Back to Reality-2

2752 Words
Tersentak keluar dari cermin, Kayana mundur beberapa langkah. Kali ini dia tidak tumbang, tapi belum bisa menyeimbangkan dirinya saja. Mengatur nafas sejenak, netranya menatap cermin yang mulai kehilangan gelombangnya. Perlahan sinar yang memancar juga meredup, Kayana jatuh terduduk dilantai, apa yang barusan dia alami. Menjadi gadis malam, bertemu sosok yang begitu tulus seperti Daniel, dan merelakan sosok itu untuk gadis lain. Kayana memegang dadanya, didalam sana pasti sedang tidak baik-baik saja. “Maafin gue, Niel.” gumam Kayana, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Jemari Kayana tergerak untuk mengelus bingkainya. “Amerika ngajarin gue buat jadi lebih dewasa ya, tapi gue nggak mau kembali kesana lagi. Gue pengen ke Korea aja, ketemu sama orang yang gue sayang.” Sudah tidak perlu dikatakan siapa orang yang dimaksud, kalian pasti tau dia siapa. Gadis itu mendongak, pelupuknya terasa basah digenangi oleh air mata. Dia tidak ingin menangis, tapi ada daya setetes air bening lolos begitu saja. Ternyata sesakit ini meninggalkan orang yang sayang dengan kita begitu saja. Kayana merasa bersalah kepada Daniel. “Gue berharap yang terbaik buat lo, Daniel” Melangkah keluar gudang, Kayana menatap sekitar yang sepi. Dia melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 4 sore hari, dia sudah melewati kejadian yang panjang hari ini. Memegang tali tasnya, Kayana mengayunkan kakinya menjauh dari gudang. Sampai di warung belakang sekolah, Kayana mampir dulu. “Bu, es teh satu ya.” mengeluarkan ponsel, Kayana menscrol sosial medianya. Tak lama segelas es teh sampai didepannya. “Terima kasih, bu” "Sama-sama, Neng." Seperti anak remaja kebanyakan, Kayana ingin memotret minumannya yang dibuat se-aesthetic mungkin lalu di post di sosial medianya dengan caption ‘Merelakan itu cukup menyakitkan, tapi akan lebih menyakitkan saat dipaksa bertahan. #Hariyangcukuppanjang’ post. Tak lama, satu persatu like menghampiri postingan gadis itu. Bukan hanya like bahkan komentar pun turut serta, nama akun sosmed Chelsea tak pernah absen untuk menabur hujatan, dengan malas Kayana menonaktifkan komentarnya agar tidak ada yang bisa berkomentar lagi. “Habis ada kegiatan di sekolah ya, Neng?” tanya si ibu-ibu penjaga warung. Kayana yang tengah fokus pada ponselnya langsung mendongak. Dia tersenyum tipis. “Nggak kok, bu. Tapi emang ada beberapa hal yang harus saya lakukan tadi.” “Jarang loh ada siswi yang mau ke sekolah minggu-minggu gini, biasanya mereka kan ke kafe-kafe gitu.” “Saya mah jarang ke kafe, bu. Perut saya suka mules kalo minum minuman yang ada di kafe gitu.” Keduanya sama-sama tertawa ringan. Mereka terus ngobrol santai seputar siswa-siswi dari yang suka bolos sampai yang rajin. Selain itu, si ibu juga curhat sedikit tentang harga bahan pokok yang semakin naik, gas LPG 3kg yang semakin langka dan banyak lagi. "Dulu anak saya juga aktif banget kegiatan di sekolah, tapi.." "Tapi kenapa, Bu?" Si Ibu yang punya warung menggeleng seraya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Neng. Ibu cuma lagi kangen aja sama Ibu" Kayana tak tau harus bereaksi seperti apa, dia lantas bertanya. "Memangnya anak Ibu dimana?" "Di suatu tempat atau mungkin udah sisi tuhan, Neng." Segelas es teh tandas, Kayana berdiri dan menyerahkan selembar uang kepada si Ibu. Dia tidak menyambung obrolan yang sepertinya sensitif tersebut. “Kayana pulang dulu ya, bu.” “Iya, hati-hati, Neng.” Kembali menaiki motor matic nya Kayana melenggang menuju rumah. Jalanan sore hari agaknya tidak semacet biasanya lantaran hari minggu membuat perjalanan Kayana tidak terhambat. Dia sampai di depan rumah dengan selamat, memasukan matic nya ke dalam garasi. Kayana melepaskan helm, menentengnya masuk ke dalam rumah. Saat melewati ruang tengah, sebuah suara berceletuk membuat langkah kakinya terhenti. “Chelsea siapa, Kay?” “Bukan siapa-siapa” duh, sepertinya Kinara tau soal komentar kebencian yang tadi dilontarkan oleh Chelsea di akun medsosnya. Kayana tidak ingin di introgasi, dia melanjutkan langkahnya. “Gue harap lo nggak berubah jadi cupu kalo diluar, Kay.” Kayana tak mengindahkan ucapan saudaranya, dia menaiki anak tangga satu persatu menuju kamarnya. Hari yang begitu melelahkan, bukan hanya fisik melainkan hati juga. Rasa bersalah itu terus menggerayangi hati dan pikiran Kayana. Memutar knop, Kayana masuk ke dalam kamarnya dia langsung menutup pintu kembali serta menguncinya agar tidak ada pengganggu yang masuk dengan seenak jidatnya, Kinara maksudnya. Menatap kamarnya dengan hampa, Kayana luruh, terduduk dibawah. Dia merasa lemah dan pengecut sekarang. Pertama, Kayana meninggalkan orang yang dia sayang. Kedua, Kayana meninggalkan orang yang begitu sayang dengannya. Kenapa? Bukankah seharusnya perjalanan itu membuat Kayana bahagia? Kalau akan tau begini jadinya, lebih baik Kayana pergi ke Korea saja dan melanjutkan kisahnya bersama Min Jun. Mengingat nama Min Jun membuat debaran hati Kayana kembali kambuh, ternyata dia masih menginginkan cowok tersebut. “Kayana, kamu didalam?!” teriakan disusul ketukan pintu membuat Kayana spontan berdiri. Mengatur nafas sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Iya, Ma.” Kayana membuka pintu dan munculah wajah sang Mama. “Kamu belum mandi?” Kayana menggeleng, “Kayana baru sampe, Ma. Ada apa?” Mama menggeleng, “Cepat mandi, Mama mau minta tolong sama kamu buat anterin kudapan ke tetangga baru kita.” “Hah?” “Hah, hah, udah sana mandi.” Setelah kepergian Mama nya, Kayana kembali masuk ke dalam kamar. Menuruti keinginan sang Mama, Kayana segera membersihkan diri. Lupakan sejenak tentang kejadian hari ini, dia butuh menenangkan pikirannya. (^_^)(^_^) “Udah sana pencet!” Kayana mendorong bahu Kinara dengan tidak santai. “Apaan sih, gara-gara lo nih gue jadi ikut kesini!” bantah Kinara yang malah menyalahkan Kayana atas ikut sertanya dia mengantar mochi ke rumah tetangga baru. Tadi, saat Kayana menyelesaikan mandinya dia lantas turun dan menghampiri Mama nya yang tengah sibuk menyusun mochi ke dalam kotak. Bertepatan dengan itu Kinara pun gabung bersama kedua orang yang dia sayangi itu. “Kenapa nggak nyuruh Kinara aja sih, Ma? Kay kan baru pulang, capek.” “Enak aja! Gue udah seharian bantuin Mama ya, sekarang giliran lo.” “Ya ampun, perhitungan banget lo sama sodara sendiri. Lagipula, lo bantuin Mama juga baru sekali ini doang kan.” “Heh, sembarangan kalau ngomong!” “Kayana, Kinara, stop!” lerai sang Mama yang mendadak sakit kepala plus sakit telinga karena mendengar pertengkaran kedua putrinya. Wanita berusia 42 tahun itu menaruh satu kotak di depan Kayana dan satu kotak lagi didepan Kinara. “Sekarang kalian berdua antar mochi itu kerumah tetangga sebelah.” Saat Kinara hendak protes sang Mama sudah keburu mengangkat telapak tangannya, dilanjutkan dengan kibasan menyebalkan. “Udah sana pergi.” Meski sangat kesal Kinara tak lagi menolak, tangannya dengan kasar menyambar kotak mochi yang ada didepannya. Di belakang gadis itu di ikuti oleh Kayana. Itulah cerita singkat bagaimana bisa Kinara ikut dalam misi mengantarkan mochi kerumah tetangga baru. “Ya ampun, ini rumah ada orangnya apa enggak sih? Masa dari tadi nggak ada yang mau muncul.” gerutu Kinara, mendengus kasar. Kayana menggeleng melihat kelakuan saudaranya, dia maju selangkah, mengintip lewat celah gerbang. “Kay.” panggil Kinara, “Kayana, ish!” “Apaan sih, sabar dong. Gue lagi ngintip nih.” Kayana tak menoleh sama sekali, bahkan saat Kinara terus saja memukuli bahunya. Dia baru menoleh saat deheman dari seseorang memasuki indera pendengarannya. “Mau maling?” Kayana spontan menoleh, menatap dari bawah, sepatu nike membalut kaki itu. Naik sedikit mendapati celana belel sobek-sobek yang dia kenakan. Lantas semakin naik, Kayana bisa melihat kalau seseorang itu mengenakan hoodie berwarna merah marun bertuliskan. ‘No matter what you say, no matter what you do’ mendadak Kayana diserang rasa gugup. Netranya perlahan naik ke atas, dan dia bisa melihat bibir itu, hidung mancung itu, lantas sepasang mata tajam yang menusuk. “Eng.. gue-gue,.. gue bukan..” “Bukan maling!” sela Kinara cepat, dia juga gugup sebenarnya. Tapi dia bisa menguasai rasa gugupnya itu, beda cerita dengan Kayana. Kinara berdehem, tangannya terulur untuk berkenalan. “Gue Kinara, dan.. dia sodara gue, Kayana.” “Nggak ada yang tanya, btw.” jawab cowok itu seenaknya membuat Kinara harus menarik kembali tangannya dengan rasa malu. “Kalian ada perlu apa sama gue? Oh iya, fyi aja, ini rumah gue. Kalo kalian ada perlu cepetan ngomong dan kalau enggak mending cepet pergi. Mobil gue mau masuk soalnya.” Fagh! Ingin sekali Kinara mencabik-cabik wajah tampan itu, sementara Kayana yang dia sedari tadi menahan kesal langsung menarik tangan si cowok, meletakan kotak mochi miliknya berikut milik Kinara juga. “Kita cuma mau nganterin mochi ini, dari nyokap. Yuk, Nar.” Kayana menarik lengan Kinara dan segera pergi meninggalkan si cowok sendirian yang mematung kebingungan. “Dasar aneh!” gumam cowok yang visualnya mirip sekali dengan Mingyu, versi lokal. Sampai di rumahnya, Kinara menyentakkan tangannya membuat cekelan pada pergelangan tangan gadis itu terlepas. Dia melipat tangan didepan d**a, “Siapa sih dia? songong banget jadi orang! Nyesel gue ikut lo nganterin mochi!” “Heh, yang nyuruh kan Mama bukan gue!” Kayana tak ingin disalahkan lagi, lagipula bukan hanya Kinara yang kesal melainkan Kayana juga. “Tapi dia cakep juga.” lanjut Kinara yang membuat Kayana langsung mengusap wajah adik 5 menit nya yang langsung menggerutu tak jelas. Melihat wajah anaknya yang bete Mama Intan sudah bisa menduga, kalau mereka berdua habis berantem lagi. “Kay,” panggil wanita itu membuat langkah kaki Kayana terhenti, “Apa, Ma?” “Berantem lagi sama, Nara?” Kayana menggeleng, “Bukan sama Nara, tapi sama tetangga baru yang songong abis itu.” “Oh, jadi kamu udah ketemu sama Jovan??” “Jovan?” Bukan Kayana yang menjawab melainkan Kinara yang baru sampai di dapur. Mama Intan mengangguk. “Iya, dia Jovan. Tadi pagi Mama udah sempet ketemu pas belanja di depan kompleks.” “Maksudnya dia juga belanja gitu, Ma?” Nara duduk, tangannya meraih satu mochi, melahap nya. “Bukan, tadi dia nganterin pembantunya belanja. Terus Mama tanya-tanya sebentar.” “Sombongkan, Ma, orangnya.” lagi-lagi Nara, Kayana hanya menarik sudut bibirnya melihat keantusiasan Kinara. Kayana tebak, beberapa hari lagi, Nara pasti akan jatuh hati pada cowok menyebalkan tadi. Eh, tapi Nara kan sudah punya pacar, yep, Danu. “Nggak kok, dia ramah banget malah.” Kinara dan Kayana saling melempar tatapan, lantas memutar bola mata malas. (^_^)(^_^) “Tau gini mendingan gue bareng Papa tadi.” gerutu Kinara, “Lagian udah tau sekolah kita beda, sok-sokan mau nganterin gue.” “Lo bisa diem sebentar nggak sih? bukannya bantu cari solusi malah ngedumel nggak jelas.” “Ya elo, malesin banget! Udah pasti gue telat nanti.” Harus banyak kesabaran menghadapi Kinara, tapi kesabaran Kayana dalam menghadapi adiknya terbatas. Kalau meladeni Kinara maka perdebatan itu tidak akan ada selesainya. Kayana mengambil ponselnya, lantas membuka icon aplikasi ojek online, tak lama satu driver masuk. “Gue udah pesen ojol buat lo” “Hm.” Menunggu kira-kira lima belas menit, akhirnya si abang ojol datang. “Lo seriusan mau disini sendiri?” “Iya, udah sana. Mending gue disini sendirian daripada sama lo, Nar. Pergi-pergi..” “Ish! Gak usah dorong-dorong juga dong. Gue duluan..” “Hati-hati.” Kinara naik, si abang ojol menjalankan motornya. Sekarang urusan Kinara selesai, Kayana tinggal memikirkan bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah motornya yang tiba-tiba mogok. “Masa iya gue harus dorong sih?” yah, tidak ada pilihan lain lagi. Tidak tau sampai kapan Kayana harus mendorong motornya, dia sudah berjalan hampir 2 kilometer jauhnya. Jangan ditanya bagaimana lusuhnya penampilan gadis itu saat ini. Tiitt, tiitt!!! Kayana menjejak aspal dengan kesal, kaget lantaran suara klakson mobil yang tidak bisa santai. Padahal kan jalanan masih lebar, mobil bisa lewat tanpa harus menekan klakson. Hrv hitam berjalan pelan disampingnya, Kayana berhenti. Dia menoleh, tak lama kaca mobil di turunkan dan wajah cowok menyebalkan menyembul di dalamnya. “Kasihan banget pagi-pagi udah dorong motor, ckckck” “Apaan sih, sok kenal banget.” “Mana adik lo yang bawel itu?” “Gak usah kepo bisa kan, mending pergi sana!” “Dih galak banget.” bukan malah melaju mobil itu justru berhenti. Pengemudinya turun, sejenak Kayana terpesona dengan paras rupawan sosok Jovano Aldebaran. “Kenapa motor lo?” “Mogok.” “Kasihan.” Tahan Kayana, tahan, jangan emosi. Sebisa mungkin Kayana melebarkan senyumnya, bukan malah terlihat manis justru senyum itu terkesan creepy. Jovan membalasnya dengan senyum tulus, sialnya membuat jantung Kayana berdisko. “Kalo gitu gue jalan duluan deh, lo semangat aja dorongnya ya, bye-bye!” Umpatan sudah sampai di ujung lidah, tapi Kayana telan kembali dengan penuh keanggunan. Tak sampai sepuluh detik, Hrv hitam mundur kembali, kaca mobil diturunkan. “Mumpung gue lagi baik, mau bareng nggak?” “Nggak makasih.” “Yaudah, jangan nyesel.” Kali ini Hrv itu benar-benar pergi, Kayana menghela nafasnya. Sepagi ini, banyak drama yang sudah ia perankan. (^_^)(^_^) Gebrakan dimeja membuat gadis yang saat ini tengah memejamkan mata sebari menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan itu kaget. Dia spontan berdiri, menatap pelaku atas gebrakan tadi terkekeh sinis. Kayana menghela nafas, kenapa sih sekolah serasa neraka untuknya? “Well, tadi gue lihat lo habis di hukum karena telat.” katanya, “Sebenernya hari ini gue lagi nggak mood ngebully lo, tapi,.. berhubung hari ini gue ulang tahun dan temen-temen gue nggak siapin kue. Gimana, kalo lo yang jadi kue gue?” Perasaan Kayana sudah tidak enak, netranya menatap liar ke arah teman-teman Chelsea yang kompak menyeringai. “Girls, bawa dia!” “Chel, please. Jangan!” Kayana memberontak sekuat tenaganya, tapi tenaga dia tak sebanding dengan tenaga teman-teman Chelsea. “Chel, gue mohon sama lo, jangan lakukan itu!” Chelsea hanya menaikan sudut bibirnya, tak mengindahkan permohonan Kayana. Langkah kaki mereka menuju belakang toilet yang sepi, setelah sampai Kayana didorong dengan kasar membuat gadis itu langsung jatuh terjerembab “Sepertinya, ulang tahun gue bakal seru. Biar gue make a wish dulu.” Chelsea memejamkan mata, mengucapkan sebuah permohonan. Setelah selesai dia membuka matanya kembali, “Mari kita rayakan.” Paat!! Paat!! Paat!! Kayana hanya bisa menelan ludah kaku saat sebuah telur mendarat mengenai bahunya, disusul telur-telur lain. Rasanya begitu memualkan, tak berhenti disitu, Chelsea maju dan menabur tepung ke seluruh tubuh Kayana. Terakhir, mereka semua bersamaan melemparkan kantong plastik berisi air. “Rasain!” Setetes bulir bening merembes keluar dari pelupuk Kayana, dia bahkan tak sanggup untuk mendongak. Menatap wajah Chelsea hanya akan menambah rasa sakit dihatinya. Derap langkah kaki perlahan menjauh, Kayana kehilangan kendali atas dirinya. Gadis itu menangis sesenggukan. “Kenapa sih lo terus ngebully gue, Chel. Salah gue apa sama lo?” gumam Kayana, masih dengan isakan yang memilukan. Gadis itu mencoba bangkit, menatap tubuhnya yang dipenuhi tepung dan telur, dia tak mungkin kembali ke kelas dalam keadaan seperti ini. Berjalan ke toilet, Kayana masuk ke dalam salah satu bilik yang ada. Dia mulai membersihkan dirinya, setelah dirasa cukup, Kayana keluar. Bau amis masih tercium, saat ini hanya satu tempat yang Kayana ingin tuju. Gudang. Menunduk, keluar dari toilet, satu dua siswa yang dilewati Kayana menahan nafas lantaran bau amis yang menguar dari tubuh gadis itu membuat mereka mual. Tatapan penuh simpati dilayangkan oleh mereka. Kayana menahan malu sampai dia berbelok, kali ini koridor menuju gudang sepi membuat gadis itu menghela nafas lega. Mengamati sekitar, syukurlah masih sepi. Tak menunggu waktu lama, Kayana langsung masuk. Dia bisa melihat cermin itu masih teronggok bisu disana, sebuah senyum kecil terbit di bibir Kayana. Semoga, kepergiannya kali ini bisa menciptakan kenangan yang bahagia. Netra Kayana fokus menatap cermin tersebut, dia yang awalnya hanya melihat pantulan dirinya yang basah kuyup di cermin perlahan hilang, berganti dengan gelombang itu lagi. Kayana mulai melangkah selangkah demi selangkah hingga tiba tepat didepan cermin itu. Gadis mungil yang sekarang menggigil kedinginan memejamkan mata, dia benar-benar melangkahkan kakinya memasuki gelombang cermin. Putaran itu lagi, Kayana masih belum bisa mengendalikan dirinya. Dia merasa mual dan ingin cepat sampai. Selang beberapa menit kemudian, Kayana merasa tubuhnya dihempas keluar dari gelombang itu. Suara bising di sekitar membuat Kayana harus membuka kelopaknya, dia mengedarkan pandangan. “Gue ada dimana sekarang?” monolognya, menyipitkan mata, netra gadis itu menatap tulisan hangul yang tak jauh dari tempatnya berada sekarang. “Gue di Korea lagi ya??” Amplop coklat menyita atensi Kayana, dengan segera gadis itu membukanya, membaca isinya. “Cuma gini doang? Kenapa gue ngerasa semakin lama isi amplop ini semakin sedikit?” Suara yang berasal dari microphone mencuri perhatian gadis itu, dengan segera dia bangkit, mencari dimana sumber suara tersebut. Tak butuh waktu lama, Kayana menemukannya. “매거진 모델 이연진을 만나고 인사합니다.” Atau kalau di terjemahkan bunyinya seperti ini. “Welcome to meet and greet magazine models Lee Yeon Jin” Kayana mengembangkan senyumnya cerah. Perjalanan baru, pengalaman baru dan tentunya kisah yang baru juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD