Elin Aulia Mahardika, seorang istri dan juga merangkap sebagai ibu sekitar tiga hari ini. Ia duduk sembari menyenderkan punggung pada kepala ranjang, sorot matanya terlihat kosong, wajah dan bibirnya juga berwarna pucat pasi.
Sudah tiga hari semenjak kelahiran anaknya, ia langsung berubah menjadi pemurung dan sulit untuk diajak berkomunikasi. Pasalnya, sang anak lahir di luar ekspektasinya.
Manggala Cakrabuwana, anak yang lahir dari buah rumah tangga antara Elin dan Bhanu. Awalnya Elin merasa sangat beruntung karena langsung diberikan momongan oleh yang maha kuasa, dua bulan setelah pernikahan mereka, Elin langsung hamil.
Sembilan bulan ia mengandung Manggala dalam rahimnya, sejak saat itu pula Elin merasakan ada yang tidak beres dengan keadaan sekitar. Elin lebih sering diganggu oleh makhluk gaib, tak jarang ia sering melihat penampakan wanita berambut panjang yang hilir mudik berjalan di pelataran rumah. Ketika Elin menceritakan hal ini pada Bhanu, suaminya selalu berdalih bahwa Elin sedang keletihan hingga berhalusinasi.
Namun, Elin yakin jiwa penglihatannya tidak salah, matanya masih normal.
“Kamu hanya kecapean karena mengandung anak kita, istirahat dan tidur lah.” Kalimat ini yang selalu Bhanu ucapkan untuk menenangkan istrinya.
Setelah sekian bulan ia mengandung sang bayi, tibalah hari kelahirannya.
Elin menanti buah hatinya dengan senang hati, sedangkan Bhanu menjadi sangat cemas dan khawatir, rahasia besarnya yang selama ini ia tutup-tutupi akan terbongkar juga.
Benar saja, ketika setelah persalinan Elin merasa ada yang disembunyikan dari Bhanu. Sekuat tenaga Elin menginginkan melihat bayi mereka, tapi dengan anehnya Bhanu selalu menghalangi.
Karena merasa geram dengan tingkah suaminya, Elin pun diam-diam mencuri waktu untuk masuk ke dalam kamar bayi. Ia ingin melihat putranya, menyusuinya layaknya ibu pada umumnya.
Akan tetapi, betapa terkejutnya Elin saat melihat fisik dari putranya. Manggala Cakrabuwana, nama yang diberikan Bhanu untuk sang bayi. Manggala memiliki fisik yang bukan seperti manusia, kulitnya bersisik warna semerah darah, matanya menajam, ada pula tanduk kecil yang muncul di sisi kepala kanan dan kirinya.
Elin merasa syok, sejenak ia tak yakin jika itu adalah bayi yang ia lahirkan.
Elin menuntut penjelasan pada suaminya, ia yakin jika gennya tak mungkin ada yang salah. Ini pasti ulah suaminya.
Hingga sebuah jawaban dari Bhanu membuat Elin ingin pingsan seketika.
“Aku bukanlah manusia sepertimu, aku adalah sosok gaib yang bisa menjelma menjadi manusia. Aku tidak bermaksud untuk membohongimu, aku hanya sangat mencintaimu sehingga harus menutupi hal ini.”
Di saat itu pula Elin langsung marah-marah, ia tak terima dibohongi. Elin juga tak dapat menerima keadaan anaknya yang baginya adalah siluman.
Elin membenci Bhanu, membenci Manggala pula.
Berhari-hari Bhanu memohon pengampunan dari istrinya, tapi Elin tak mempedulikan, hatinya terasa sakit karena sudah dibohongi. Ia menikah dengan sosok gaib, bukan manusia.
Bisa-bisanya Elin dibohongi? Jahat sekali Bhanu membohonginya.
Tiga hari ini ia mengurung diri di kamar, tak makan atau minum. Ia hanya menangis, berteriak marah serta menyesali pernikahannya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, ia benar-benar frustasi hingga memecahkan banyak barang.
Mata Elin terlihat menghitam dan lebam. Ketika ia lelah menangis, maka Elin akan tertidur. Namun, ketika bangun ia langsung melanjutkan tangisnya.
Saat ini sudah terhitung tiga hari ia tak mau makan, minum ataupun keluar kamar. Bhanu masih mengetuk pintu di depan sana, bersamaan dengan suara tagisan bayi yang nyaring ditelinga.
“Elin, tolong buka pintunya Sayang.” Suara Bhanu terdengar melirih, ia berdiri di depan sambil mengetuk-ngetuk pintu kayu.
Sebelah tangannya sedang menggendong bayi berwarna merah, ini adalah darah dagingnya. Bhanu sangat menyayangi buah dari cintanya bersama sang istri, ia tahu jika pada akhirnya Manggala pasti menuruni dirinya.
Hal ini membuat Elin kecewa, salah Bhanu karena ia berani membohongi Elin. Membuat wanita itu kecewa setengah mati dan mendekati gila.
Seperti saat ini ia sedang menunggu sang istri keluar kamar, Bhanu ingin menjelaskan semuanya serta meminta maaf sebesar-besarnya. Tangisan kelaparan Manggala juga tak membuat hati Elin luluh, hatinya seakan sudah sekeras batu, sulit untuk dibujuk.
“Sayang, kau boleh marah padaku, tapi tolong jangan abaikan anak kita. Manggala butuh dirimu, Manggala ingin menyusu padamu.”
Berhari-hari Manggala juga menangis dan susah didiamkan, seolah bayi itu tahu perasaan sang ibu yang sedang bersedih.
Elin menutup telinganya dengan bantal, kepalanya semakin sakit ketika mendengar tangisan bayi itu.
“Arghh, DIAM!” Elin berteriak keras, berharap agar Manggala diam dan tak merecoki telinganya.
Penampilan Elin yang selalu bersih dan rapi setiap harinya berubah menjadi berantakan, rambutnya kusut acak-acakan, badannya juga terlihat kurus karena beban pikiran.
Ia menangis, dadanya naik turun merasakan penderitaan ini.
“Kenapa, kenapa harus aku yang menjadi bagian dari siluman itu.” Elin kembali meratapi nasibnya, ia membenci Manggala dan Bhanu. Rasa cintanya yang pernah ia tumpah ruahkan untuk Bhanu seakan langsung mengabur ketika mengetahui fakta bahwa Bhanu adalah jelmaan sosok gaib yang merubah wujud selayaknya manusia.
Bhanu mendengar teriakan Elin yang penuh dengan derita, ia diam sambil merenungi kembali kesalahannya. Seharusnya ia tak membohongi Elin, seharusnya ia mengatakan segalanya sejak awal sehingga istrinya tidak merasa dikecewakan.
Ya, ini adalah salah Bhanu.
“Maafkan aku, istriku.” Setetes air mata mengalir dari netranya, Bhanu menyesal telah menutupi fakta tentang dirinya.
Sosok Bhanu Cakrabuwana merupakan pangeran penerus tahta kerajaan alam gaib. Namun, ia meminta waktu agar penobatannya diundur seiring dengan dirinya menikah serta menjelma sebagai manusia.
Bhanu sangat mencintai Elin sehingga apa yang ia lakukan pun demi wanita itu. Pertemuan Bhanu dengan Elin pada awalnya tidak disengaja, waktu itu Elin sedang mendaki salah satu gunung di tempat tinggalnya.
Selama perjalanan, tanpa Elin sadari ia tengah ditemani sosok gaib bernama Bhanu.
Bhanu melihat bahwa ada pancaran yang berbeda dari diri Elin, Bhanu menyukai Elin dan mencintainya meski hanya dalam pandangan pertama.
Bhanu pun berinisiatif menjelma sebagai manusia dan mendekati Elin, ternyata ia disambut hangat oleh wanita itu. Elin dan Bhanu semakin hari semakin dekat saja, saat itu juga Bhanu menyatakan keinginannya tuk menikahi Elin.
Merasa bahwa Elin juga mencintai Bhanu, ia pun menerimanya dengan penuh kasih. Keduanya pun menikah secara normal, tidak ada yang aneh dari sosok Bhanu. Hanya saja pria itu lebih sering keluar untuk alasan bekerja, terkadang Bhanu tidak pulang selama tiga hari.
Jujur saja Elin khawatir jika Bhanu sedang bermain api dibelakangnya, tapi yang sebenarnya terjadi adalah Bhanu sedang menahan gejolak rakyatnya yang menginginkan agar Bhanu segera naik tahta dan meneruskan kepemimpinan sebelumnya.
Bhanu terpaksa berbohong, ia beralasan untuk meningkatkan ilmu agar bisa memimpin rakyat alam gaib dengan kuat. Itu hanya alibi untuk menutupi fakta sebenarnya, Bhanu sudah menikah dengan gadis dari alam manusia.
Dalam perjanjian kerajaan, bangsa gaib tidak boleh menikah dengan manusia. Tapi Bhanu diam-diam melanggarnya, bahkan sang Ayah pun tidak mengetahui hal ini sebelumnya.
Mahatma selaku Ayah dari Bhanu baru mengetahui rahasia putranya kala ia curiga, kenapa Bhanu terus-terusan beralasan ingin meningkatkan ilmu, sedangkan dari waktu ke waktu ilmunya hanya segitu-segitu saja, tak ada perubahan yang signifikan.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bhanu sangat mencintai Elin, Mahatma juga tak dapat memisahkan putranya dari si gadis manusia. Meskipun tahu bahwa ini salah, tapi Mahatma berusaha menutupi kesalahan putranya.
Sembari menunggu Bhanu memperbaiki semuanya, Mahatma pun kembali mengambil alih kekuasaan, ia yang memegang kendali atas rakyat. Awalnya rakyat tidak setuju, mereka hanya ingin dipimpin oleh orang baru, yakni Bhanu Cakrabuwana.
Akan tetapi dengan bujuk rayu Bhanu dibantu dengan Mahatma, akhirnya rakyat pun luluh. Mereka memberikan kesempatan untuk Bhanu agar menyelesaikan pertapaan ilmunya, sehingga semakin kuat memimpin kerajaan alam gaib.
Hubungan Bhanu dan Elin juga berjalan dengan baik, ia sempat cemas karena Elin mengandung buah hatinya. Saat itu pula ia harus mempersiapkan diri jika pada akhirnya semua rahasia akan terbongkar.
“El, tolong buka pintunya. Kasihan Manggala, dia butuh ASI darimu.” Bhanu tak berhenti membujuk Elin.
Ia sedih karena putranya kekurangan sumber makanan sehat dari sang Ibu. Manggala memang berfisik layaknya bayi bajang, bahkan ia sudah tumbuh gigi meski baru berusia tiga hari.
Seiring dengan berjalannya waktu nanti kulit Manggala akan berubah menjadi normal seperti yang lainnya. Kulit merah ini hanya sementara waktu, tidak mungkin untuk selamanya.
Manggala semakin menangsi tiada henti, bahkan suaranya sangat keras.
Bhanu bingung harus berbuat apa, sejak Manggala lahir, Elin belum pernah menyusui sama sekali. Beruntungnya Manggala memiliki ikatan darah dari sang Ayah, yang mampu membuatnya bertahan meski tak mengkonsumsi apapun.
Manggala masih kuat bertahan hidup, tapi kasihan kondisinya akan melemah jika dibiarkan terus menerus tanpa ASI.
“Aku membenci mereka.” Kalimat ini selalu Elin ucapkan ketika mendengar suara Bhanu ataupun tangisan Manggala.
Bhanu semakin tidak sabar, ia sudah membujuk Elin dengan cara memohon secara halus, tapi istrinya sama sekali tak mau menurutinya. Sudah cukup kesabarannya diuji, Manggala tetap butuh ibunya untuk mengurus serta memberikan ASI.
Tak masalah jika Elin masih membenci dirinya, yang penting adalah kebutuhan Manggala terpenuhi.
“ELIN MAHARDIKA! BUKA PINTUNYA ATAU AKU AKAN MEMAKSAMU KELUAR DENGAN CARA YANG TAK KAU SUKAI.” Suara Bhanu terdengar amat keras, kesabarannya mulai habis sehingga ia memerintah Erlin dengan nada meninggi.
Sontak saja setelah itu suasana menjadi hening, angin yang berhembus mendadak terhenti, dedaunan yang bergerak pun turut terdiam. Bahkan suara tangisan Manggala tak terdengar lagi.
Rahang Bhanu sudah mengetat dengan sempurna, ia sudah cukup memberikan Elin waktu untuk mendiamkan sang anak, tapi tidak lagi.
Di dalam kamar Elin mengepalkan tangan erat, ia membenci suara itu. Elin membenci suaminya, Bhanu Cakrabuwana.
“ELIN!” Sentak Bhanu lagi.
Ia tak habis pikir dengan kekeraskepalaan sang istri yang tega mengorbankan Manggala karena kemarahannya.
Melihat ekspresi lemah Manggala membuat Bhanu tidak tega, bagaimana pun caranya sang anak harus mendapatkan ASI dari Elin. Manggala sama sekali tidak cocok minum s**u formula, harus Elin yang langsung menyusuinya.
Tak melihat pergerakan sama sekali, emosi Bhanu sudah diujung tanggung. Ia berlari cepat sambil mengarahkan kakinya menendang pintu kamar, hingga benda penghalang itu rubuh seketika.
Elin masih duduk di ranjangnya, tubuhnya gemetar menahan rasa dendam yang membuncah dalam hatinya.
Merasa bahwa sang istri tetap ngotot tak mau keluar, Bhanu pun berinisiatif membuka paksa pintu yang menghalanginya itu.
BRAK!
Elin berjengkit kaget, ia bisa melihat bahwa pintu kamar telah rusak akibat tendangan suaminya. Kebencian Elin semakin menjadi-jadi, pria itu seakan tak memiliki salah dengan bertindak seenaknya.
Hal yang pertama kali Bhanu lihat adalah kamar acak-acakan, vas bunga pecah berkeping-keping dan tak layak huni. Di atas kasur terdapat Elin yang duduk sambil menatapnya penuh kebencian, pipi Elin menjadi tirus, bibirnya juga kering pecah-pecah.
Untuk sejenak saja Bhanu tidak tega memarahi istrinya, ia mencintai Elin dengan teramat. Bahkan selama ini Bhanu selalu memanjakan Elin, tak pernah membentak sekalipun ketika keduanya sedang berbeda pendapat.
Kemarahan Bhanu mulai menyurut, bagaimana pun juga Elin masih dalam keadaan terguncang. Bhanu mendekati Elin dengan penuh kasih sayang, tangannya masih menggendong Manggala yang semakin anteng karena didekatkan dengan sang ibu.
“Istriku, maafkan aku karena telah mengecewakanmu.” Emosi Bhanu telah mereda, digantikan dengan sorot penuh penyesalan.
Elin bahkan lebih menderita darinya karena selama ini dibohongi. Elin membuang muka, tidak sudi menatap suaminya.
Hati Bhanu tercubit, sebegitu bencinya kah Elin pada dirinya?
“Baik, tidak apa-apa jika kau membenciku. Namun, jangan ikutkan anak kita dalam permasalahan ini, dia tidak salah apapun.” Bhanu memohon dengan raut memelas. Tidak apa-apa jika Elin membenci dirinya, tapi ia berharap agar Elin tetap menyayangi putra mereka selayaknya anak-anak normal pada umumnya.
Hati Elin sama sekali tak tergerak, ia sungguh-sungguh menaruh dendam besar pada suaminya serta anak silumannya.
“El, berikan Manggala ASI. Sudah sejak tiga hari ini ia kelaparan, ia butuh kasih sayang darimu juga." Bhanu bergerak mendekat ke pinggiran ranjang istrinya, menyodorkan Manggala yang sedang terpejam.
Elin mendongakkan kepala, menatap Bhanu dengan pandangan sinis.
Ia bangkit berdiri meraih wadah kotak yang didalamnya ada dot-dot yang berisikan ASI perahannya. Elin melempar wadah itu tepat di kaki Bhanu, Bhanu menatap Elin dengan pandangan tidak mengerti.
“El, kenapa?”
Elin menyugar rambut kusutnya ke belakang.
“Bukankah itu yang kamu mau? Stok ASI itu cukup untuk membuat anakmu kenyang, sekarang enyahlah dari hadapanku. Bawa Manggala bersamamu dan kita berpisah detik ini juga.” Elin sudah memikirkan hal ini secara matang-matang, ia ingin berpisah dari Bhanu.
Selama tiga hari merenungi nasibnya yang malang, Elin tak tahu harus bagaimana lagi. Ia juga takut jika sewaktu-waktu Bhanu menjadikan dirinya tumbal hingga membunuhnya, bukankah makhluk gaib sangat licik?
Akan lebih baik jika keduanya berpisah. Elin takkan sanggup hidup bersama dua siluman itu, ia ingin hidup sendiri saja.
Elin merasa dibohongi, Bhanu sengaja mengajaknya tinggal di pinggiran hutan yang terkenal akan keangkerannya, ternyata karena pria itu adalah bagian dari makhluk gaib tersebut. Ya, rumah mereka berada tepat diperbatasan hutan, paling ujung dibandingkan rumah-rumah lainnya.
Kediaman yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen-ornamen khas memang tampak indah dan sangat nyaman untuk dihuni, terlebih lagi ada banyak pohon rindang mengelilinginya. Kehidupan mereka sangat bahagia dan baik-baik saja, Bhanu bekerja selayaknya manusia normal dan pulang ketika malam.
Semua kebutuhan Elin juga tak pernah kekurangan, meskipun ia tinggal jauh dari kota, tapi Bhanu memberikan peralatan-peralatan rumah tangga seperti yang di kota.
Bisa dikatakan kebutuhan Erlin sangat amat tercukupi, tidak pernah sekalipun ia kekurangan uang ataupun hal-hal lain. Bhanu sering membelikannya perhiasan mewah, tas mewah dan sepatu yang bernama.
Namun, kini keputusannya sudah bulat. Setelah berpisah dengan Bhanu, Elin akan kembali ke kota dan mencari tempat tinggal untuknya.
ASI itu sudah ia perah sejak satu jam yang lalu setelah memutuskan untuk berpisah dari sang suami. Elin merasa jijik jika harus menyusui Manggala yang berwarna merah, dengan dua tanduk di sisi kepalanya.
Ia benar-benar tidak sanggup. Selain itu, Elin juga merasakan babby blues, terkekan dan frutasi saat yang bersamaan.
Bhanu menatap istrinya dengan tidak percaya, kenapa Elin berkata demikian? Tidak pernah terlintas di pikiran Bhanu sedikitpun bahwa ia akan berpisah dengan Elin, Bhanu ingin pernikahannya bersama Elin langgeng hingga maut memisahkan.
Seolah mengerti dengan pertengkaran Ayah dan Ibunya, Manggala pun menangis lagi. Elin meliriknya dengan pandangan datar, ada setitik rasa keibuannya yang menyuruhnya untuk mendekap bayi mungil tak berdosa itu.
Namun, sisi lirnya meminta Elin agar membenci bayi itu. Dua sisi yang berbeda terngiang-ngiang di kepala Elin, membuat emosinya cepat naik.
Elin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ya, ia harus membencinya. Elin harus membencinya.
“El, katakan bahwa ini tidak serius?” Bhanu masih tidak percaya jika istrinya meminta berpisah.
Elin bersedekap tangan. “Kita benar-benar berpisah, aku tidak sanggup hidup dengan pembohong sepertimu dan juga anak silumanmu.”
“Jaga bicaramu, El! Bagaimana pun juga Manggala adalah anak kita, dia berkembang dan lahir dari rahimmu.” Bhanu tidak akan rela jika anaknya dihina oleh orang lain, termasuk Elin sendiri.
Seketika itu Elin langsung teringat masa-masa dirinya hamil, Elin sangat menantikan buah hatinya, mengelus perutnya tiada henti. Menantikan kelahiran Manggala, tapi pada kenyatannya kelahiran Manggala tidak membuatnya bahagia, justru menderita.
Tapi rasa kebenciannya sudah dalam, mengubur jalinan cinta antara ibu dan anak.
“Aku ingin berpisah denganmu, bawa Manggala bersamamu.” Keputusan Elin sudah bulat, ia tak mau mengubahnya lagi.
“Apa hanya karena masalah itu kamu tega menyia-nyiakannya? Kau berubah menjadi egois, El.” Selak Bhanu pada Elin.
Elin tentu saja tidak terima.
“Aku seperti ini juga karenamu, Bhanu! Seandainya kamu tidak membohongiku, pasti hidupku tidak akan sesuram sekarang. Kita berbeda, aku tidak mau menyalahi takdir.”
“Tuhan merestui kita, apalagi yang kamu tunggu?”
“Tapi aku tidak! Aku tidak mau mempunyai suami dan anak dari bangsa jin, aku manusia. Terlebih lagi aku tak suka melihat Manggala, dia mengingatkanku pada kebohonganmu.” Tukas Elin dengan cepat.
Bhanu merasakan sakit hati atas ucapan Elin, tapi ia tak berbuat banyak karena perkataan Elin sesungguhnya adalah fakta.
Melihat buntalan bayi berkulit merah, rasanya membuat bulu kuduk Elin meremang. Akan menjadi bagaimana rupa bayi itu nantinya? Apakah menjadi sosok genderuwo yang ditakuti orang?
Elin bergidik ngeri, ia tak sanggup membayangkannya. Selain itu Elin juga tak sanggup merawatnya, Elin akan merasa jijik terus-terusan.
Memang lebih baik ia dan Bhanu berpisah.
“Keputusanku sudah bulat. Kita berpisah, asuh lah Manggala bersamamu.” Elin telah menunjukkan raut wajah seriusnya, ini berarti bahwa keputusannya tidak dapat diganggu gugat.
Bhanu menelan ludahnya bagaikan sekam, apakah kisah rumah tangganya akan berakhir semenyedihkan ini?
Namun, tidak ada jalan keluar lagi.
“Baik, kita berpisah. Tapi aku tidak akan melepasmu begitu saja, jaga dirimu baik-baik. Manggala akan aku bawa, ketika kau berubah pikiran nantinya, silahkan temui kami.” Balas Bhanu.
Entah kenapa saat mendengar perpisahan itu hati Elin memanas, ada rasa yang tak ingin kehilangan. Namun, di sisi lain ia juga tak bisa hidup bersama kedua orang itu secara terus menerus.
Bhanu mempererat gendongan Manggala, ia juga memungut perahan ASI Elin yang sudah diletakkan pada botol-botol dot.
Bhanu menatap pada anaknya, lalu Elin secara bergantian.
Elin menahan lelehan air matanya yang ingin keluar, sebisa mungkin ia tak mau terlihat sedih.
Menghela napas kasar, Bhanu pun berbalik badan.
“Aku pergi.”
Tanpa membawa apa-apa selain perahan ASI, Bhanu keluar dari kamar dengan langkah tegap. Mungkin hubungan rumah tangganya tak dapat diperbaiki lagi.
Melihat punggung Bhanu yang sudah ditelan oleh belokan pun membuat Elin meluruh, tubuhnya jatuh di lantai, ia terisak.
Apakah keputusannya sudah benar? Apakah Elin akan bahagia dengan kepergian anak dan suaminya?
Semoga saja Elin tidak menyesali keputusannya.