Gila Kerja

1445 Words
Ada yang bilang, kalau kita sering berkumpul dengan penjual parfum maka kita juga akan ketularan wanginya. Dan banyak analogi yang lain senada dengan itu. Ya intinya, pergaulan atau lingkunganmu mempengaruhi karakter dan perilakumu gitu deh. Tapi, pepatah itu sepertinya nggak berlaku untukku jika disandingkan dengan sebuah frasa gila kerja. Meski sudah genap setahun bekerja di Perusahaan ini, tetap saja, pulang on time jam lima masih menjadi hal yang aku impikan. Dan bekerja dengan Sawung Tedjo B, itu semua hanya khayalan. Ada jokes di PT. D&U alias PT. Doa dan Usaha - region Jakarta, tentang loyalitas karyawan diukur ketika mereka sampe sakit tipes. Sialnya, virus - virus takut menghinggapiku sehingga penyakit itu belum juga membuatku bisa beristirahat seminggu di rumah dengan alasan sakit. Hiks. Iya, iya. Di saat orang lain ingin sehat, aku malah berdoa untuk kena pilek dan meriang barang dua hari biar bisa rebahan. Literally istirahat di rumah dengan baik dan pantas. Lihat saja Gadis, Risa, Amido dan beberapa teman kantorku, mereka sudah langganan tipes dan dengan imunku yang luar 'biadap' ini, pak Tedjo berpendapat kalau pekerjaan yang ditimpakan padaku masih terbilang 'santai'. Santai, endasmu! Pernah satu kali aku pura - pura sakit dan hendak izin, tapi mama Teti tidak membiarkan rencana cemerlangku untuk mangkir dari kantor itu terwujud. Mama mengendus kebohonganku dan berikrar jika aku pura - pura sakit maka mama akan mendoakan agar aku sakit beneran. Lhaaa, kan ngeri Hayati! Langsung aja tanpa ba bi bu, aku ngibrit ke kamar mandi dan akhirnya pergi ke kantor dengan wajah ditekuk sebal kalah strategi. Ck, kapan sih keluargaku mudik? Paling nggak kalau semuanya pulang kampung ke Ciwastra, aku bisa mangkir dengan alasan jaga kosan sepuluh pintu si mamah dan ambil cuti pura - pura ikut mudik muehehehehe. Soale, kalau ikut mudik juga aku ngga ada beda. Tetep jadi asisten mamah Teti. Teh Nira mah Ratu, dan si 'kembar' pangeran kecil. Kastaku nggak pernah berubah, tetap jadi babu yang siap mengantar mamah kemanapun dan harus mau disuruh kapanpun. Yaa ampun, nggak di kantor nggak di rumah, kenapa stempel b***k itu melekat di jidatku sih? Ohya, bos kita bersama yang bernama Sawung Tedjo B itu ternyata memang gila kerja. Kalau ada istilah di atas gila, aku rela menyematkannya untuk dia. Dia bahkan memilih datang siang saat anaknya dirawat di rumah sakit dan tetap datang ke kantor sewaktu dikabarkan kalau istrinya kecelakaan. Gila, sinting, ngga sayang keluarga emang! Hiiyy, aku merinding membayangkan memiliki pasangan kayak dia. Bisa - bisa aku ditelantarkan, kalah seksi sama kerjaan. Aku, Gadis dan Risa yang dapat julukan roda bajaj karena kemana - mana selalu bertiga, pernah me-review tingkah semua staf termasuk Sawung Tedjo yang terhormat itu. Dia rajin banget pulang malam padahal istrinya sudah telepon berkali - kali dan juga meminta bantuan Amido. Dih amit - amit deh. Ditinggalin anak istri baru nyesel anda Pak, huh! Banyak kata - kata mutiara yang ingin kuteriakkan depan wajahnya, tapi Sawung Tedjo itu selain punya muka ganteng sekelas model blasteran Jepang - Brazil, juga dikaruniai sepasang mata yang mengintimidasi. Aku kan jadi jiper kalau udah dipelototin kayak gitu. Sebel! Dering telepon berbunyi di meja Gadis, aku pura - pura nggak denger biar Risa aja yang jawab teleponnya. Si Gadis lagi sholat kayaknya dan aku tahu itu si Tedjo yang telepon. Makanya males. "Mon, sstt, Lemon. Di-summon ke dalem lo!" Risa memanggil, kontan saja aku berdecak kesal. Sambil menghentakkan kaki, aku berdiri dan memasuki ruangannya. "Ya Pak?" Setelah mengetuk pintu yang mana hanya formalitas, aku segera mendorong pintu kaca itu dan melongokkan kepala. Enggan masuk ke dalam ruangan itu dan se-udara dengannya. Nanti aku ceritakan alasan mengapa aku jadi garda terdepan haters Sawung Tedjo setelah bekerja dengannya selama beberapa bulan. "Rambut kamu ikat dong, kayak singa gitu." Alasan pertama, mulutnya tajam dan pedas. Lebih pedas dari ayam geprek bensu level sepuluh. "Iya nanti." Sahutku, enggan. "Ada apa ya Pak?" "Baca email dong, Sha. Reconcile potongan Biru Swalayan dengan klaiman, kemudian rekap. Yang sudah done berapa, yang masih outstanding berapa. Di sheet baru. Terus email ke saya, cc mbak Farah dan mbak Gia Kolls." "Baik Pak. Itu saja Pak?" Tanyaku, masih bertahan dalam mode profesional. "Hm." Jawabnya sembari nunduk menekuri agreement yang tengah ia baca. Aku mendengkus tanpa suara dan menutup pintunya sedikit kasar. Tedjo sepertinya tahu ketidaksopananku bermula sejak dia dengan semena - mena menahanku dalam meeting panjang low faedah alias buang - buang waktu doang. Untung ada Amido, yang yah lumayan bisa diajak bercanda dan humor kami satu frekuensi. Kayaknya dia juga tahu kalau aku benci tapi dilarang resign sama mama Teti. Alasan mama, ya udah bagus dapat kerja, kurang lebih begitu lah. Klise. Tetehku juga bilang, kalau keluar masuk kerjaan nanti jelek di portfolio CV & Linked In. Hmmmmmmmmm.... Terserahlah. Aku udah muak dengan si Tedjo dan sikap semena - menanya. Pernah satu kali, ia 'mengurungku' di ruangannya. Awalnya kami berencana meeting, kemudian ia menerima telepon penting dan bicara kira - kira empat puluh lima menit. Membuatku terdiam mematung di depan laptop dan layar infokus yang sudah mati karena terlalu lama dibiarkan. Kesal, kesal, aku pun membuka channel youtube dan mencolokkan earphone. Begitu selesai teleponan, dia masih menyalahkanku yang dianggap tidak memanfaatkan waktu untuk memperbaiki format. WTF! Axlsjfmnzqpacdlwpaxyzgth*** Kuingin berkata kasar. Wong format yang mana saja aku nggak tahu, mau bahas apa juga aku roaming. Udah nggak jelas, ngomelin orang yang nggak diinstruksikan pula. Idiihhhh... Kurang aqua kali ini bapack - bapack, pikirku saat itu. Eeehh, lanjut dong. Rupanya selain berbakat memikat hati perempuan dengan wajahnya, dia juga berbakat memancing emosi anak perawan mamah Teti. Yah aku akui, Tedjo itu ganteng nggak ketolongan. Ganteng yang naudzubillah, bikin kita istighfar terus takut khilaf nyosor. Tapi, juga berpotensi bikin tensi naik beberapa bar. Atau ini hanya berlaku untuk timnya, ke orang lain sih dia nice. Sampai, sampai semua principal pun taruh hormat sama doi yang notabene belum empat puluh tahun Bok! Amido nge-spill, doi masih tiga puluh enam tahun. Yahelah, masih ahoy banget kalau jomlo mah. Tapi, sayang, udah punya buntut. Gemoy lagi buntutnya. Ehh lupa, aku kan benci sama dia. Lupakan, Tisha! . . . "...mungkin bisa diperbaharui trading term untuk Biru, yang jelas nggak bisa asal motong kayak gini, Mbak Gia. Rekapnya ada di Letisha. Udah siap kan, Sha?" "..." "Sha?" Mbak Gia menoleh ke arahku dan tersenyum dengan cantik. Whoaaaaa, dia cantik banget. Kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, bibirnya merah muda ranum gitu dan matanya itu lhoo, agak judes tapi cantik. Beruntung banget suaminya. Wangi lagi. Parfumnya sopan banget masuk hidungku. "Hush!" Bahuku ditepuk pakai gumpalan kertas, aku nengok ke arah pak Tedjo yang menautkan kedua alis menatapku. "Eh iya...eng, anu, gimana Pak?" Tanyaku gagap. "Reconcile yang saya minta tadi, buka." Langsung saja aku membuka data yang sudah cocokkan sesuai permintaan Baginda Sawung Tedjo B. Kami (aku, Risa dan Gadis) enggak ada yang tahu B itu kepanjangannya apa. Mbak Gia dan mbak Farah menertawakanku. Aah, ketawanya aja enak gitu mbak Gia. Tipe perempuan cantik yang nggak bikin orang lain iri, tapi malah ikut kagum sama kecantikannya. Itu tuh mbak Gia. Namanya juga unik, Bahagia. Awal - awal, aku curiga pak Tedjo suka flirting ke mbak Gia karena doi emang cantiknya kayak naik motor sama Gadis alias kelewatan banget. Kalau beliau datang, tanpa menoleh pun aku tahu, karena parfumnya tercium dari sejak dirinya membuka pintu yang berjarak sekitar lima belas meter dari mejaku. Eh tapi, istri pak Tedjo ternyata artis muehehehe. Ya enggak secantik mbak Gia, tapi punya aura Bintang lah. Istri cantik begitu aja sering ditinggal lho Bund, kasian ya. Si Tedjo emang kurang bersyukur banget jadi manusia, kurasa. Tim Kolls sudah pulang tapi Tedjo melarangku beranjak dari kursi. "Udah jam setengah tujuh, Pak." Aku memasang wajah se-memelas mungkin. Biar dia kasihan gitu. Semoga. "Masih sore. Bereskan piutang Biru dan Seoullo dulu, besok saya bawa meeting ke Bandung." Seketika, kedua mataku berbinar bahagia. Meeting di Head Office berarti dirinya akan berada di sana paling nggak tiga hari. Aku pun langsung menganggukkan kepala lemah, jangan kelihatan terlalu bersemangat atau matanya akan menemukan kebahagiaanku yang akan melalui tiga hari terdamai di D&U besok. Aku yakin, Tedjo punya kemampuan mengendus radar kebahagiaanku dan mampu menyedotnya hingga tak bersisa. Aku yakin, dia memang titisan dementor di kehidupan nyata. Nggak mungkin kan mbak Rowling buat cerita tidak berdasar. Dementor pasti terinspirasi dari orang - orang perusak kebahagiaan oranglain setipe dengan Sawung Tedjo B (masih belum kuketahui kepanjangannya apa). Oke, Tisha. Bertahan malam ini lembur bareng dementor gila kerja itu, besok tiga hari, kita akan terbebas dari segala keresekannya. Baik. Sabar, sabar. Aku pun kembali menekuri laptop dan si Tedjo menelpon office boy untuk membelikan kami makanan dan minuman. Dia bahkan nggak tanya apa yang mau aku makan. Masih kurang otoriter nggak?  •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD