Elin duduk diam sambil mengaduk sepiring nasi yang terhidang di depannya, sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang dagu, sementara pikirannya sedang kalut.
Kejadian hari ini benar-benar membuatnya kecewa, mau marah pun ia tak bisa seolah kehilangan kata-kata. Jadi, diam adalah solusi.
“El, kenapa hanya diaduk-aduk?” Bhanu muncul dari pintu masuk menuju dapur istana.
Ya, Elin memilih untuk makan di dapur langsung, daripada harus ikut berkumpul diruang makan bersama dengan orang-orang asing baginya itu.
Wanita itu hanya melirik suaminya dengan cuek. Bhanu duduk di kursi makan, menatap istrinya dengan senyum merekah sempurna.
“Makan, Sayang. Kamu tidak kenyang kalau cuma ditontonin doang makanannya.”
Elin menghentikan gerakan tangannya, sendoknya pun ikut terjatuh pada piring hingga menciptakan suara berdenting. Merasa ada yang aneh dari perilaku istrinya, Bhanu segera melayangkan pertanyaan.
“Kamu kenapa? Ayo cerita.”
“Tadi di aula ramai banget, ada apa?” Elin memilih untuk berpura-pura tidak tahu, menguji kejujuran suaminya.
Bhanu mengalihkan pandangannya, ia bingung haruskah jujur mengenai kejadian tadi?
“Bhanu? Kenapa diam aja.” Elin mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan wajah sang suami saat melihat pria itu terdiam sejenak.
“Ada pertemuan mendadak dan yah usulan-usulan dari rakyat.”
“Ohh begitu, memangnya usulan apa?”
“Hanya masalah kecil.”
Ingin rasanya Elin berteriak lantang bahwa Bhanu adalah pembohong. Masalah kecil katanya? Wah gila, ini menyangkut nyawanya tapi suaminya itu bertindak seolah-olah tak peduli keselamatannya.
Bhanu diam-diam merutuki ucapannya, dalam hati ia sangat menyesal telah menyembunyikan hal ini dari Elin. Tidak, tidak selamanya Bhanu akan berbohong, nanti akan ada saatnya untuk ia berkata jujur pada Elin.
Tangan Elin yang sudah berada di bawah meja pun mengepal dengan erat, kuku-kukunya yang panjang pun menusuk kulitnya hingga mengeluarkan darah segar.
“Ayo dimakan, El.” Bhanu menunjuk sepiring nasi lengkap beserta lauk pauknya.
Daging domba bakar yang menggugah selera tidak ada artinya dimata Elin. Memang tampak menggiurkan, tapi selera makannya sudah hilang.
Secara khusus Bhanu memang meminta pelayan dapur untuk membuatkan makanan khas manusia untuk Elin, semua kebutuhan wanita itu sudah terpenuhi.
Mau tak mau Elin pun mengambil kembali sendoknya dan menyuapkan nasi ke dalam mulut.
“Enak?”
“Hmm,” balas Elin dengan bergumam.
Mata setajam elang itu menelisik di antara tangan istrinya lalu berkata, “Tangan kamu luka, kenapa ini?”
Secepat kilat Bhanu segera meraih tangan lembut istrinya. Elin ingin menarik tangannya, tapi pria itu menahannya.
“Ini hanya masalah kecil, lukanya nggak seberapa.” Sebisa mungkin Elin melengkungkan bibirnya, meyakinkan Bhanu bahwa dirinya baik-baik saja.
“Letakkan sendoknya, aku akan menyuapi dirimu.”
“Eh?”
Tanpa menunggu persetujuan dari sang istri, Bhanu mengambil alih sendok itu dari tangan istrinya. Selanjutnya ia menyendokkan nasi beserta lauk dan segera meminta Elin untuk menelannya.
“Buka mulutmu.”
Elin tidak bisa membantah lagi, ia hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Dengan perlahan lama-lama sepiring nasi beserta lauk pun habis, Bhanu senang melihat istrinya lahap.
“Sejak pindah ke sini kamu kelihatan kurus, apa di sini tidak membuatmu bahagia?” tanya Bhanu setelah kegiatan makan usai.
Bhanu baru menyadari satu hal, postur tubuh Elin lebih ramping dibandingkan sebelum ia tinggal di istana.
“Mungkin hanya perasaanmu saja, aku memberi ASI untuk Manggala, wajar jika berat badanku terpengaruh.” Elin mengusap tangan Bhanu untuk menenangkan, tak ingin suaminya berpikir macam-macam meskipun memang faktanya ia tak bahagia tinggal di alam asing ini.
“Maaf karena memaksamu untuk tinggal di istana.”
“Bukan salahmu, ini adalah takdir yang kuasa.”
Tanpa mereka sadari sejak tadi ada seseorang yang menguping pembicaraan antara Bhanu dan Elin, sosok itu sembunyi dibalik rak dapur.
Hatinya merasa cemburu ketika melihat sepasang sejoli tengah bermesraan dan penuh cinta, sementara dirinya harus tinggal terpisah dari pria tersayangnya.
Ya, siapa lagi jika bukan Gendis. Sengaja malam ini ia menyelinap masuk ke istana utama untuk mengobati rasa rindu terhadap si pujaan hati. Tapi melihat Bhanu bersama ratunya membuat ia kesal, semakin besar pula kebenciannya terhadap Elin.
Keputusan Bhanu dalam membebaskan Gendis bukan cuma-cuma, Gendis diberikan sanksi berupa tinggal di istana lain yang jaraknya cukup jauh dari istana utama. Bhanu berniat untuk menjauhkan Gendis dari Elin, serta agar Elin tak mengetahui bahwa wanita itu telah bebas dari tahanan.
Sanksi yang diberikan Bhanu cukup membuat wanita itu geram, bagaimana bisa Gendis berjauhan dari pria itu?
Selama ia bebas, maka Gendis akan memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Bhanu semaksimal mungkin. Gendis merasa di atas angin karena Bhanu membebaskan dirinya tanpa memberitahukan masalah ini dengan ratunya, ia jadi bertambah semangat untuk merebut Bhanu ke dalam pelukannya.
“Elin yang malang, suamimu akan jatuh ke dalam pelukanku.” Ia menyeringai tipis, sebelum akhirnya pergi dari sana menuju ke tempat gelap.
“Aku sudah memutuskan untuk mengunjungi alam manusia besok, apakah boleh?” Digigitnya bibir bawahnya dengan erat, takut jika jawaban suami tidak memuaskan dirinya.
“Tentu saja, kamu boleh datang kapan pun. Jika aku tidak berada di istana, kamu bisa mengatakannya pada Damar agar aku tahu.” Sebagai suami sekaligus raja ia akan menepati janjinya. Tidak ingin mengekang istrinya atau menahan Elin untuk tetap di istana.
“Benarkah? Aku juga akan membawa Manggala.”
“Iya, Damar akan mengantarkanmu. Maaf aku tidak bisa menemanimu ke sana karena urusan istana banyak yang harus ku kerjakan.”
“Apakah menjadi raja membuat waktumu sangat terbatas?”
“Permasalahan rakyat, pemerintahan, ataupun hal-hal lain membuatku sangat terhimpit. Tapi percayalah, sesibuk apapun aku akan tetap meluangkan waktu untuk istri dan anakku.”
“Kamu adalah raja, yang perlu diutamakan adalah kesejahteraan rakyat. Aku bisa paham kok, tenang aja!”
“Terima kasih sudah memahamiku.”
Sementara itu di ruang redup seorang masuk melewati jendela yang terbuka, setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya baru lah ia menutup tirainya.
Ia menyingkap bajunya dengan kasar, wajahnya masih memerah menahan amarah.
“Baru kembali, Nona Gendis?” Tiba-tiba saja ada sebuah suara diruangan itu, sosok yang awalnya tak terlihat pun kini perlahan-lahan menampakkan wujudnya.
Postur tubuhnya pria, ada dua tanduk yang muncul dari sisi kepalanya. Wajahnya dipenuhi oleh bulu-bulu kasar, sudut bibirnya juga mencuat taring pendek.
“Pangeran Arya, apa yang kamu lakukan dikamarku?” Gendis menggunakan nada tinggi.
“Aku? Tentu saja untuk menagih janjimu.” Itu memang Arya dalam wujud gaibnya. Wajahnya sangat sangar, tubuhnya juga tinggi tegap.
Gendis menatap Arya dengan tatapan menelisik. “Janji apa yang kamu bicarakan?”
“Hahaha.” Arya tertawa dengan keras, mengejek wanita yang ia tolong itu.
“Anak buahmu itu menawarkan kesepakatan yang menggiurkan, jangan harap dirimu bisa bebas jika bukan karena bantuanku!”
Jika boleh jujur Gendis sangat benci pada Arya yang licik dan penuh tipuan, tapi ia tak bisa mangkir dari janji.
“Baik, apa yang kamu inginkan dariku?” Karena tak bisa menghindari Arya terus-terusan akhirnya Gendis pun harus melunak.
“Bantu aku menyingkirkan anak sialan itu.” Arya memajukan kepalanya agar lebih dekat dengan telinga Gendis, membuat wanita itu berdecak dalam hati.
Otak Gendis langsung mencerna dengan cepat, tidak ada orang lain selain satu anak kecil.
“Maksudmu Manggala?”
“Benar.”
“Kamu gila? Meskipun aku membenci mereka, mana mungkin aku membunuh anak kecil.” Gendis segera memalingkan wajah.
Rencananya ia hanya akan menyingkirkan Elin, bukan Manggala. Baru setelah Elin mati maka Gendis bisa mengajukan diri sebagai ibu pengganti yang akan merawat Manggala hingga dewasa, dengan begitu maka Bhanu pasti tidak bisa mengabaikannya lagi.
Selain hal itu, bagaimana pun juga ia pernah mengandung seorang anak meski gagal. Ia pernah menjadi ibu, rasanya tidak tega jika harus mengambil nyawa anak-anak.
“Kamu harus mau, Manggala harus mati.” Gerakan cepat Arya mencekik leher Gendis, menghimpit wanita itu pada dinding.
Gendis tersengal tak bisa bernapas, selain itu lehernya juga terasa panas karena Arya menggunakan kekuatan api untuk meremukkan lehernya.
“Lepas!” Ia meronta sekuat tenaga, tapi rupanya kekuatan Arya lebih besar.
Saat seperti ini Gendis menyesal karena Banyu meminta bantuan pada Arya, sudah ia duga bahwa Arya adalah makhluk menjijikkan yang penuh dengan kekejaman.
“Bunuh Manggala, maka hidupmu akan aman ditanganku.” Sekali lagi Arya berbisik dengan nada penuh ancaman ditelinga Gendis.
Tak ada pilihan lain selain berkata, “Ya.”
“Pilihan yang cerdas.” Setelah mendengar perkataan Gendis, ia pun melepaskan leher wanita itu dengan terbatuk-batuk serta menghirup udara dengan rakus.
“Dasar licik.”
“Silahkan mengumpatiku, aku tidak peduli.”
Arya pun melenggang pergi dari kamar Gendis, ia akan memberitahukan rencananya nanti, yang pasti harus memastikan bahwa tidak ada Elin ataupun Bhanu di sisi Manggala agar rencana penculikannya berhasil.