Hari ini Bhanu akan memperkenalkan Elin pada rakyat kerajaannya, Damar sudah diminta untuk mengumpulkan bangsanya di halaman samping istana yang luas.
Sementara itu Elin dan Manggala tengah bersiap, setelah memandikan sang anak lalu mengenakan pakaian khas kerajaan ini, Elin pun membawa Manggala dalam gendongannya.
Bhanu masuk ke dalam kamar, dilihatnya sang istri dan anak yang sudah rapi lalu menghampiri mereka.
Raut wajah Elin terlihat gusar, ia gugup melebihi perkenalan sebelumnya. Kali ini Bhanu akan membawanya menemui banyak orang, otak Elin mulai berpikir yang tidak-tidak.
“Kenapa istriku terlihat murung?” Bhanu menatap Elin dengan bertanya-tanya.
“Aku takut,” cicit Elin.
“Mereka tidak akan menyakiti kalian, aku sendiri yang menjaminnya. Cepat atau lambat pasti keberadaanmu akan diketahui oleh mereka, lebih baik mulai dari sekarang aku memperkenalkan kalian secara langsung padanya.” Untuk mengatasi informasi yang tak jelas sumbernya, lebih baik ia sendiri yang memberitahukan perihal Elin pada rakyat.
Elin mengembungkan pipinya. “Baiklah.”
Bhanu menyambut Elin dengan gembira, ia langsung memegang tangan istrinya dan diajak untuk keluar ke halaman samping. Di sana juga sudah ada beberapa anggota istana yang ikut berkumpul, terutama Arya dan Praduga karena mereka ingin tahu bagaimana reaksi rakyat.
Benar dugaan Arya, Bhanu sendiri yang akhirnya membongkar jati diri Elin, ia tak perlu susah payah menyebar gosip dan mengotori tangannya.
“Pangeran Arya, perkiraan Anda sangat tepat, Raja Bhanu sendiri yang akan memberikan informasi pada rakyat.” Praduga berbisik ditelinga pria itu.
“Lihat kan? Kita tidak perlu susah payah melakukannya, tinggal tunggu bagaimana tanggapan mereka, baru setelahnya kita bertindak.” Senyuman miring tercetak jelas di bibir Arya.
“Pangeran benar.”
Di halaman luas sana terdapat banyak sekali rakyat dari makhluk gaib berdatangan, fisik mereka beraneka rupa mengerikan. Bagi siapa pun yang awam, maka bisa dipastikan akan ketakutan setengah mati.
Ada sosok hewan kuda berkaki manusia, ada pula makhluk semacam genderuwo yang sering menakuti anak-anak, sulit jika dideskripsikan satu per satu. Namun, yang pasti mereka sangat mengerikan dengan bentuknya.
Bhanu muncul dari balik pilar-pilar tinggi, di sampingnya ia menggenggam kuat tangan Elin yang agaknya gemetar. Bagaimana tidak? Baru melihat sekumpulan sosok itu dari jauh saja nyali Elin menciut seketika, tidak bisa ia bayangkan melihat mereka dari dekat.
“Itu Raja Bhanu, dengan siapa dia?”
“Aroma manusia,” sahut yang lain.
Mereka mulai menerka-nerka siapa Elin dan kenapa ada manusia di sisi tuan mereka.
Bhanu mengenakan pakaian khas kerajaannya, jubah panjang yang terbuat dari kain sutra paling lembut, berwarna merah terang yang melambangkan keberanian. Tubuhnya tinggi tegap, tatapan matanya bagaikan elang, tiap langkahnya menunjukkan kewibawaan.
Sesampainya di sana, matanya menelisik ke penjuru halaman. Rakyatnya fokus melihat ke satu arah, Elin.
“Mereka mengerikan.” Elin berbisik sangat pelan, kakinya juga terlihat gemetar meski samar.
Makhluk-makhluk yang datang ke sini bahkan lebih menyeramkan dibandingkan dengan sosok kiriman Anggini beberapa waktu lalu, kepala Elin mulai pening karena tidak tahan menatap mereka lama-lama ditambah dengan tatapan mereka padanya yang menunjukkan kesan permusuhan.
Memang di sini manusia terkenal sebagai musuh dari bangsa gaib, itu karena di mata mereka, manusia adalah makhluk perusak alam.
“Jangan melihat ke sana, alihkan pandangan agar kamu tak ketakutan.” Bhanu memberikan intruksi kecil.
Elin berdeham sebagai jawaban, ia mulai menetralkan napasnya yang sempat menghimpit.
“Selamat datang di istana, para rakyatku. Kalian pasti bertanya-tanya tentang wanita yang ada di sampingku ini, ia adalah istri sah ku dari bangsa manusia, ia juga yang akan menjadi ratu selanjutnya memimpin kerajaan ini. Sedangkan bayi mungil ini adalah anak kami, aku meminta kalian untuk menghormati mereka selayaknya kalian menghormatiku.” Bhanu bertukas dengan detail, ia juga menunjuk Manggala yang tengah mengerjapkan matanya sambil memainkan jari-jari mungilnya.
“Apa? Manusia itu akan menjadi ratu kita?”
“Bagaimana mungkin musuh terbesar menjadi ratu?”
“Ini tidak benar, aku tak ingin manusia yang menjadi pemimpin.”
Suara demi suara penolakan terdengar, mereka kebanyakan mempermasalahkan status latar belakang Elin yang merupakan manusia, tidak pantas menjadi pendamping pemimpin.
Khalayak terdengar ricuh, disertai dengan geraman-geraman tertahan sebagai upaya penolakan dari mereka. Hal ini membuat Elin memundurkan langkahnya, sungguh ia ketakutan saat ada sesosok harimau terlihat pasang aba-aba untuk menyerangnya.
“Hentikan, Jaguar!” Sigap Bhanu langsung melindungi Elin dengan dirinya yang menjadi tameng.
Sosok bernama Jaguar itu pun menghentikan aksinya, hampir saja ia menerkam Elin dengan cakar-cakar tajamnya jika Bhanu tak menghalangi.
“Ini tidak boleh terjadi, bukankah sudah ada peraturan yang melarang manusia dan bangsa kita saling menikah? Anda telah melanggar peraturan.” Pria berwajah terkelupas itu menyampaikan keberatan hatinya.
Bhanu sudah menduga hal ini, untuk itu ia juga telah mendapatkan alasan yang tepat agar mereka bisa menerima Elin.
“Dalam kitab sejarah kerajaan bangsa kita berkata bahwa manusia yang tak boleh dinikahi adalah jenis manusia perusak. Sedangkan istriku Elin adalah wanita yang baik, ia tidak pernah merusakkan alam kita, ia juga tak pernah melakukan perjanjian gaib dengan bangsa kita. Tentunya aku sudah paham mengenai peraturan tanpa kalian ingatkan, Elin murni wanita yang suci, ia pantas menjadi pendampingku untuk memimpin istana ini.”
Mereka yang ada di sana pun terdiam mendengar penuturan Bhanu, mereka juga berbisik-bisik apakah yang dikatakan rajanya itu benar?
“Tapi seharusnya tetap tidak boleh ada pernikahan dua alam, kalian berbeda.” sahut yang lain.
“Mohon maaf, Yang Mulia Raja Bhanu. Bukankah ini sudah menjadi peraturan kerajaan selama bertahun-tahun? Seharusnya Anda menikahi gadis dari bangsa kita sendiri, ada Nona Gendis yang cocok untuk Anda, kenapa harus memilih manusia?” Seorang makhluk bertaring panjang itu mencoba memelankan nada suaranya, ia ingin mendengar jawaban yang jelas dari rajanya tanpa menggunakan kalimat-kalimat kasar.
Elin menelan ludahnya cepat, kerongkongannya terasa tercekat mendengar penuturan makhluk itu. Ia ada di sini dan berstatus istri Bhanu, kenapa mereka justru mengungkit wanita lain?
Bhanu melirik istrinya, ia semakin menggenggam kuat jari-jari Elin untuk memberikan dukungan mental pada istrinya.
“Apa kalian tahu bahwa cinta tak bisa dipaksakan? Begitu juga denganku, aku tidak mencintai siapa pun selain Elin, bahkan Gendis sekali pun. Kami tumbuh bersama selayaknya teman atau bahkan kakak beradik, perasaanku pada Gendis tidak lebih dari seorang saudara.” Bhanu menjawab pertanyaan tadi dengan nada memelan juga, ia tak mau bertengkar dengan rakyatnya sendiri.
“Sulit menerima manusia menjadi bagian dari kami,” balasnya.
Bhanu tersenyum simpul. “Berikan Elin kesempatan untuk menjadi ratu yang baik, pernikahan kami juga telah disahkan oleh tetua istana, tidak ada alasan untuk kalian menolaknya.”
“Anda egois jika berpikiran seperti itu, Anda tak menghormati peraturan mendiang raja sebelum-sebelumnya.” Makhluk lain menyahut.
Bhanu menghela napasnya dengan kasar, sulit sekali meyakinkan rakyat.
Sementara itu Praduga dan Arya masih terus memperhatikan mereka, Arya menumpuk kedua tangannya di depan, bibirnya tersenyum culas. Sepupunya itu memang cerdik juga, menggunakan tetua istana untuk mengesahkan pernikahan agar tak ada yang menolak Elin.
“Sekali lagi cinta tak bisa diganggu gugat, aku mencintai Elin dan kami sudah sah menikah, bahkan ada anak yang menjadi bukti kisah cinta kami. Tolong hargai keberadaannya, Manggala juga secara resmi menjadi Pangeran istana ini.” Keputusan Bhanu final, ia tak ingin mendengar penolakan lagi.
Para rakyat pun kecewa, mereka juga memberikan tatapan kebencian pada Elin.
“Aku mengumpulkan kalian ke sini hanya untuk memberitahukan pengumuman ini, untuk seterusnya aku tak mau mendengar penolakan.”
Setelah berkata demikian, ia pun mengajak Elin untuk pergi. Sementara Damar dibantu dengan pengawal mulai menetralkan suasana yang kacau, mereka ingin berunjuk rasa.
“Bagaimana menurutmu, Praduga?” Arya bertanya pada pria paruh baya itu.
“Sekarang saya mengerti pemikiran Anda, memanfaatkan situasi yang panas ini untuk melengserkan Raja Bhanu.” Seketika Praduga paham, pantas saja Arya terlihat tenang-tenang saja di awal, ternyata mulai dari sini lah mereka akan beraksi memanfaatkan rakyat agar menggulingkan takhta Bhanu.
“Tepat sekali.” Arya menjentikkan jarinya, ini lah momen yang ia tunggu.
Di samping itu ada juga Gendis yang turut memantau, hatinya sakit mendengar penuturan Bhanu.
“Apa ia harus menjelaskan sedetail itu pada rakyat? Bahwa ia tidak mencintaiku.” lirihnya.
Sekar yang ada di sana juga ikut meringis kecil, ia tak tega melihat majikannya bersedih, ini semua karena ulah Elin yang merebut Bhanu dari Gendis.
“Nona, tabahkan hatimu. Mungkin saat ini Raja Bhanu tengah tergila-gila pada istrinya, saya yakin w*************a itu pasti menggunakan trik agar menarik perhatian Yang Mulia.” Sekar juga bingung harus menenangkan majikannya dengan cara apa.
Namun, yang pasti rencana mereka akan terlaksana sebentar lagi.
Sedangkan Bhanu dan Elin kembali ke peraduan mereka. Elin membuka kepalan tangannya, keringatnya cukup banyak tanda bahwa ia gugup parah. Sejak tadi Elin juga hanya diam dan tak berniat menyapa rakyatnya, ia terlalu takut.
“Mereka menolakku.” gumam Elin.
Bhanu mengambil kain kering lalu mengusapkannya pada telapak tangan sang istri.
“Mereka butuh waktu untuk menerimamu.” balasnya. Kain itu pun diletakkan pada meja, setelahnya Bhanu mengajak Elin untuk duduk di kursi yang ada dalam kamar.
Masalah tak semudah yang dibayangkan, Elin menatap kesal pada suaminya.
“Mereka membenciku bahkan ada yang berniat menyerangku tadi, dan kamu masih terlihat santai-santai saja?” Ia mencebikkan bibirnya, nada suaranya juga naik satu tingkat.
“El, semuanya memang butuh waktu. Aku tidak diam saja, aku akan tetap membujuk mereka agar menerimamu secara perlahan ya.” Bhanu tidak ikut terpancing emosi, ia justru menggunakan nada super lembut menjawab istrinya.
Selain hal itu, ada pula yang mengganjal dihati Elin.
“Sejauh apa hubunganmu dengan Gendis hingga rakyatmu menginginkan agar kalian bersama?”
Bhanu menyipitkan matanya, ia tak menyangka Elin akan bertanya hal ini padahal dulu ia pernah membahasnya.
“Kita tumbuh sejak kecil bersama, aku menganggapnya sebagai teman dan rekan sesama anggota kerajaan saja.” balas Bhanu.
Elin tidak puas dengan jawaban suaminya, mengingat bahwa rakyat tadi sangat bersikukuh agar keduanya menikah.
“Kenapa kamu malah memilih diriku dan bukan dengan Gendis saja?” Pertanyaan Elin terdengar tidak enak ditangkap telinga, nadanya penuh sarkastik.
“Kamu tahu betul bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku hanya mencintai istriku, Elin Aulia Mahardika seorang.” Bhanu memiringkan kepalanya, dengan cara apalagi ia bisa memastikan hal ini?
“El, percaya padaku bahwa hanya kamu saja yang aku cintai.” Bhanu terlihat bersungguh-sungguh, ia memang hanya mencintai Elin saja.
Sedangkan Elin pun mengangguk sebagai jawaban, ia tak mau memperpanjang masalah ini.
“Keselamatanmu aku yang menjamin, aku selalu melindungimu.” janji Bhanu dengan penuh keyakinan.
“Iya, aku percaya.”
Bhanu pun memeluk Elin, ia juga mengajak Manggala untuk berbicara, anak itu menanggapi ayahnya dengan tawa khas anak-anak.