Dosen Resek

1167 Words
"Sayang sekali dia tidak masuk di kelas kita. Lihat! Wajahnya adalah impian setiap wanita." "Tapi dia masih muda bukan?" "Masih 23 tahun." Arum tersedak makanannya sendiri mendengar percakapan di balik punggungnya. Saat ini dia sedang makan siang di kantin kampus sembari menunggu dosen pembimbingnya untuk melakakukan bimbingan skrispsi. Dua puluh tiga tahun? Apa-apan! Dia tahu kalau dosen sombong itu masih muda, tapi dua puluh tiga tahun? Arum meringis. Nasibnya sial sekali harus berurusan dengan dosen berkepala batu itu. Arum menjambak rambutnya frustrasi. Ini benar-benar kesialan yang tidak terelakkan. "Genius, lulusan kampus LN, memiliki wajah rupawan yang akan menjadi impian setiap wanita. Apalagi yang kurang coba?" Kurang otak, lagi-lagi suara hati Arum berbisik mendukungnya. Bagaimana bisa hidupnya berubah hanya dalam satu hari? Dia mengangkat wajah seolah mencari inspirasi yang bisa membuat harinya sedikit lebih menarik. Arum berdiri, membayar makanannya dan berjalan menuju ruang dosen. Langkahnya gontai, tidak ada semangat sama sekali. Siapa juga yang bisa semangat menghadapi dosen killer itu? Nasib menjadi mahasiswa abadi adalah tidak memiliki teman di kampus. Kalau di luar sih Arum punya teman, tapi kalau di sini ... Arum menggeleng pelan. Tahun ini dia harus lulus jika masih ingin dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Dia mempercepat langkah, tidak ingin memberikan kesempatan pada dosen sombong itu untuk mengkritiknya. Namun, saat netranya melihat ruangan yang menjadi tujuan utamanya, nyalinya langsung ciut sampai pada titik terendah. Arum menelan ludah. Ketakutan membuatnya maju mundur untuk melangkah, namun saat bayangan hidup menggelandang memenuhi kepalanya, Arum dengan segera mengetuk pintu sebelum dia berubah pikiran. "Selamat siang, Pak," ucapnya mencoba menjaga suaranya terdengar normal, mengingat saat ini kakinya gemetar seperti jelly. "Masuk!" Suara dingin itu kembali bersuara. Arum mendekat tanpa kata. "Duduk!" Arum mendaratkan tubuhnyanya di kursi kayu yang disediakan di ruangan. "Aku tidak suka orang yang malas, suka terlambat, ceroboh dan menganggap sepele semua hal. Apa kamu mengerti?" Lah, hubungannya sama dia apa coba? Dia kan cuma mau bimbingan skripsi bukan mau konsultasi masalah hidup? Arum mencebik saat pria itu tidak menatapnya. "Satu-satunya penjelasan kenapa kamu tidak lulus selain tentu saja karena bodoh adalah karena kamu memiliki semua yang baru saja saya ucapkan." Arum menekan buku-buku tangannya, menghitung dalam hati agar dia tidak mengucapkan apa pun yang akan membuatnya menyesal. Apa yang sudah dia lakukan sampai berakhir di meja dosen tidak berperasaan ini? "Kamu hanya punya waktu selama tiga bulan, jika tidak selesai dalam jangka waktu tersebut...," Arum mengangkat alis. Dosen Arum bersiul dan membuat gerakan terbang dengan tangannya. "Ucapkan selamat tinggal pada wisuda," ujarnya menyeringai. Sabar, sabar, sabar. Arum terus merapalkan kata-kata itu guna membentengi dirinya dari keinginan untuk memukul dan melempar dosen di depannya ini. Apanya yang tampan? Wajah ini persis seperti tokoh antagonis yang sering dia baca di novel-novel. Tipikal wajah Badboy, tidak punya hati. "Kita akan mengadakan pertemuan dua kali dalam seminggu. Selama jangka itu, aku tidak ingin mendengar alasan apa pun. Apa kamu mengerti?" "Baik, Pak." Arum sengaja menekankan kata Pak agar dosennya ini tahu kalau dia sudah kesal. "Untuk jamnya nanti akan di urus." "Baik, Pak." "Sekarang keluar!" Arum mendorong kursi cukup keras, membuat suara berderak terdengar. Dia menunduk. "Maaf," ujarnya tidak tulus. "Berapa usiamu?" Arum yang sudah di depan pintu berbalik dengan heran. "25 tahun." "Sudah tua ternyata." Arum membanting pintu dengan kesal, tidak peduli jika dosen kurang ajar itu terkejut. "Dasar dosen killer, dingin, mulut pedas, tidak punya hati. Awas saja ...." Arum menyeringai membayangkan dia melempar dan menendang dosen sombong itu di kepalannya. Arum yang jengkel menarik ponsel dari tasnya dan menekan nomor sahabatnya. "Bungaaa," teriak Arum diujung telepon. "Kenapa? Hmm..." balasan terdengar dari ujung telepon. "Ketemuan yukk, mau curhat nih." "Aku lagi kerja, Arum Sayang." Arum memutar mata. "Yah ...bentaran doang, gimana kalau nanti malam?" ujar Arum antusias. Dia butuh bercerita agar kepalanya tidak pecah karena menahan amarah yang akhir-akhir ini menemaninya. "Oke." Arum seketika mengepalkan tangannya begitu mendengar jawaban sahabatnya. "Ajak Intan sekalian, udah lama kita gak kumpul bareng." "Siip, udah dulu ya, aku mau balik kerja nih." Arum menatap teleponnya gemas. Ini sahabat gak pengertian banget. Dia kan masih mau ngomong. "Okke, sampai nanti malam, Sayangku." Dia memutus telepon dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Dia butuh ke perpustakaan jika ingin segera selesai skripsi. Membayangkan wajah dosen killer itu entah kenapa membuat darahnya mendidih. Tunggu! Arum tiba-tiba punya ide. Dia membuka MacBooknya, menyambungkan ke wifi kampus dan segera meluncur ke dunia maya. Dia membuka akun IG dan mengetik nama 'Daffin Narendra' di kolom pencarian. Dalam sekejap hasilnya muncul. Arum meneliti profil yang sesuai dengan wajah dosennya dan langsung mengkliknya. Arum menutup mulut, menahan pekikan lolos dari mulutnya. Dia mengerjap beberapa kali, seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Apa ini? Daffin tidak banyak memposting di feednya, tapi bukan itu yang membuatnya kaget setengah mati. Dosen gila itu sudah menyelesaikan S-3 nya? bagaimana bisa? Diusia semuda itu? Apa dunia sudah berubah secepat itu? Arum menelan ludah, semua foto yang di posting hanya pemandangan dari beberapa negara. Menara kembar, Eiffel, dan beberapa yang dia sendiri tidak tahu negara mana. Arum terus menyusuri postingan dosennya, melupakan fakta kalau dia sudah stalker akun media sosial orang. Arum menatap sebuah foto dengan pemandangan sebuah jembatan dengan langit yang dibalut sunrise. 'Looking for you' adalah caption yang dibuat dalam keterangan foto. Arum seperti tidak mempercayai apa yang dia lihat. Segenius apa manusia dingin itu sampai bisa melanglang buana diusia semuda itu? Rasa penasaran menguasainya. Dia keluar dan membuka kolom pencarian mbah Google, mengetikkan nama Daffin Narendra. Arum sekali lagi membelalak tidak percaya dengan hasil yang muncul. Foto Daffin muncul dengan memegang berbagai macam piala bergensi. Kebanyakan saat masih di bangku SMA dan selain itu beberapa saat dia kuliah di LN. Arum mengerjap beberapa kali dan memutuskan untuk menutup MacBooknya. Dia bisa gila kalau terus-terusan mencari tahu tentang dosen dingin itu. Arum berdiri dan bersiap ke perpustakaan. Dia sekarang tahu siapa lawannya dan kalau boleh jujur dia lebih suka tidak lulus jika seperti ini. Dan bersiap-siaplah di tendang dan jadi gelandangan, hati kecil Arum sekali lagi berbisik mengingatkan. Arum yang kesal menghentak-hentakkan kakinya membuat beberapa orang menatapnya dengan sorot mata aneh. "Sial banget ya Tuhan, adduh," pekiknya mengaduh saat dia jatuh dan lututnya berakhir dengan mencium lantai. Dia tersandung tali sepatunya sendiri. Dia tidak suka memakai highhells karena sering terjatuh tapi dengan sepatu pun nasibnya sama saja. Sebuah tangan terulur untuk membantunya berdiri. Arum menerimanya tanpa melihat siapa yang menolongnya. "Apa matamu sudah tidak berfungsi lagi?" Arum memekik kaget saat melihat siapa penolongnya. "Kau..." ucapnya tidak sadar. "Apa seperti itu bicaramu pada dosenmu sendiri?" "Maaf, Pak," gumamnya setengah hati. "Lupakan. Besok jangan lupa datang jam delapan." "Untuk?" tanyanya bodoh membuat Daffin menatapnya takjub. "Luar biasa, otak udangmu benar-benar sudah tidak tertolong lagi sepertinya," gumamnya santai dan berlalu meninggalkan Arum yang tingkat kejengkelannya sudah berada pada level bisa meletuskan gunung. "Dasar Dosen gila, psiko, aneh, tidak punya hati ..." geramnya marah. Jika pandangan bisa membunuh, maka saat ini dosen gila itu pasti sudah mati dibawah tatapan tajamnya. Dia mendengus dan kembali melanjutkan langkah, mengabaikan decakan kagum dari beberapa mahasisiwi yang terpesona pada ketampanan Daffin. Dasar dosen killer!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD