Terhitung sudah satu bulan perkenalan antara Mia dan juga Allen. Keduanya saling berhubungan satu sama lain, dan Maya bisa melihatnya dengan jelas. Bagaimana saat ini Kakaknya sedang tersenyum sendirian sambil menatap ponselnya.
“Kakak ngapain sih, senyum mulu dari tadi.”
“Lagi chatiingan sama Mas Allen, dia gemesh banget ih. Pinter masak diatuh, sempurna banget gak sih? Cocok sama kakak yang gak bisa masak.”
Maya memakan popcorn di depannya dengan kesal, mereka berdua janjian menonton bersama malam ini. tapi kakaknya sibuk memegang ponselnya. “Kakak ih, nyebelin ah. Katanya mau nonton.”
“Yaampun, May. Kamu tinggal nonton aja kenapa, kan Kakak juga di sini.”
“Simpen dulu HPnya.”
“Udah nih disimpen, udah ya?” Mia segera menarik sang adik ke pelukannya dan mengguncangnya gemas. “Ihhh… kakak tuh lagi Bahagia tauk.”
“Kenapa? udah jadian sama Allen?”
“Eh, manggilnya Mas, gak sopan kamu. Nanti kalau Papah tau, kamu pasti udah dipukul loh.”
Sebenarnya Maya tidak memanggil dengan panggilan itu karena dia tidak mau jiwa iri dengki dalam dirinya bergejolak, karena sampai saat ini Maya masih mencoba memendam perasaan ingin memiliki Allen. “Iya, Mas Allen.”
“Belum sih, kita belum jadian. Mas Allen bilang jalani aja dulu, senyamannya biar gak ada keterpaksaan satu sama lain.”
“Terus kakak setuju?”
“Ya iyalah, kalau pacarana pasti banyak nuntut ini itu. Jadi kalau emang mau pacaran, nanti aja kalau udah mau nikah.”
“Kapan itu?” tanya Maya dengan suara pelan.
“Kenapa? kamu takut ditinggal sendirian?”
“Nanti siapa yang belain aku kalau dimarahin Mamah?”
“Uhhhh, adek kesayangan Kakak. Ya enggak secepat itu juga kali. Makannya kamu cepet lulus, biar bisa dapet kerjaan, biar Mamah gak ngatur kamu lagi.”
Baru juga Maya hendak menanggapi perkataan sang Kakak, ponsel Mia lebih dulu berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Allen. “Kakak ke kamar duluan ya, ini Mas Allen telpon. Kamu tamatin filmnya, besok certain sama Kakak oke?”
Kemudian meninggalkan Maya sendirian di bioskop mini di rumah mereka. dia hanya bisa melempar lempar popcorn sembarangan saking kesalnya. Sampai lampu ruangan tiba tiba menyala. Saat menoleh, Maya mendapati Mamahnya di sana. “Tidur kamu, enak banget malah nonton. Mamah tadi liat masih banyak tugas kuliah di kamar.”
“Itu buat minggu depan, Mamah.”
“Kerjain sekarang, Mamah gak mau uang yang Mamah keluarin buat biaya sekolah kamu itu sia sia.” Bahkan dengan tega, sang mamah mematikan layar yang sedang menampilkan film yang ditunggu oleh Maya.
Sosok itu melangkah dengan kesal ke arah kamar, sambil membenarkan letak kacamatanya.
*****
“Aduh maaf, Non. Bannya bocor.”
Kalimat sang supir yang membuat mood Maya turun setelah dia dimarahi oleh orangtuanya pagi ini. dia keluar dari mobil dan menghela napasnya dalam, mana sopirnya lewat jalan lain. Hingga tidak ada angkutan umum di sini.
“Mau saya pesankan gojek, Non?”
“Gak papa, saya pesan sendiri aja, Mang,” jawab Maya sambil melangkah menjauh dan memainkan ponselnya. Tanpa sadar, sebuah mobil menepi di hadapannya.
“Hey, Maya?”
Maya menoleh, kaget ketika mendapati Allen di dalam sana; sedang menyetir sendirian. “Kenapa? mobilnya mogok?” tanya Allen sambil menoleh ke belakang; pada mobil yang ditinggalkan Maya.
“Bannya bocor, Mas.”
“Kamu kuliah di kampus Gunadarma ‘kan?”
Maya mengangguk. “Naik, kita searah kok.”
“Um….” Maya menatap ragu, dia jugaa sedikit gugup. Apalagi penampilannya yang tidak menarik.
“Gak papa ayo naik aja.”
Akhirnya diapun naik. Jantungnya berpacu dengan kencang mendapat tumpangan dari sosok yang dia sukai. “Kamu semester berapa?”
“Baru semester enam, Mas.”
“Jurusan sastra ya?”
Maya mengangguk.
“Udah ada rencana kerja dimana?”
“Belum, masih focus lulus dulu.”
“Bagus kalau gitu, focus aja ngembangin diri kamu. Nanti kalau udah lulus, kamu bisa membuktikan seberapa besar potensi yang ada di dalam diri kamu.”
Keheningan melanda. Sudah Maya katakan, kalau dirinya adalah seorang introvert yang sulit beradaptasi, dia bahkan kebingungan sendiri dengan apa yang harus dia lakukan saat dihadapkan dengan pria yang disukainya.
“Jarak dari rumah kamu ke kampus cukup jauh loh, kenapa gak ngekost atau sewa apartemen aja?”
“Mamah gak kasih izin.”
Hanya begitulah yang mereka lakukan. apa yang ditanyakan Allen, akan dijawab Maya. Tidak ada yang special, sampai mobil berhenti di depan kampus. “Makasih, Mas..”
“Hati hati, belajar yang giat, May.”
Maya tersenyum, dan tanpa aba aba membuka pintu hingga seorang pengendara motor langsung menarik rem dan kemudian berteriak, “Kalau mau buka pintu mobil ya liat liat dulu! Lu sinting mau bahayain orang lain hah?! Hati hati kalau di jalan rayaa!”
Dan demi Tuhan, Maya benar benar ketakutan karenanya.
“Bapak yang seharusnya berhati hati, mobil sudah menepi dan dia membuka pintu dari arah kiri. Tidak seharusnya bapak juga mengambil jalan ini.”
Perdebatan antara pria hitam dan juga Allen itu berlangsung singkat karena Allen mengeluarkan alasan yang logis, hingga sosok itu tidak berkutik dan meninggalkan mereka.
“Gak papa, May. Udah pergi, kamu jangan takut. Tapi lain kali lebih hati hati ya.”
Maya mengangguk, dan detik itu juga dia benar benar menginginkan Allen untuk dirinya sendiri.
*****
Maya tidak benar benar memiliki sahabat di kampus, tapi dia mengenal seseorang yang sedikit lebih dekat dengannya. Namanya Naomi; teman sekelas Maya yang selalu mencontek pada Maya. Namun dibalik sikapnya yang menyebalkan, Naomi adalah sosok yang baik dan selalu menjanjikan, “Gue bakalan bant ulu sebagai gantinya. Bilang aja, asal jangan duit sama pelajaran, gue pusing.”
Dan Naomi adalah salah satu perempuan populer di kampus. Wajahnya tidak cantik, tapi dia begitu percaya diri hingga menarik perhatian banyak orang. Kulitnya eksotis, dan dia seringkali digosipkan akan hal hal buruk oleh anak anak lain.
Pecandu narkoba, Wanita panggilan, jalang murahan, tapi tidak ada yang terbukti benar. Dan Maya yakin jika dia datang pada sosok yang tepat saat ini.
“Naomi,” panggilnya pada sosok yang sedang berkumpul bersama dengan teman teman yang sama kerennya
“Tuh ada yang nyari lu, pasti lu nyuruh dia ngerjain tugas lu lagi ‘kan? Sinting lu, kasian itu anak orang!”
“Kagak!” naomi membantah tuduhan temannya, dia mendekati Maya. “Kenapa?”
“Mau ngomong di tempat yang lebih sepi, bisa?”
“Hayuk lah, tapi jangan minta duit ya. Seriusan gue juga boke.”
Sampai di belakang perpustakaan, baru Langkah Maya terhenti.
“Kenapa? lu mau ngomong apa?”
“Lu pernah bilang mau bantu gue kan? Selama tiga taun kuliah, gue kerjain tugas tugas lu juga.”
“Gak usah diungkit ungkit, bilang aja apa yang lu butuhin.”
Malu malu, Maya mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto Allen yang dia ambil diam diam. “Gue mau lu bantu gue buat dapetin cowok ini.”
Dan saat itu juga Naomi tertawa puas. “Akhirnya si cupu kampus jatuh cinta juga, akhirnya gue punya alesan ubah style lu, Mayy.”
“Si cupu kampus?” Maya lebih focus pada kata itu.
“Hehehe, sorry. Tapi seriusan lu dapet julukan itu sejak masuk kampus. Pinter banget enggak, tapi cupu banget.” Naomi tertawa sejenak. “Tapi kalau lu emang mau dapetin ini cowok, gue bisa bantu kok. Nanti pulang dari kampus, ke apartemen gue oke?”
****
Maya menceritakan semuanya tanpa ada kebohongan sedikitpun. Saking dia ingin memiliki Allen, Maya tidak sungkan mengatakan kalau dia ingin merebutnya dari kakak kandungnya sendiri. dia terlanjur jatuh cinta pada sosok pria tersebut; ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri.
“Lu seriusan? Taruhannya orangtua sama kakak lu tau. Apalagi orangtua lu gak terlalu suka sama lu, lu yakin mau rebut dia dari kakak lu?”
“Mereka dijodohin, dan masih belum pacaran. Papah gue bilang hubungan mereka buat memperkuat perusahaan doang, jadi gak akan ada bedanya kalau sama gue juga ‘kan?”
Naomi mengangguk setuju. “Tunggu di sini bentar.”
Sambil menunggu Naomi yang sibuk di kamar, Maya mengedarkan pandangan melihat bagaimana apartemen ini sangatlah berantakan. Bekas kaleng bir dimana mana, bau alcohol dan juga makanan sisa yang belum terbuang. Pakaian berada di tempat yang tidak seharusnya.
“Sorry, gue biasanya bakalan beresin ini kalau weekend. Lu mau minum? Pasti capek abis nyerita banyak tadi.”
“Boleh.”
“Tapi gue punya bir doang, pernah minum?”
Maya menggelengkan kepala. “Lu cupu amat sih, Cobain dulu sini.”
Membuka kaleng tersebut dan menuangkannya ke dalam gelas. Maya menerima minuman tersebut dengan kening yang berkerut. Seluruh hidup Maya benar benar monoton, hanya mengikuti perintah ibunya, dan tidak ada yang menonjol tentang dirinya.
“Uhuk! Aneh!”
Dan saat itulah Naomi tertawa, dia kembali mengambil gelas yang sebelumnya dipegang oleh Maya. “Yaudah deh, lu mah emang gak cocok sama ini.”
“Terus gimana?” tanya Maya polos.
“Apanya?”
“Lu bisa bantuin gue gak?”
Naomi melihat sosok Maya yang tidak sabaran, hanya tertutup oleh tingkahnya yang malu malu saja. “Lu manfaatin kepribadian lu sekarang.”
“Maksudnya?”
“Biasanya cowok lebih tertarik sama cewek yang polos, gak tau apa apa bahkan bir gini doang.”
“Tapi kok Mas Allen gak suka sama gue? Emang kurang polos?”
“Lu polosnya yang nyebelin, sama cupu. Sekarang waktunya ganti ke polos yang imut, suci, gak nyebelin sama cupu. Contohnya, buka kacamata ini biar mata bulet lu bisa keliatan,” ucap Naomi sambil menarik kacamata yang dikenakan oleh Maya. “Lu cantik polos sekarang, tinggal sikap nyebelin sama bloonya yang diganti.”
“Caranya?”
“Pelan pelan, May.”
****
Maya melihat tampilan dirinya yang sudah diubah oleh Naomi. Rambutnya terurai, tidak ada lagi kacamata yang bertengger di hidungnya. Ternyata Maya tidaklah minus, dia memakai kacamata hanya karena tidak ingin matanya rusak saat membaca. Dan itu berhasil membuat Naomi kesal.
“Buat penampilan, bisa nyusul. Tapi inget sikap lu yang harus bener bener polos, goda itu laki sama kepribadian lu.”
“Thanks, Naomi,” ucap Maya dengan sumringah. Dia tidak tau kalau melepas ikat rambut, kacamata dan menambahkan sedikit make-up membuatnya terlihat lebih cantik dan manis. Benar benar imut dan menambah kesan kalau Maya adalah perempuan yang sangat manis dan polos.
“Tapi lu harus inget resikonya kalau dia udah bener bener kegoda.”
“Gua siap kok, asal dia mau sama gue.”
“Jangan mikir kejauhan, sana lu pulang. Seenggaknya lu harus dapet nomor telponnya dulu, gimanapun caranya. Asal dengan jalan yang polos, manis dan juga cantik.”
Maya mengangguk, dia berbalik untuk mengambil buku yang bertumpuk. “Tugasnya Cuma segini?”
“Santai aja, May. Itu remidian kok, dikumpulinnya bulan depannya lagi.”
“Not problem, gue pulangnya. Nanti malem gue telpon.”
Naomi hanya terkekeh melihat bagaimana antusiasnya seorang Maya. Sosok itu berlari masuk ke dalam taksi online yang dipesan sebelumnya. Dalam perjalanan, Maya tidak berhenti mengagumi dirinya sendiri. Maya suka gayanya yang benar benar manis, bibirnya yang pink dan pipinya yang merona.
“Makasih, Pak,” ucapnya dengan sopan pada sang supir taksi. Melangkah dengan riang menuju rumahnya.
“Baru pulang, May?”
“Mas Allen? Di sini?” Maya terlihat kaget. Tapi satu yang dipelajari dari Naomi hari ini, kalau dia tidak boleh gugup. Percaya diri, rendahkan nada bicara supaya kesan polos tidak hilang. Dan jangan pernah memalingkan mata; itu tidak sopan.
“Iya, mau makan malam di sini. Gak papa kan?”
“Gak papa, bukan itu maksud aku. Emang Kak Mia udah pulang? Biasanya dia pulang sore loh.”
“Tadinya hari ini dia pulang lebih cepet, tapia da kerjaan mendadak dulu katanya.”
“Ke dalem, Mas. kayak tamu yang gak dianggap kalau diluar gini.”
Allen tertawa mendengarnya. “Gak papa di sini aja, nunggu kakak kamu.”
Dan hal itu membuat Maya kesal, apa Allen sudah benar benar jatuh pada kakaknya? Tapi Maya tidak boleh bertindak agresif, dia harus melakukan kebalikan dari kakaknya. “Kalau gitu Maya ke dalem duluan ya, Mas.”
Meninggalkan Allen, dengan berbagai rencana di dalam otaknya supaya menarik perhatian pria itu.
*****
“Tolong temenin dia bentar, May. Kakak masih banyak kerjaan di sini, kasian Mas Allen sendirian di sana.”
“Gak sendirian, lagi ngomong tadi sama Papah.”
“Yakan dia pasti bosen kalau dengerin tentang bisnis terus. Kamu kan tiap sore suka siram bunga di belakang rumah, ajak dia gih,” perintah Mia dari dalam telpon.
“Gak mau malu, kakak aja yang suruh dia nyusul sendiri.” Maya mematikan telpon sebelum Mia membalas. Kemudian tersenyum lebar, apa kakaknya akan benar benar menyuruh Allen untuk menyusulnya menyiram bunga di taman belakang? Ah, Maya harus bersyukur dengan rutinitasnya yang itu.
“Kemanain kacamata kamu? Awas kalau nanti kejedak terus malah bikin uang Mamah keluar Cuma gara gara kamu,” ucap Mamahnya saat melihat Maya menuruni tangga.
Membuat sosok itu mendengus kesal. “Maya gak minus, Mah. Itu kacamata buat perlindungan kalau baca doang, dilepas soalnya susah kalau pake kacamata.”
“12 taun pake kacamata baru bilang susah sekarang? lagian kamu mau baca sebanyak apapun gak ngaruh tuh, tetep gak sebanding sama kakak kamu.”
“Maya mau siram tanaman,” ucapnya sambil sesekali melirik Allen yang ada di ruang tamu depan; sedang berbicara dengan Papahnya.
Kehidupan Maya yang monoton, kesehariannya didominasi oleh Mamahnya yang sering memerintah. Salah satu contohnya saat ini, dimana dia harus melakukan beberapa pekerjaan rumah.
“Kakak belajar pagi malem juga ngehasilin, dia bikin bangga. Lah kamu? Gak ada timbal baliknya buat Mamah, jadi ikuti semua perintah Mamah sekarang.”
Begitulah kalimat yang selalu dilemparkan oleh Mamahnya.
“Sejak kapan kamu suka berkebun?” tanya Allen yang mengagetkan Maya.
Dia menoleh ke belakang. “Dari kecil, Mamah suka ajak ke kebun bunga.”
“Kamu rawat semuanya sendiri?”
Maya mengangguk dengan matanya yang bulat; memberi kesan manis dan juga polos. “Kadang Mamah bantu, tapi akhir akhir ini Mamah sibuk.”
Diam diam Allen melihat gerak gerik Maya yang terkesan mengabaikannya; focus pada bunga bunga cantik di hadapannya. Baru Allen sadari kalau gadis di depannya ini memiliki bola mata yang begitu indah; hitam dan bulat sempurna, begitu jernih dan cantik. Rambutnya yang sebelumnya diikat kini terurai, membiarkan angin membelainya.
“Cantik,” gumam Allen tanpa sadar.
Sementara, kenyataannya Maya memperhatikan Allen juga lewat pantulan dari teko untuk menyiram tanaman. Diam diam dia tersenyum mendapati Allen terpaku pada dirinya. “Oh astaga,” gumam Maya kaget, dia meraba saku celananya.
“Kenapa, May?”
“Lupa bawa HP, Mas.”
“Buat?”
“Um… foto bunga ini, aku lupa, biasanya foto sebelum jam lima buat perkembangannya.”
“Gak usah panik, pake HP ini aja, udah jam lima pas ini.” Allen menyodorkan HP nya.
Dan Maya hanya menatapnya dengan ragu.
“Gak papa, pake aja.”
Menerimanya dengan ragu ragu, Maya tersenyum tipis kemudian memotret salah satu bunga yang dijadikan batu loncatan untuknya.
“Bua tapa foto bunga itu, May?”
“Mamah paling suka, tapi bunga ini yang paling susah dipelihara. Jadi tiap perkembangannya harus diawasi.”
“Ahh, rajin banget kamu,” puji Allen, dia menerima kembali ponselnya dari Maya. “Mau dikirim sekarang?”
Maya mengangguk.
“Sebutin nomor kamu.”
Ternyata benar benar mudah, sepertinya Maya akan dengan mulus menjalankan rencana ke depannya. Melihat bagaimana Allen memberi respon kalau dia menyukai gadis yang polos.
“Makasih, Mas.” Maya memekik senang.
“Sama sama.” Allen ikut tersenyum, gemas dengan Maya yang terlihat lucu. Dia Bahagia hanya karena mendapatkan foto bunga saja.
*****