“Lewat sini, Pangeran.” Praduga mempersilahkan tuannya untuk melalui jalan setapak yang menjadi penghubung antara dua alam.
Kini mereka ingin melihat wanita seperti apa yang Bhanu sukai di alam manusia, setelah mendapatkan informasi serta identitas itu maka dengan senang hati Arya akan membocorkan hal ini ke seluruh rakyat.
Malam ini cukup tenang, portal yang biasanya sulit dilalui oleh mereka pun tiba-tiba saja dengan mudahnya Arya dan Praduga bisa melewatinya, penjagaan tak terlalu begitu ketat di perbatasan itu.
Suara jangkrik dan hewan-hewan malam memenuhi hutan itu, pekatnya malam tak membuat Arya dan Praduga buta akan jalan.
“Kenapa kita tidak menggunakan ajian teleportasi saja?” tanya Arya.
“Hanya Raja Bhanu yang bisa tetap menggunakan ilmu teleportasi di alam manusia, sedangkan kita tidak.” jawaban Praduga ini memang masuk akal.
Di antara mereka yang paling tinggi ilmunya adalah Bhanu, pria itu bisa menggunakan semua ilmu yang ia punya kapanpun dan dimana pun.
Akhirnya tak berselang lama keduanya sampai di tempat tujuan, Praduga terlihat memincingkan matanya menatap hamparan rumput dan ilalang di sana, sejauh mata memandang tempat itu layaknya gurun savana tumbuhan saja.
“Kamu tidak salah tempat?” Arya menatap Praduga dengan heran.
Ini bukan terlihat seperti pemukiman manusia, hanya ada tumbuhan tinggi menjulang di sana.
Praduga membuka mulutnya kaget, seingatnya ini adalah tempat di mana Damar bertemu dengan seorang wanita. Ada banyak rumah berjejeran, tapi kenapa sekarang menghilang?
“Jangan bermain-main denganku, Praduga!” bentak Arya. Ia merasa dipermainkan oleh Praduga, mana ada pemukiman manusia seperti ini?
“Saya bersumpah ini adalah tempatnya, kemarin Damar juga ada di sini. Tapi kenapa tiba-tiba rumah itu berubah menjadi padang rumput?” Praduga menggosok belakang kepalanya dengan heran.
Arya menatap hamparan luas itu, terlihat mencurigakan. Jika Praduga berani bersaksi bahwa ini adalah tempatnya, berarti memang benar, hanya saja ada orang lain yang sudah memanipulasi penglihatan mereka.
“Sial! Rencana kita sudah diketahui oleh Bhanu,” gumam Arya dengan nada yang tajam.
“Maksudnya?” Praduga masih belum memahami kalimat tuannya. Bagaimana mungkin Bhanu sudah tahu rencana mereka?
“Dasar bodoh!” Arya mengumpati Praduga, membuat si empunya meringis kecil.
“Ini adalah jebakan Bhanu, dia pasti sudah tahu rencana kita yang ingin memperburuk namanya. Pasti sejak saat kamu membuntuti Damar ia sudah menyadari, dan hal ini digunakan oleh Bhanu untuk semakin membodohimu.” Rahang Arya mengetat dengan sempurna, selalu saja ia kalah selangkah dari sepupunya itu.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa kecerdikan Bhanu selangkah di depan Arya. Sudah sejak dulu keduanya bersaing dalam berbagai bidang, tetap saja Bhanu selalu unggul.
“Hahaha, aku tidak menyangka akhirnya bisa dibodohi lagi oleh Bhanu.”
“Maafkan saya, Pangeran. Saya benar-benar tidak tahu kalau Damar sudah menyadari ia dibuntuti.”
“Sudah lah, memang tidak bisa mengandalkan orang lain, seharusnya aku sendiri yang mencari tahu.” Arya menghempaskan kepalan tangannya di udara.
Mereka berdua pun pergi dari sana, tidak ada untungnya menunggu di sini karena entah sampai kapan Bhanu menutupi pemukiman warga sini dari pandangan Arya dan Praduga.
Sementara itu di dalam rumah, Elin berjalan mondar-mandir tidak tenang, pasalnya sudah sejak satu jam yang lalu Bhanu duduk bersila sambil memejamkan mata, sesekali bibirnya bergumam kalimat yang tidak ia ketahui.
Bhanu berkata bahwa malam ini akan ada tamu tak diundang yang datang, untuk melindungi rumah Elin dari pandang mata Arya, Bhanu harus mengeluarkan ajian saktinya yang lain. Usahanya tidak sia-sia, mengetahui bahwa Arya serata Praduga pergi dengan harapan kosong membuat pria itu tenang.
Untuk sementara ini Elin dan Manggala masih aman.
“Hahh,” hela Bhanu.
Akhirnya pria itu membuka matanya setelah berkutat memfokuskan pemikirannya agar ajian ini berjalan dengan baik.
Elin buru-buru menghampiri suaminya, saat itu juga Bhanu berdiri dari duduk silanya.
“Bagaimana?”
Bhanu menyunggingkan senyuman menenangkan. “Sudah beres, dua orang itu tidak bisa menembus pemukiman ini. Untuk sementara waktu kalian aman, Arya juga sudah bisa menduga bahwa ini adalah ulahku, dengan begini dalam waktu dekat mereka tidak akan berbuat gegabah.”
Bahu Elin melemas seketika, ia pikir keberadaannya dengan Manggala akan terendus oleh mereka.
“Ini hanya bertahan untuk sementara, lalu bagaimana ke depannya?” Mata Elin terlihat nanar, apakah selamanya ia harus hidup dalam persembunyian?
Bhanu menangkup kedua bahu istrinya lalu mengusapnya dengan pelan untuk memberikan dukungan.
“Kita tidak bisa terus bersembunyi, jika kamu mau mendengar saranku itu lebih baik.” Mata Bhanu tidak lepas dari manik milik istrinya, kali ini ia berharap Elin mau mendengarkan sarannya.
“Apa?”
“Aku akan membawamu dan Manggala ke istana, aku sendiri yang akan mengenalkanmu pada seluruh rakyat.”
“Apa kamu becanda? Bagaimana bisa kamu terang-terangan mempublikasi kami.” Elin mendesah berat, ini sama saja cari mati. Elin tidak butuh pengakuan dari para rakyat suaminya, ia hanya menginginkan kehadiran suami disisinya.
“Apa aku terlihat becanda? Daripada menunggu Arya mengungkap identitasmu, lebih baik aku sendiri yang mengumumkan siapa kamu dan Manggala. Kalian adalah orang yang ku sayangi, untuk apa aku terus-terusan menyembunyikan kalian? Kamu dan Manggala harus diakui oleh semua rakyatku, terlebih kamu merupakan ratu mereka.” jelas Bhanu, matanya menyorot keseriusan yang mendalam.
Ia tak mau jika Arya nantinya mengungkap jati diri istrinya, pastinya pria itu akan menjelek-jelekan nama Elin. Untuk mencegah hal itu terjadi maka Bhanu berani mengambil risiko untuk membongkar sendiri bahwa istrinya merupakan manusia.
Elin terlihat keberatan, sebenarnya ia tak mau pindah tempat tinggal lagi, di rumah ini ia sudah merasa nyaman.
“El, aku butuh persetujuanmu.” Bhanu menunggu jawaban Elin, meski ia tahu bahwa kini istrinya tengah dilanda keberatan hati.
“Aku nggak tahu.” Suara Elin terdengar mencicit kecil.
Bhanu melepaskan tautannya dari bahu sang istri, lalu mendesah pelan.
“Memangnya apa yang membuatmu berat, hm?” Bhanu berusaha untuk setenang mungkin, tidak ingin marah-marah pada Elin karena keduanya lagi-lagi harus berbeda pemikiran.
Dalam rumah tangga memang wajar jika adanya perbedaan sudut pandang, dan Bhanu harus bisa memberikan Elin pengertian sehalus mungkin.
“Ini adalah rumah mendiang ibu, aku sudah nyaman berada di sini. Ada toko yang menjadi tanggung jawabku, banyak pembeli yang akan kecewa jika aku menutup toko lagi. Lalu, aku adalah manusia yang berbeda dengan kalian, akan sulit beradaptasi di sana.” Elin akhirnya mengungkapkan isi hatinya selama ini.
Jujur saja berat rasanya jika ia harus tinggal di alam gaib, dirinya merupakan manusia asli.
Bhanu mengangguk mengerti, ia bisa memahami situasi zona nyaman yang tengah dirasakan oleh Elin.
“El, kamu adalah istriku, sudah kewajibanmu untuk ikut denganku di mana pun aku berada. Mungkin aku terdengar egois karena terkesan memaksamu, tapi aku melakukan ini karena demi keselamatan kalian. Mengenai kamu yang sulit beradaptasi, pelan-pelan kamu pasti bisa, tidak akan ada yang berani mengganggumu di sana. Siapa pun yang ingin mengganggu kamu maka aku sendiri yang akan menghukumnya.” Bhanu menjawab satu per satu hal yang menjadi beban di pundak istrinya.
Elin masih terlihat keberatan, ia meneguk ludahnya dengan kasar.
“Baiklah kita ambil jalan tengahnya saja. Sekarang kamu ikut denganku ke istana, kamu boleh kembali lagi ke rumah ini untuk menjalankan toko roti mendiang ibu mertua.” Bhanu memberikan negosiasi untuk membujuk Elin.
Mendengar penawaran Bhanu yang ini membuat mata wanita itu berbinar, jika begini maka Elin akan menerimanya.
“Kamu yakin izinin aku balik ke rumah ini?” Ia ingin memastikan.
Kepala Bhanu mengangguk seiring dengan senyuman sang istri yang mengembang. Untuk yang satu ini Bhanu tak mau menghalangi niat baik istrinya, biar lah Elin melanjutkan usaha mendiang sang ibu.
“Oke, aku mau ikut denganmu.” Wanita itu langsung menyetujui ajakan suaminya.
Tidak masalah ia dibawa ke kerajaan Bhanu, toh pada akhirnya Elin masih diperbolehkan untuk tinggal di alam manusia dan meneruskan usaha toko rotinya.
Bhanu senang mendengar keputusan Elin.
“Aku akan mengemas pakaian, tunggu sebentar.” Elin berbalik badan ingin ke kamarnya, tapi suara Bhanu menghentikan langkahnya.
“Tidak perlu membawa apapun, lagipula bukankah kamu ingin kembali ke sini lagi?”
“Ohh iya, tapi bagaimana dengan pakaian?”
“Sudah tersedia lengkap, kamu tidak mungkin mengenakan pakaian seperti ini di sana. Ada pakaian khusus yang dikenakan ratu di sana.” ucap Bhanu.
“Emm begitu, baik lah.”
“Bawa Manggala bersamamu, saat ini juga kita ke sana.”
“Iya,” balasnya.
Elin buru-buru menggendong Manggala dalam pelukannya, anak itu sudah terlelap dalam tidurnya. Sesekali meracau karena merasa tidurnya terganggu, tapi dengan cepat Elin segera menimang-nimang makhluk kecil itu.
“Pejamkan matamu!” pinta Bhanu.
“Eh?” Elin melongo seperti orang kebingungan.
“Tutup mata kamu, Sayang. Kita tidak berjalan kaki, melainkan dengan teleportasi.”
“Oiya.” Elin mengikuti perintah Bhanu, ia menutup matanya dengan erat.
Sementara sebelah tangan Bhanu digunakan untuk merangkul pundak istrinya. Bibir pria itu menggumamkan banyak kalimat yang tidak Elin pahami, hingga akhirnya keduanya tiba di portal yang menjadi pembatas dua alam.
Refleks Elin membuka matanya karena merasa pijakannya bukan lagi lantai, melainkan tanah basah.
“Ini di mana?” gumam wanita itu.
“Lihat ke sana, itu adalah portal yang menjadi penghubung alam kita. Ayo masuk ke sana,” ajak Bhanu.
Elin melangkah dengan ragu-ragu, portal itu terlihat seperti gelembung udara tipis.
Bhanu memegang tangan istrinya sesaat keduanya sudah berada di dalam portal. Kepala Elin terasa pening berputar-putar, matanya sesekali melihat sekitarnya yang nampak seperti labirin.
“Kepalaku pusing sekali.”
“Tahan sebentar saja, tetap peluk Manggala dengan erat.”
Memang seperti itu lah efek manusia yang memasuki dunia paralel. Tidak seperti Elin, Bhanu justru terlihat biasa saja tak merasakan pening barang sedikit pun.
Rasa sakit kepala Elin perlahan memudar seiring dirinya yang menapakkan kaki di tempat yang asing baginya. Gerbang lebar ada di depan mata, Elin cengo mendapati benda itu berasal dari emas utuh, bahkan warnanya sampai menyilaukan mata.
“Hormat saya, Raja Bhanu.” Seorang prajurit penjaga gerbang membungkuk hormat pada pria itu.
“Astaga!” Elin memekik kala mendapati sosok itu memiliki fisik yang mengerikan. Kepalanya kambing, lalu bentuk badannya seperti manusia, jangan lupa bulu-bulu lebat yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya.
Elin terkejut luar biasa, baru satu menit berada di sini saja sudah membuatnya ketakutan. Otomatis ia mempererat gandengannya pada Bhanu, khawatir jika sewaktu-waktu makhluk setengah kambing itu mencekik lehernya.
“Kamu yang diutus Damar?”
“Benar, Yang Mulia.”
Elin mendongak menatap suaminya, di sini Bhanu tidak terlihat ramah saat bersamanya. Raut wajah dingin, nada suara juga datar-datar saja, sangat berbeda kala memperlakukan dirinya.
“Eh, sejak kapan berganti pakaian?” Elin bergumam sangat pelan, heran kenapa tiba-tiba saja kaos dan celana panjang suaminya berubah menjadi set pakaian ala-ala kerajaan zaman kuno.
“Bukakan gerbang untuk istriku.” perintah Bhanu pada prajuritnya.
“Siap, laksanakan!” Sesosok itu pun segera membuka gerbang besar yang seluruhnya terbuat dari emas murni.
Suara gesekan pun terdengar riuh, perlahan-lahan pintu lebar itu pun terbuka. Elin memperhatikan itu dengan saksama, hal yang pertama ia lihat di dalam adalah sebuah bangunan yang megah dan keseluruhannya juga berasal dari emas berkilauan.
Tata bangunannya juga indah dan rapi, cukup nyaman untuk dilihat mata.
“Ayo masuk.”
Elin berjalan bersama dengan Bhanu, kepalanya tak berhenti untuk menoleh ke sana dan ke mari, sangat salut dengan tata letak tempat ini. Sekitarnya juga bersih, lingkungannya juga asri.
Meski malam hari, tapi ada pencahayaan yang mampu membuat terang benderang. Elin tak menyangka jika ada tempat seperti ini di alam lain.
“Jadi, ini tempat tinggalmu?”
“Iya, selama berpuluh tahun aku tinggal di sini.”
“Lewat sana, aku akan membawamu ke kamar kita.” Jarinya menunjuk jalan yang terlihat seperti lorong.
“Apa tidak apa-apa jika bertemu dengan orang lain di sini?” Elin menggigit bibir bawahnya.
“Semua anggota istana sedang mengurusi kesibukan masing-masing. Nanti ada saatnya aku memperkenalkanmu dengan mereka semua.”
Mereka akhirnya memasuki istana bagian utama, di sinilah yang menjadi kamar dari raja, aula kebesaran dan juga ruang-ruang yang menjadi kediaman para anggota inti.
Banyak barang-barang antik seperti vas bunga, kursi kuno dan juga lemari-lemari besar yang berisi piringan unik.
Sejenak Elin memang terpana dengan tempat ini, sedikit melupakan fakta bahwa ini bukanlah lingkungan yang aman bagi manusia seperti dirinya.
Langkah keduanya berhenti di pintu besar yang berbahan serupa dengan bangunannya. Apalagi jika bukan keemasan.
Bhanu membuka pintu itu untuk istrinya, pelan-pelan Elin melangkah masuk ke sana.
Secara ajaib, ruangan yang tadinya gelap pun berubah menjadi sangat terang.
“Woah,” decaknya.
Bhanu terkekeh melihat istrinya yang terkagum-kagum.
Ada ranjang besar yang lengkap dengan bantal dan guling, terdapat pula box bayi di sisi kanannya.
“Ini ruang pribadi kita, hanya aku dan kamu yang bisa keluar masuk.”
Sudah Bhanu tekankan pada semua pelayan istana, tidak ada yang boleh memasuki ruang kamar ini tanpa seizinnya. Hanya ada satu orang yang dipercaya Bhanu untuk membersihkan tempat ini, itu pun dengan pengawasan yang ketat.
“Letakan Manggala di box itu, kamu bisa beristirahat.”
Elin mengikuti saran suaminya, ia meletakkan Manggala di kotak itu. Anehnya, Manggala sama sekali tidak terganggu dengan pergerakannya yang sangat banyak.
Elin pun duduk di pinggiran ranjang, sepreinya selembut sutra, aromanya juga sangat harum.
“Beristirahat lah, esok pagi aku akan membawamu ke sekeliling istana sekaligus memperkenalkan kamu ke seluruh anggota.”
Bhanu mendekati istrinya dan mengecup puncak kepalanya dengan sayang.
“Aku selalu mencintaimu, Elin.”
Meski kalimat itu terdengar biasa bagi pasangan suami istri, tapi berbeda dengan Elin yang selalu berbunga-bunga jika Bhanu mengatakannya. Suaminya selalu tulus saat mengungkapkan isi hatinya, dan Elin ikut tersentuh dibuatnya.
“Terima kasih sudah percaya padaku dan mendukungku.”
“Maaf karena aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.”
“Tidak ada yang perlu disesali, selagi kita berusaha maka akan ada jalan untuk selalu bersama. Dengan bersedianya kamu ikut denganku maka sudah membuktikan bahwa kamu adalah istri terbaik.”
Wanita itu mengulum senyumnya.
“Aku akan menemui Damar untuk membahas rencana esok hari, kamu istirahat ya. Aku akan segera kembali, jika butuh sesuatu panggil saja namaku dalam hatimu.”
“Iya, pergi lah.”
Setelah berkata demikian, Bhanu pun melenggang pergi dari kamar. Ada banyak hal yang ia diskusikan dengan Damar, besok pagi ia akan mengumpulkan seluruh anggota inti istana untuk mengenalkan Elin pada mereka.
Sebisa mungkin Bhanu akan membuat mereka semua menerima sang istri!