"Kita sudah sampai, Nona."
Olin langsung tersadar ketika mendengar supir taksi berbicara. Ia lantas mengalihkan pandangannya keluar jendela dan menemukan mobil Dimitri sudah terparkir di depan kafe. Oke, itu artinya Dimitri sudah sampai.
Setelah membayar taksi, Olin turun dari taksi dan berjalan memasuki kafe. Matanya menatap ke sekitar, berharap agar orang-orang tidak menilai penampilannya lagi.
Olin kemudian membuka pintu kafe dan masuk ke dalamnya. Ia mengedarkan pandangannya mencari Dimitri dan menemukannya. Tapi ia mengernyit saat mendapati Dimitri tak sendirian. Pria itu bersama...dengan beberapa orang temannya. Mereka terlihat berbicara tentang sesuatu.
"Bagaimana aku bisa memberitahu Dimitri jika dia sedang bersama teman-temannya?" Gumam Olin pelan. Ia berniat mendekat, tapi langkahnya langsung terhenti ketika melihat Dimitri tiba-tiba berlutut di hadapan seorang perempuan berambut coklat—yang Olin tidak ketahui namanya.
Dimitri menggenggam tangan gadis itu, menatap hangat matanya. Lalu mengucapkan sesuatu yang membuat Olin terkejut bukan main.
"Will you marry me?"
Sesuatu seperti menikam jantungnya saat melihat Dimitri melamar gadis itu. Tangan Olin kemudian merambat ke dadanya, tepat dimana ada sedikit rasa nyeri disana. Kedua matanya berair, lalu perlahan mengaburkan pandangannya. Ya Tuhan! Kenapa rasanya sakit sekali?
Olin mengepalkan kedua tangannya. Dimitri akan menikah, dan ia tidak bisa memberitahu Dimitri mengenai kehamilannya. Olin tidak ingin merusak pernikahan mereka. Karena mau bagaimana pun, perempuan itu lebih cocok bersanding bersama Dimitri dibandingkan dengan dirinya.
Lalu sebelum mereka menyadari keberadaannya, Olin lebih dulu memundurkan langkahnya dan keluar dari cafe. Menghentikan sebuah taksi yang lewat dan menyuruh supir untuk bergegas pergi dari sana sebelum Dimitri menemukannya. Meskipun ia tidak yakin jika Dimitri akan melihatnya.
Selama berada di dalam taksi, Olin hanya diam memikirkan apa yang harus dilakukannya setelah ini?
Cepat atau lambat Dimitri pasti akan menyadari peeubahan dirinya, ia tidak mungkin bisa menutupinya lagi jika sudah seperti itu. Dan satu-satunya cara agar Dimitri tidak tahu adalah pergi dari kota ini. Tapi kemana ia harus pergi?
Dan ditengah-tengah pemikirannya itu, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Olin dengan cepat langsung merogoh tasnya, mengeluarkan ponselnya dari dalam sana,kemudian tercekat saat menemukan nama Dimitri disana.
Setelah menghela nafas panjang, ia akhirnya menjawab panggilan Dimitri itu.
"Halo, Lin. Kau dimana? Kenapa belum sampai? Apa terjadi sesuatu padamu?" Belum sempat Olin berbicara, Dimitri sudah lebih dulu membombardir dirinya dengan banyak pertanyaan.
"Um...maaf. Tiba-tiba saja aku merasa tidak enak badan. Jadi aku tidak bisa datang," Dusta Olin, iamenggigit bibirsaat tidak mendengar balasan dari Dimitri. "Maaf sudah membuatmu menunggu." Tambahnya.
"Tidak apa-apa. Istirahatlah. Kita bisa bicara besok."
Ia langsung bernafas lega. "Um... baiklah. Aku tutup telponnya."
"Iya. Get well soon."
"Terima kasih."
Sambungan terputus. Olin bisa bernafas lega, karena setidaknya Dimitri mempercayai ucapannya kali ini. Ia kemudian menyuruh supir taksi tadi untuk mengantarkannya pulang, karena jika berada di apartemen ia bisa merasa aman, tanpa harus bertemu Dimitri.
****
Pagi harinya, setelah mengantar Al sekolah, Olin langsung bergegas menjalankan mobilnya menuju kantor. Ia hendak masuk keruangannya saat Andrea tiba-tiba muncul dan memanggilnya.
"Mrs. Fernandez.”
Olin menoleh, lalu berbaik menghadap Andrea. Ia mengernyit saat melihat ekspresi panik diwajah perempuan itu. “Ada apa, Andrea?”
“Aku ingin mengatakan tentang satu masalah pada proyek kita dengan Dinel Corp."
Olin menegakkan punggungnya, tampak tertarik dengan pembicaraan ini. "Ada masalah apa?"
"Dinel Corp. kurang menyetujui tentang kontrak kerjasama yang kita buat, jadi dia menyuruhmu untuk menemui langsung petinggi perusahaan untuk membicarakan masalah ini secara langsung." Jelas Andrea. “Dia juga mengancam akan membatalkan kerja sama jika kita tidak merubah kontraknya.”
Olin mengernyit. “Kenapa bisa ia tidak setuju? Bahkan Austin juga menyetujui kontraknya.” Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membelalak ketika melihat banyak panggilan tak terjawab disana.
“Austin bukan orang yang berhak menyetujui kontrak itu.”
“Lalu dimana James?”
“Mr. James ada diruangannya. Dia tidak mau ikut campur karena kau yang menghadiri meeting kemarin.”
Olin menghela nafas panjang. “Baiklah, kapan aku harus kesana?"
"Secepatnya kalau bisa."
"Beritahu mereka aku akan datang setelah makan siang."
Andrea mengangguk. "Baiklah, kalau begitu aku permisi," Ia melangkah menuju pintu keluar, namun sebelum sampai di pintu keluar, Olin lebih dulu bersuara.
"Oh iya, nanti kau tidak usah ikut, ya. Biar aku sendiri saja."
Andrea berbalik dengan alis berkerut. "Kenapa? Bukankah sekertaris seharusnya ikut?"
"Tidak perlu, aku akan kesana sendiri."
Andrea menatap Olin curiga. "Bilang saja kau ingin bertemu dengan pemilik Dinel Corp yang tampan itu kan? Makanya kau tidak mau mengajakku." Goda Andrea sambil menaik turunkan alisnya.
Olin melotot. "Aku kesana untuk membicarakan masalah pekerjaan. Bukan—"
"Oke oke, aku tidak akan ikut," Potong Andrea. "Dan satu hal lagi, ceritakan padaku jika kau terpesona padanya." Sebelum Olin mengamuk padanya, Andrea lebih dulu berlari keluar ruangan, meninggalkan Olin yang memberenggut kesal.
Andrea sialan!
****
Sampai di tempat tujuan, Olin pun memarkirkan mobilnya di depan gedung Dinel. Corp. Ia lalu turun dari mobil, menemui Austin yang sudah menunggunya di lobi. Sebelumnya, Olin memang sudah memberitahu Austin jika ia akan datang, dan ternyata pria itu menawarkan diri untuk menjemputnya di lobi.
"Hei, sudah lama menunggu?" Tanya Olin pada Austin.
"Tidak lama, hanya sekitar 20 menit? Maybe." Ucapnya sambil berjalan memasuki lift.
"Jadi ada masalah apa dengan bos-mu itu? Kenapa tiba-tiba ia ingin merubah kontraknya?" Tanya Olin setelah pintu lift tertutup.
"Entahlah. Aku tidak tahu yang mana yang salaj. Dan ia mau membicarakannya langsung denganmu."
Ting!
Pintu lift terbuka. Austin dan Olin keluar dari lift, berjalan beriringan menuju ruangan petinggi perusahaan.
"Ini ruangannya." Austin menunjuk ruangan di hadapannya. "Ketuk saja, aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan dulu. Bye." Ia mencubit pelan pipi Olin lalu berjalan menuju meja kerjanya.
Olin merengut kesal lantaran Austin yang dari dulu selalu saja mencubit pipinya. Ia kemudian beralih menatap ruangan di depannya. Dengan ragu, Olin mengetuk pintu di hadapannya.
"Masuk!"
Begitu terdengar suara dari dalam, Olin membuka pintu dan masuk ke ruangan itu. Ia melangkah mendekati meja. Sedangkan orang yang tadi menyuruhnya masuk, masih membelakangi Olin.
Olin mulai berdiri gugup di tempatnya. Entah kenapa ia merasakan jantungnya berdebar-debar. Belum lagi, keadaan ruangan ini yang sangat maskulin, membuat ketegangan makin terasa di diri Olin.
"Ekhem! Permisi." Dehem Olin pelan.
Seperti gerakan slow motion, Kursi kebesarannya itu berputar menghadap Olin. Seseorang yang duduk di kursi itu mengernyit bingung pada Olin. "Siapa kau?"
Olin ikut mengernyit bingung. Bukankah orang yang akan di temuinya ini seorang pria, tapi kenapa yang di lihatnya adalah seorang wanita?
"Maaf, saya datang kesini karena direktur utama perusahaan ini yang menyuruh saya ke sini, beliau bilang ada yang ingin di bicarakan."
Wanita itu menatap Olin dari atas sampai ke bawah, membuat Olin tak suka.
"Dia sedang tidak ada, jadi kau bisa bicarakan denganku." Ucap wanita itu pongah. Bibir merahnya tersenyum miring pada Olin.
Olin tersenyum manis. "Kalau begitu, lain kali saja saya kesini lagi. Permisi." Ia berbalik, tapi langkahnya terhenti saat wajahnya menabrak d**a bidang seseorang. Ia memundurkan langkahnya, menunduk sopan pada orang yang di tabraknya tadi. "Maaf, saya tidak sengaja."
"Apa yang kau lakukan di sini, Khatrine?!" Ucap pria di depannya ini pada wanita tadi.
Tubuh Olin langsung kaku saat mendengar suara berat pria di hadapannya itu. Suara itu...seperti suara—
Olin mengangkat pandangannya pelan-pelan. Ia langsung membekap mulutnya, tak percaya dengan apa yang di lihatnya ini. "Di-Dimitri?" Ucapnya pelan nyaris berbisik.
Tak berbeda jauh dengan Olin, Dimitri juga tak kalah terkejutnya saat melihat Olin. "Olin? Ya Tuhan, kemana saja kau—
Olin memundurkan langkahnya.
Ya Tuhan! Kenapa ia bisa bertemu Dimitri disini? Kenapa pria itu berada di sini? Bukankah seharusnya pria itu berada di New York?
"Olin?" Dimitri mencoba menyentuh bahu Olin, tapi wanita itu malah semakin memundurkan langkahnya. Akhirnya ia memilih untuk menurunkan tangannya. "Ini benar kau?"
Dari mata Dimitri, Olin melihat jika ada tatapan kerinduan yang dalam disana. Tapi ia tidak memperdulikan itu dan memilih untuk berlari keluar.
"Olin!" Dimitri berusaha mengejar Olin. "s**t!" Umpatnya ketika melihat pintu lift telah tertutup dengan Olin di dalamnya.
Pria itu akhirnya memilih untuk berlari menuju tangga darurat agar bisa menyusul Olin.
****
Ketika pintu lift terbuka, Olin berlari langsung keluar dari sana, ia terus berlari menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil, tak lupa pula menguncinya. Setelah itu dia menelungkupkan wajahnya di setir mobil. "God! Kenapa bisa seperti ini?" Lirih Olin. "Kenapa pria itu bisa ada di sini?" Ucap Olin lirih.
Bunyi ketukan yang berasal dari kaca mobilnya membuat Olin tersentak kaget. Ia mendongak dan melotot saat melihat jika Dimitri yang mengetuk kaca mobilnya.
"Olin...buka pintunya. Ada hal yang harus aku bicarakan padamu, ku mohon." Pinta Dimitri dengan nafas terengah-engah.
Olin menggeleng kuat. Ia tidak akan mau berbicara dengan Dimitri lagi. Untuk itulah ia menjalankan mobilnya, meninggalkan Dimitri yang berdiri kaku di tempatnya.