kayana, aku menggigit bibir, lantas dengan ragu mengecup keningnya.
Argh! Apa yang baru saja aku lakukan! Sial.
Langkah kakiku keluar dari kamar, niatnya sih hendak pulang, tapi.. cklek! cklek! cklek!
Pintunya mendadak macet dan tidak bisa di buka, aku menggerutu dalam hati. Masih dengan berusaha sekuat tenaga untuk membukanya, tapi percuma karena pintu itu tidak mau bergerak sama sekali, sekarang bagaimana nasibku? Ponselku bergetar, nama Amma terpampang disana. Aku segera mengangkat nya. "Ya, Ma?"
"Dimana kau? Kenapa jam segini belum juga pulang? Apa yang kau lakukan?"
Sial! Sekarang aku harus menjawab apa?? "Em, mianhae, Amma. Sepertinya aku tidak pulang malam ini, aku harus menyelesaikan skripsiku."
"Kau tidak sedang berbohong, 'kan?"
"Tentu saja tidak"
“Jun, tadi Amma bertemu dengan Herrinie"
Sial, apa jangan-jangan Herrin mengadu kepada Mama kalau aku tadi kencan dengan seorang gadis dan bukan malah mengerjakan skripsi. Mama melanjutkan ucapannya, “Amma nggak tau apa yang sedang terjadi, dia pamit untuk cari udara malam di dekat sungai Han, dan pulang-pulang dalam keadaan menangis.”
Menangis???
“Kenapa Amma tidak bertanya langsung kepada Herrin tentang apa yang terjadi?” aku duduk di sofa ruang tamu Kayana, mengapit ponsel, lantas berusaha melepaskan coat yang sedari tadi aku gunakan untuk menghangatkan tubuhku. “Dia tidak mau menjawab, Amma mohon besok temui Herrin ya.”
“Baiklah, Ma”
"Yasudah kalau begitu. Kau sudah makan malah??"
"Aaa, emm, sudah, Ma"
"Jangan begadang. Amma tutup telponnya"
"Bye, Ma"
Setelah sambungan telepon tertutup aku jadi kepikiran soal Herrin, apa jangan-jangan karena mendapatiku tengah keluar bersama gadis lain dia menangis? Ah, tapi tidak mungkin juga. Kemungkinan dia bertemu dengan seseorang di jalanan, lantas orang itulah yang membuat Herrin menangis, jadi aku tidak perlu merasa bersalah sekarang.
Sial, aku kepikiran Herrin. Apa aku telepon saja ya? Benar!
Panggilan pertama.. tidak dijawab
Panggilan kedua.. masih tidak dijawab
Panggilan ketiga.. tetap tidak dijawab
Aku mulai frustasi sekaligus khawatir, apa yang sedang terjadi dengan gadis itu sebenarnya?
Oke, aku akan mencobanya, ini yang terakhir, dan kalau panggilan ini tetap tidak mendapatkan jawaban maka besok saja aku akan menemui Herrin. Panggilan keempat... terdengar nada sambung pertama, kedua, dan ketiga.. ditolak!
Oh my god!
Apa menurut kalian Herrin tengah marah kepadaku karena kejadian di kedai cemilan malam tadi?
Baiklah, besok saja akan aku interogasi gadis itu, sekarang tubuhku lelah dan aku ingin beristirahat sejenak. Kayana, aku nebeng untuk semalam!