6 - KISAH DUA ALAM

2170 Words
Hari ini Elin akan langsung memulai usahanya, seperti biasa pagi-pagi sekali ia sudah terbangun, membuat adonan dengan jenis roti beraneka ragam. Wanita itu terlihat lebih segar auranya dibandingkan sebelum-sebelumnya.  Pukul Sembilan pagi akhirnya semua adonan yang ia buat sudah berubah menjadi roti-roti bemacam-macam jenisnya. Elin menghela napas pelan, meskipun lelah, tapi ia puas dengan hasilnya.  Tinggal menata roti-roti itu di etalase toko. Barisan pertama akan diberikan roti pisang cokelat, lalu barisan kedua roti brownies, dan barisan ketiga roti isi fla vanila.  “El, sudah mulai buka?” tanya Bu Endah yang sedang menyapu halaman rumahnya.  Elin mendongak ke sumber suara lalu mengangguk dengan senyuman cerah.  “Semangat, semoga laris manis.” Bu Endah memberikan semangat untuk wanita itu.  “Iya, terima kasih, Bu.”  Rak etalase sudah terlihat penuh, papan dan banner bertuliskan ‘Roti Bu Sri’ pun sudah melekat sebagai penanda atas kembalinya snack legendaris itu. Tak lupa Elin juga mempromosikan jualannya ke sosial media, beberapa pembeli yang pernah b**********n pun mengomentari postingannya, mereka sangat antusias mendengar kabar roti favoritnya sudah buka lagi.  Pembeli mulai berdatangan untuk memborong roti-roti itu, Elin sempat kewalahan melayani pembeli, tapi sebisa mungkin ia bekerja dengan profesional. Hanya dalam kurun waktu 5 jam sejak ia membuka toko, rotinya hampir ludes habis.  “Saya sudah lama b**********n roti Bu Sri, akhirnya Mbak Elin jualan lagi.” Ibu-ibu berkerudung merah itu berucap sambil memperlihatkan roti favoritnya yang sudah ia beli.  Elin mengulas senyumnya. “Terima kasih karena sudah menjadi langganan roti kami, semoga selalu memuaskan.”  “Buatan kamu juga enak, pasti anaknya juga punya keahilan yang nggak jauh beda dari ibunya.” Sahut ibu muda yang menggendong balita, tampak wanita itu mengunyah roti brownies yang melumer di mulut.  Mendengar pujian demi pujian yang terlontar membuat Elin terharu, usaha ibunya benar-benar dirindukan banyak orang. Ia agak sedikit menyesal kenapa tidak dari dulu melanjutkan toko roti ini dan malah memilih bekerja di perusahaan? Sebelum akhirnya keluar karena hendak menikah dengan Bhanu.  Elin menggelengkan kepala pelan saat lagi-lagi otaknya memikirkan mantan suaminya itu. Entah kenapa meskipun mereka sudah berjauhan, tapi Elin masih bisa merasakan keberadaan Bhanu disekitarnya, hal ini sering kali membuat bulu kuduknya meremang secara tiba-tiba.  Akhirnya pembeli terakhir pun pamit pergi, tinggal lah Elin sendiri yang ada ditokonya. Roti-roti buatannya hanya tersisa dua biji, ia sangat bersyukur karena di hari pertamanya ini pembeli sangat membeludak, ia tidak menyangka sama sekali sebelumnya.  Saat wanita itu sedang berkutat membereskan etalase, ia merasa ada yang tengah mengawasinya. Benar saja ketika itu juga Elin mendongak menatap ke gerbang depan sana, ada seorang pria baya tengah menatap dirinya dari kejauhan. Elin mengernyitkan dahinya, ia tampak asing dengan sosok itu.  “Dia siapa?” gumamnya dengan diri sendiri.  Elin berusaha untuk mengabaikan, tapi lama-lama ia risih juga karena setengah jam pria itu berdiri di gerbang rumahnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah dirinya. Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri pria tua itu.  “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya Elin blak-blakan.  Pria tua itu menatap Elin lama sambil tersenyum simpul. “Apa kamu memiliki makanan yang bisa ku makan, Nak?”  Elin mengangguk cepat. “Tunggu sebentar, akan saya ambilkan.” Elin berbalik kembali ke tokonya, sisa dua roti itu ia berikan pada pria tua tersebut.  “Ambil untuk bapak,” ucapnya sambil menyerahkan dua bungkus roti isi pisang cokelat itu.  Pria itu lagi-lagi menatap Elin lama, kali ini ditambah dengan tatapan menyelidik dari atas hingga bawah, membuat Elin bergerak tidak nyaman. Tiba-tiba saja Elin merasa merinding meski tidak ada terpaan angin sama sekali, bulu kuduknya juga meremang. “Terima kasih, kamu baik dan cantik, pantas saja jika dia sangat mencintaimu.” Pria tua itu mengangguk-anggukkan kepala paham. “Maaf, maksudnya bagaimana?” Elin tidak menangkap makna yang diucapkan pria tua itu. Siapa yang sangat mencintainya? Pria tua itu hanya tersenyum simpul sebagai jawaban.  Dari arah jalanan desa, ada suara deru motor mendekat ke rumah Elin, sontak saja wanita itu mengalihkan tatapannya.  “Hallo, El. Kita berjumpa lagi,” teriak Venda yang masih mengendarai motornya, gadis itu menyengir dengan lebar menyapa temannya.  Elin memutar bola matanya jengah, Venda suka sekali berteriak-teriak dengan suara melengking.  Saat Elin kembali mengarah ke depan, ia sungguh-sungguh syok karena pria tua tadi sudah menghilang. Tidak mungkin secepat itu, seharusnya masih terhalang oleh pintu gerbang.  Elin bahkan sampai menatap ke arah jalanan desa, tidak ada jejak-jejak tanda keberadaan pria tua itu. Ini tidak beres, Elin yakin ia sedang tidak berhalusinasi.  Deru suara motor Venda berhenti tepat di depan gerbang rumah Elin, gadis itu mengikuti arah pandang temannya yang sedang asyik meneliti jalanan.  “El, cari siapa?” tanya Venda sembari melepaskan helm miliknya.  “Ve, kamu tadi lihat bapak-bapak tua yang sedang ngobrol sama aku?”  Venda menatap Elin lama, ia terlihat bimbang untuk menjawabnya. Sebenarnya Venda juga melihat sosok itu, tapi tidak mungkin ia mengatakan pada Elin secara terang-terangan, khawatir jika Elin takut dan cemas nantinya.  “Hah, yang mana? Nggak ada siapapun kok, cuma kamu aja yang dari tadi berdiri di sini.” Venda mengelak.  Elin memincingkan mata menatap Venda, ragu dengan jawaban gadis itu.  “Bagaimana hari pertama toko kamu, ramai pembeli?” Venda mengalihkan pembicaraan, ia juga turun dari motornya lalu berjalan masuk ke halaman rumah Elin.  Si empunya rumah mengembuskan napas kasar. Venda tidak melihat sosok pria tua itu, tapi tidak mungkin Elin berhalusinasi. Buru-buru ia kembali melihat etalasenya, ajaib! Dua roti pisang cokelat tadi masih bertengger manis di sana, melihat hal itu refleks membuat Elin pucat pasi.  Tangannya gemetar, tubuhnya lemas. Tidak mungkin yang datang tadi adalah hantu kan? Apalagi ini masih siang bolong. Venda melongokkan kepalanya melihat dagangan temannya, hampir habis, hanya tersisa dua buah roti saja. Ini artinya dagangan Elin ramai pembeli, ia ikut senang melihatnya.  “Syukur deh habis, hari pertama lancar.” ujar Venda. Mendapati Elin yang tak kunjung masuk ke tokonya, membuat Venda membalikkan badan melihat temannya itu. Elin tengah berdiri mematung di bawah sinar matahari yang cukup terik, dilihatnya sekujur tubuh Elin yang gemetar.  Venda paham kenapa Elin begitu, sepertinya sosok tadi berhasil membuat temannya syok! Gadis setengah tomboy itu menepuk pundak Elin untuk menyadarkan temannya.  “El?”  Seketika Elin terkesiap, buru-buru ia mengerjapkan mata sambil menatap Venda.  “Duduk dulu ayo,” ajak Venda. Gadis itu membantu Elin duduk di kursi toko, tak lupa Venda juga mengambilkan sebotol air minum untuknya.  Elin meneguk air mineral itu dengan susah payah. Venda yang melihat keterkejutan Elin merasa tidak enak hati jika harus terus-terusan menutupi apa yang ia ketahui.  “El, sebenarnya aku tau sesuatu.” Venda berbisik dengan pelan.  Elin yang saat itu berada tepat disampingnya pun segera menoleh pada temannya. “Tau tentang apa, Ve?”  “Aku juga lihat pria tua yang ngobrol sama kamu tadi,” tukasnya.  “Beneran kan? Kenapa tadi bilang nggak liat.”  Venda mengusap tengkuknya yang tidak gatal, bingung bagaimana menjelaskannya.  “Jadi gini, sejak aku disuruh Abah buat urus urus pondok praktisi ruqiyah lama kelamaan aku bisa melihat mereka.” Dua jari telunjuk Venda bergerak membentuk tanda kutip.  “Lalu?”  “Pria yang ngobrol sama kamu tadi bukan manusia, dia berasal dari golongan gaib.”  Elin menelan ludahnya susah payah, pantas saja jika sejak tadi ia merasa merinding.  “Tapi bagaimana mungkin ada hantu di siang bolong begini?”  “Bisa, karena dia termasuk makhluk yang cukup kuat dan berkasta tinggi. Aku nggak tau apa tujuan dia sampai nampakin diri ke kamu, tapi sejak masuk ke rumah kamu kemarin aku merasa ada aura kuat yang melindungimu.” Venda menjelaskan panjang lebar dan detail.  Elin terdiam mendengar penuturan Venda. Siapa orang tadi, lalu apa hubungannya dengan melindungi rumah ini?  “El, kamu percaya hal-hal gaib?” tanya Venda, pasalnya saat mereka masih SMA dulu Elin tidak mempercayai hal-hal yang bersinggungan dengan gaib.  Elin menatap mata Venda dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya karena mengalaminya sendiri.”  “Maksud kamu?” Venda kini tertarik dengan penuturan temannya.  “Suami dan anakku berasal dari golongan mereka,” tukas Elin. Sejujurnya ia tidak ingin membahas hal ini karena termasuk aib keluarga, tapi nampaknya Venda bisa diandalkan dalam urusan gaib. Bibir Venda refleks terbuka lebar, ia juga memiringkan kepalanya saking kagetnya.  “Hahaha, jangan becanda kamu, El. Sumpah nggak lucu,” sahut Venda sambil terkekeh. Teman SMA-nya yang dulu sangat sangsi dengan keberadaan makhluk gaib, justru malah menikah dengan golongan mereka? Hahaha ada-ada saja.  Elin menunjukkan raut wajah serius. Mendapati ekspresi temannya itu, Venda langsung menghentikan tawanya.  “Oke serius, kamu benar-benar menikah dengan salah satu dari mereka?”  “Awalnya aku juga nggak tau, hingga akhirnya anak kami lahir dan ia tidak ada kemiripan denganku sama sekali. Anakku berkulit merah serta memiliki sisik dibagian tubuhnya, terkadang juga muncul dua tanduk kecil di sisi kanan kiri kepalanya. Kamu bayangkan itu, betapa syoknya diriku ketika mengetahui bahwa putraku berbeda.” Elin bercerita dengan menggebu-gebu, sembari membayangkan betapa mengerikan fisik putranya.  Jika boleh jujur, hingga detik ini Elin belum bisa menerima keadaan putranya dengan ikhlas.  Venda mendengarkan ucapan Elin dengan bersungguh-sungguh.  “Kamu nggak melakukan perjanjian gaib kan?”  Elin menggeleng. “Aku bertemu Bhanu saat mendaki gunung, aku tersesat dan Bhanu menyelamatkanku. Sejak saat itu hubungan kami semakin dekat hingga memutuskan untuk menikah. Sampai saat kelahiran Manggala, aku baru tau kebenarannya. Lalu aku memutuskan untuk berpisah darinya dan memilih jalan hidup sendiri, aku meminta Bhanu agar dia merawat Manggala.” “Dalam kasus ini, kamu memang nggak tau asal-usul suami kamu, jadi bukan termasuk perjanjian gaib. Ada satu kasus yang pernah ditangani Abah, jadi si wanita itu melakukan perjanjian gaib dengan bangsa jin lalu menikah, demi pesugihan. Akhirnya si wanita ini sulit terlepas dari ikatan perjanjian itu, banyak jin-jin yang sengaja menjebak manusia agar bersekutu dengan mereka.” Venda sedikit menceritakan pengalaman ruqiyah yang pernah ayahnya tangani.  “Syukur lah kalau begitu. Aku benar-benar nggak tau siapa dia sebelumnya, setelah tau pun aku meminta untuk pisah.” Elin mengendikkan bahunya. “Tapi, El. Apa kamu yakin suamimu benar-benar melepaskanmu?”  Pertanyaan Venda kali ini juga membuat Elin bimbang.  “Terakhir perdebatan kami, aku memintanya untuk pergi sambil membawa Manggala bersamanya. Setelahnya aku juga pindah ke rumah ini, aku pikir mungkin Bhanu memang sudah benar-benar pergi jauh dariku.”  Venda menggeleng pelan. “Aku nggak yakin. Kamu memiliki aura yang cukup kental, Bhanu masih ada disekitarmu dan melindungimu.”  “Ve, jangan membuatku takut.”  Venda meniup poni rambutnya sebal. “Apa yang kamu takutkan dari suami sendiri? Yah walaupun kalian berbeda, tapi aku merasa kalau Bhanu beneran sayang dan cinta sama kamu. Dari kasus-kasus yang pernah terjadi, biasanya golongan mereka hanya ingin menjebak manusia pada hal duniawi semata, tapi untuk kasusmu dan Bhanu ini sangat berbeda. Kalian berdua saling mencintai dengan tulus, tidak ada perjanjian gaib yang merugikan salah satu dari kalian.” Elin mendengar penjelasan Venda yang panjang dan cukup rumit.  “Tapi Ve, aku nggak bisa menerima perbedaan kami. Bagaimana jika Bhanu atau Manggala menyakitiku? Bagaimana kalau mereka berniat membunuhku suatu hari nanti.”  “Dia suami kamu El, Manggala juga darah daging kamu, mana mungkin mereka menyakitimu? Bahkan sekarang aku bisa merasakan kalau mereka masih mengunjungimu.”  Elin takut, cobaan apa lagi ini?  “Beberapa hari yang lalu aku bermimpi mendengar suara anak kecil, dia sangat mirip dengan Manggala. Anak itu ingin meraihku dan memelukku, tapi aku menghempaskannya begitu saja karena merasa jijik.” Elin juga menceritakan mimpinya. “Aku yakin dia pasti anak kamu. Manggala merindukan ibunya, berapa usia Manggala ketika kamu meninggalkannya?”  “Tiga hari.”  Mata Venda membulat terkejut. “Gila-gila! Bocah tiga hari kamu tinggalkan begitu saja? Astaga El, aku benar-benar tidak habis pikir. Wajar jika ia mendatangimu dalam mimpi, ia butuh kasih sayang dan ASI dari kamu.” Mendengar kata ASI sontak saja membuat alarm di otak Elin bekerja. Kembali ia meraba dadanya, satu persatu kejadian ia kaitkan dengan perlahan hingga terbentuk sebuah asumsi.  “Ve, kayaknya omongan kamu benar. Bhanu nggak pergi begitu aja, dia masih mengikutiku sampai ke rumah ini.”  “Saranku untukmu, meskipun Bhanu pernah menyembunyikan identitasnya darimu, tapi jangan libatkan Manggala dalam kesalahan itu. Anakmu butuh dirimu, aku juga nggak membenarkan pernikahan beda alam kayak gini. Tapi gimana lagi di antara kalian sudah ada pengikat murni, Manggala buah cinta kalian.”  “Jadi, apa aku selamanya akan terikat dengan Bhanu?”  “Bisa saja begitu, karena ada Manggala yang menjadi bukti kisah cinta kalian. Apalagi suamimu juga enggan melepaskanmu secara suka rela, ia sudah cinta mati padamu.”  Bahu Elin meluruh seketika, kenapa jadi rumit seperti ini? Ia kira setelah pergi dari rumah pinggiran hutan itu kehidupan Elin berjalan dengan damai di rumah ini, ternyata tidak semudah perkiraannya! “Lalu apa yang harus ku lakukan, Ve?”  “Jalani saja dulu, jangan mengindar-hindar lagi. Manggala adalah tanggung jawab kalian berdua meski dia berbeda darimu. Kamu adalah ibunya, belajar lah menjadi ibu yang baik bagi putramu.” Venda mengangguk mantap. Untuk saat ini yang perlu Elin lakukan adalah menerima takdirnya, sulit untuknya terlepas dari ikatan cinta Bhanu.  Mendengar jawaban dari Venda tidak sepenuhnya membuat Elin lega, justru ia kembali was-was, haruskah dirinya bertemu dengan Bhanu dan Manggala lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD