Ch2 - Raden Arya Sapta Wijaya

1976 Words
Galih sudah menginjak usia empat tahun, saat ini ibunya tengah hamil adiknya. Anak laki-laki tersebut melihat perut pada ibunya dalam waktu cukup lama. Galih memegang sebilah bambu kecil, biasanya anak itu menggunakannya untuk mencoret-coret tanah di bawah kakinya. Anak itu berdiri diam sambil menggenggam bambunya. Salimah terlihat sedang kepayahan, wanita itu membawa bakul berisi biji jagung untuk di jemur di atas kursi bambu di halaman depan rumahnya. Hendri Wijaya sampai tertegun saat melihat anak sulungnya mematung di tempatnya berdiri sambil berkomat-kamit. "Galih?" Hendri menyentuh kedua bahunya seraya berjongkok di depan anaknya tersebut. Galih hanya melambatkan kelopak matanya, tatapan mata anak itu beralih ke arah ayahnya. "Adik ingin keluar." Ucapnya dengan nada datar seraya menunjuk ke arah punggung ibunya. Tak lama kemudian ucapan anak laki-laki tersebut benar-benar terbukti. Salimah mengaduh kesakitan. Hendri sangat terkejut, pria itu segera berlari untuk membantu istrinya masuk ke dalam rumah. Hari ini benar-benar terjadi, kelahiran adik ke-dua Galih Arteja. Hendri masih termenung setelah beberapa minggu seusai istrinya melahirkan. Banyak hal yang diucapkan oleh anak sulungnya terbukti kebenarannya. Bahkan itu berlangsung selama beberapa tahun berikutnya. Hingga anak itu menginjak usia lima belas tahun. Galih melihat wajah ayahnya, wajah anak itu terlihat sedih. "Kamu kenapa?" Tanya Hendri padanya. Galih tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya tersebut. Galih sejak tadi melihat ada kilas bayangan mendekat ke arah ayahnya. Dan anehnya hal itu hanya bisa dia lihat seorang diri. Hendri menjadi bingung, dia tidak mengerti kenapa anaknya bisa seperti itu. Hari itu Hendri memutuskan untuk mencari seseorang yang bisa dia tanyai mengenai keanehan yang terjadi pada putranya tersebut. Hendri Wijaya mendapatkan informasi kalau ada kakek-kakek yang tinggal di bawah bukit dua kilometer dari tempat tinggalnya bernama Ki Sarwo. Pria itu segera menuju ke sana pagi-pagi sekali. Dia pun berpamitan pada istrinya Nyai Salimah. "Aku mau pergi, nyari obat untuk Galih Arteja." Begitu pamitnya pada istrinya. Galih mendengar ucapannya segera menahan kaki ayahnya. Pandangan matanya terlihat ketakutan, ya Galih Arteja bisa melihat kilas bayangan ayahnya jatuh ke dalam jurang saat di tengah perjalanan menuju ke rumah Ki Sarwo. "Kenapa Nak? Bapak akan langsung pulang." Hendri mencoba menenangkan hati putranya. Akan tetapi, Galih tetap tidak mau melepaskan pelukannya dari kaki kanan ayahnya tersebut. Malahan memeluknya semakin erat. Galih tidak bisa mengatakan pada ayahnya. Seolah tenggorokannya tercekat dan setiap bicara dia tidak bisa mengeluarkan suara. Takdir tersebut adalah kenyataan yang harus dilalui oleh Hendri. Setiap melihat bayangan kematian Galih tidak bisa mengatakannya. Ibunya sampai menarik paksa Galih. Barulah Hendri bisa berangkat hari itu. Ki Sarwo merasakan kalau akan terjadi sesuatu dengan keluarga bakal muridnya. Pria itu keluar dari dalam pondoknya setelah mencuci ke-dua telapak tangannya. Sehari-hari Ki Sarwo hanya menanam obat-obatan di sekitar rumah. Dan hasilnya dia jual ke pasar. Ki Sarwo meniti jalan menuju ke sana dengan berjalan kaki seraya memegang tongkatnya. "Takdir tidak bisa dihindari." Ucapnya saat tiba di tepi tebing. Dia melihat Hendri sudah berada di dasar jurang. Pria itu yang membawanya menuju ke rumah Galih Arteja untuk mengantar pulang jasad ayahnya. Galih melihat kakek-kakek tua masuk sambil mendorong gerobak berisi jasad ayahnya ke dalam halaman rumah tersebut. Anak remaja itu sudah menunggu kedatangannya sejak ayahnya berangkat pagi tadi, dari rumahnya. Galih melemparkan bilah bambu dalam genggaman tangannya ke kanan. Bersamaan dengan itu badai tiba-tiba muncul menerpa desa tersebut. Kemarahan dalam hatinya menjadi bencana di desa tempat tinggalnya. "Ini adalah takdir. Semua manusia akan kembali pada Sang Pencipta." Ujar Ki Sarwo seraya menyentuh kedua bahunya. Galih merasakan kejutan pada kedua bahunya seolah ada yang menekan api di dalam dadanya. Anak itu menatap dalam kedua bola mata Ki Sarwo. Ada rasa teduh dan nyaman di dalam sana. Nyai Salimah segera keluar dari dalam rumah. Wanita itu menangis menjadi melihat jasad suaminya. Wanita itu segera meminta bantuan kepada warga sekitar untuk memakamkannya. Malam itu Galih Arteja bersama ketiga adiknya sedang bermain di ruang belakang. Sementara Nyai Salimah sedang berbincang di ruangan utama dengan Ki Sarwo. "Jangan sedih berlarut-larut Nyai. Saya datang ke sini untuk mengatakan kebenaran pada Nyai." "Apa itu?" Tanya Nyai Salimah padanya. Wanita itu segera menghapus air matanya. "Saya mendapatkan perintah dari Ki Wangsa untuk mengambil Galih Arteja sebagai murid." Ujarnya sambil tersenyum menatap wajah Nyai Salimah. Nyai Salimah segera mengangkat wajahnya, dia tahu kalau Ki Wangsa adalah kakek buyutnya. Dia ingin menanyakan banyak hal, tapi belum sampai berkata apa-apa Ki Sarwo segera menyahut. "Iya, beliau adalah kakek buyut Galih. Beliau adalah guru saya sekaligus Paman saya." Ujarnya pada Nyai Salimah. Nyai Salimah tidak mengatakan apa-apa, selepas pertemuan mereka berdua hari itu. Galih rutin pulang-pergi dari pondokan tempat tinggal Ki Sarwo untuk menimba ilmu kanuragan, serta mempertajam indera kebatinan. "Bagaimana Le? Bisa belajarnya?" Tanya ibunya setelah sekian bulan dia berlatih pulang-pergi dari pondokan Ki Sarwo. Anak lima belas tahun tersebut sedang menuang air dari dalam kendi pada gelas bambu di atas meja makan. Lalu duduk dan meneguknya perlahan. "Bisa Bu, Adik-adik kemana Bu? Kok sepi?" Tanyanya pada ibunya karena biasanya dia melihat ketiga adiknya sedang duduk-duduk bermain gundu setiap pulang dari kediaman Ki Sarwo. "Sudah tidur." Sahut ibunya, lalu meletakkan singkong rebus di atas meja. Galih mengambilnya sebuah dan mulai menikmatinya sambil menatap wajah ibunya. Nyai Salimah mengusap wajahnya serta ubun-ubun kepala Galih dengan tatapan lembut penuh kasih sayang. Anak itu awalnya tersenyum lalu tiba-tiba wajahnya berubah sedih. Dia meletakkan singkong tersebut di atas meja lalu menghambur memeluk erat tubuh ibunya. "Jangan sedih, semua manusia itu memiliki takdirnya masing-masing Le..." (Le, adalah panggilan dalam bahasa Jawa untuk anak laki-laki) Nyai Salimah segera tahu, kalau usianya sudah tidak lama lagi. Dadanya sering terasa sesak semenjak kepergian suaminya. Melihat Galih tidak bisa berkata-kata dia tahu isyarat yang ingin dikatakan oleh putranya tersebut. Malam itu saat beristirahat ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Kini tinggallah Galih bersama ketiga adiknya di gubuk tersebut. Anak berusia lima belas tahun tersebut yang mengurus serta mencukupi kebutuhan ketiga adiknya dengan bekerja apa saja. Hingga beberapa tahun. "Arya!" Panggilnya pada adik keduanya Raden Arya Sapta Wijaya. "Iya Bang?" Arya segera menghadap kepadanya. Arya yang baru saja menginjak dewasa tahu kalau ada hal penting yang ingin disampaikan Galih padanya setiap kakaknya tersebut memanggilnya. "Mungkin nanti aku akan pergi ke kota. Kalian butuh banyak biaya untuk sekolah. Hasil dari kebun dan peternakan tidak cukup untuk memenuhi semuanya." Ucapnya pada Arya. "Iya, Bang." Sahutnya dengan menganggukkan kepala. Arya mendengarkan penuturan kakaknya cara merawat ternak seperti biasanya, juga cara menjual hasil kebun ke pasar. Semua amanah sudah Galih serahkan kepada Arya sebelum dia berangkat ke kota. "Abang, kapan berangkat?" Tanya Arya dengan wajah serius. "Aku mau pamitan pada Guru dulu. Kamu yang rajin juga latihannya." Galih menepuk bahu Arya Sapta Wijaya. Dia tahu kalau adiknya tersebut sering bermalas-malasan saat latihan ilmu kanuragan, dan selalu kesulitan ketika berlatih meditasi. Tidak semua saudaranya memiliki kelebihan seperti dirinya. Galih Arteja Wijaya sudah dipilih sejak lahir oleh Kakek buyutnya. Sosok yang mampu mengemban beban luar biasa di atas kedua bahunya. Bukan hal yang mudah memiliki kelebihan, banyak sekali rintangan dan jalan terjal yang harus dilaluinya semenjak remaja. Dan dia harus tetap tegak berdiri melaluinya satu persatu. Keesokan harinya.. Hampir senja Galih Arteja berangkat menuju ke rumah Ki Sarwo. Pria muda itu berjalan kaki menuju ke sana. Dia melihat nenek-nenek sedang menggendong kayu di atas punggungnya menggunakan sehelai kain jarit. Saat itu Galih tidak bisa melihat siapa sebenarnya wanita tua tersebut yang ternyata adalah Nyai Ratih. Galih menghampiri nenek-nenek itu, dia merasa kasihan karena nenek-nenek tersebut terlihat sangat kepayahan sambil berjalan terbungkuk-bungkuk memegangi kayu di belakang punggungnya. Nyai Ratih yang sudah tahu siapa sosok pria muda tersebut, tetap diam dan mengabaikannya. Aroma harum yang dia hirup serta garis tubuh dan wajah Galih yang hampir menyerupai Ki Wangsa membuatnya diam tidak bergeming. "Nek? Biar Galih bawakan." Panggilnya padanya. Galih berdiri di depan nenek-nenek itu, dia hendak mengambil seikat kayu tersebut dari atas punggungnya. "Iya, Cu?" Nyai Ratih tersenyum lembut memamerkan serentetan gigi merah bekas mengunyah sirih dan pinang. Dia memberikan kayunya pada Galih Arteja. Galih segera memanggul di atas bahu kanannya, seraya memegangi lengan Nyai Ratih untuk membantunya berjalan. "Di mana rumah nenek?" Tanyanya sambil menuntun nenek tersebut mengikuti langkahnya. Nyai Ratih segera melepaskan genggaman tangan Galih Arteja dari lengannya, lalu menjejakkan tongkat kayunya di atas tanah. "Duk!" Mendadak muncul jalan setapak menuju ke atas puncak gunung. Galih terlihat sedikit terkejut, dia tahu nenek-nenek di depannya itu bukan wanita biasa. "Ikut aku, hihihi!" Nyai Ratih tertawa terkikik melihat wajah heran Galih Arteja. Nenek-nenek itu mendahuluinya melangkah menuju puncak gunung. Langkahnya pelan, tapi setiap langkah kakinya sekejap tiba di tempat yang jauh. Galih pernah melihat hal serupa dari gurunya. Galih tetap tenang dan melangkah seperti biasa. Setibanya di sana dia mengetuk pintu rumah kayu dari bahan bambu tersebut. "Masuklah, letakkan kayunya di dalam!" Terdengar suara wanita muda. Bukan suara nenek-nenek yang tadi dia temui di jalan. Galih membuka pintu rumah tersebut, pria itu mendapati wanita sangat cantik sedang menyisir rambut panjangnya. Wanita itu duduk di depan cermin hanya memakai kemben (kain tipis pembalut satu-satunya tubuhnya setinggi d**a) tanpa kebaya. Bibirnya merah merona, bulu matanya lentik hitam dan cantik. Tubuhnya terlihat penuh dan langsing. Galih hanya menatapnya sekilas lalu meletakkan kayu tersebut di sisi dinding. Pria itu tanpa bicara segera berbalik dan pergi. "Kamu tidak ingin tahu siapa aku? Bukankah wajahku sangat cantik?" Nyai Ratih berdiri dari kursinya. Lalu berjalan menuju ke arah Galih yang telah sampai di ambang pintu rumah tersebut. "Brakkk!" Pintu kayu tersebut tertutup dalam sekejap. Galih hanya tersenyum tetap berdiri melihat daun pintu. Nyai Ratih semakin dekat ke arahnya. "Ki Wangsa.. aku rindu sekali padamu." Belum sampai wanita itu menyentuh punggungnya, Galih sudah lenyap dari pandangan matanya. "Dia bukan milikmu Nyai, dia adalah murid ku!" Terdengar suara Ki Sarwo membahana di seluruh pondok tersebut. Nyai Ratih menggertakkan giginya, wanita itu kesal sekali. "Aku tahu! Memangnya apa salahnya hanya memeluknya saja!" Tandasnya kesal. "Sraaak! Brak!" Nyai Ratih segera keluar dari dalam pondok. Dia melihat Galih sedang berjalan meniti jalan setapak ke bawah bukit. "Duk!" Nyai Ratih memukulkan tongkatnya di tanah, hingga jalan setapak yang dilalui Galih Arteja mendadak berubah menjadi hutan belantara seperti sebelumnya. "Berhenti! Tunggu aku!" Teriak Nyai Ratih memanggilnya dari belakang punggungnya. Galih hanya tersenyum, pria itu mengabaikannya dan tetap berjalan menuju ke bawah. "Cu.. Cucu!" Panggil Nyai Ratih, wanita itu sudah berubah wujud menjadi nenek-nenek seperti sebelumnya. Galih terhenti, dia menoleh ke belakang. "Sraaaaat!" Tongkat Nyai Ratih melayang melesat hampir memukul belakang tengkuk Galih Arteja. Pria itu dengan sigap melenting ke belakang menangkis tongkat tersebut menggunakan kaki kanannya. Gerakan pria itu begitu cepat dan hampir tidak terlihat oleh mata manusia biasa. "Hihihi! Lawan aku anak muda! Hiaaakkk! Srat! Bruk! Duk! Dar! Braakk!" Pukulan dan serangan bertubi-tubi dari Nyai Ratih berhasil dia tangkis. Galih hanya menangkis tanpa melakukan serangan balik. Nyai Ratih kembali merubah wujudnya menjadi gadis muda cantik jelita. Ada bunga melati menghias pada rambutnya yang panjang dan hitam. Keduanya terus beradu hingga berada di tepi tebing. "Braaakkk! Akkhhh!" Nyai Ratih kehilangan keseimbangan, dan tubuh wanita itu hampir jatuh ke bawah jurang. Galih dengan sigap menahan pinggangnya dan membawanya ke tepi. Wanita itu tersenyum cantik sekali, aroma melati semerbak menerpa hidung Galih Arteja. Pria itu diam menatap wajah Nyai Ratih, raut wajah Galih tetap tenang seperti sebelumnya. Di luar dugaan, wanita itu mendorong tubuh Galih menggunakan kaki kanannya hingga jatuh ke belakang. Masuk ke dalam jurang. "Daaaak!" Tubuh Galih Arteja terpelanting ke belakang. Pria itu tersenyum, dia menjejakkan kaki kanannya di atas bilah pohon ke pohon lain. Nyai Ratih berdiri di tepi tebing. Dia sengaja melakukan itu untuk melihat seberapa jauh pria itu sudah menimba ilmu kanuragan pada gurunya. Gerakan Galih Arteja sangat ringan, dan membuat Nyai Ratih tak bisa mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. "Kamu memang titisannya! Ki Wangsa! Hihihi!" Wanita itu membuka telapak tangan kanannya untuk mendapatkan wadah pinang-nya dalam sekejap. Lalu mengunyah daun sirih dan kembali menjadi nenek-nenek seperti sebelumnya. Galih kembali ke jalan yang tadi dia lalui saat bertemu dengan Nyai Ratih. Pria itu melangkah santai melanjutkan perjalanannya menuju ke arah pondok Ki Sarwo untuk menemui gurunya tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD