Bab 10. Menangis

1027 Words
"Ya, mungkin bisa kamu anggap seperti itu. Karena aku tidak suka orang yang tidak patuh, apalagi sampai tidak mengikuti aturan yang aku berikan. Lagipula itu untuk kebaikan kamu juga, jika kamu punya ponsel maka keluargamu akan terus mengusikmu. Apa kamu mau hidup ditempeli benalu seumur hidupmu?" tanya Maxime menatap tajam Callista. "Apa bedanya dengan di sini? Setidaknya aku punya kebebasanku sendiri saat di sana, sedangkan di sini aku tidak jauh beda dengan di dalam penjara." "Kamu mengeluh hanya karena belum menjalaninya, di sini kamu tidak perlu susah-susah bekerja. Apapun yang kamu inginkan akan aku berikan, meskipun dahulu itu hanya jadi mimpi untukmu. Kamu bisa membeli barang-barang bermerek, perhiasan, atau apapun yang kamu inginkan. Aku yakin kamu akan terbiasa dan menyukainya," ucap Maxime dengan percaya dirinya. Callista mendengus kesal, pria seperti Maxime tidak akan mengerti meski dijelaskan sampai berbusa. Dalam pikirannya orang susah pasti bahagia jika menikmati kemewahan, hanya sebatas itu yang ada dipikirannya. Tanpa perduli jika sebuah kebebasan adalah hal yang penting bagi manusia bebas seperti Callista. "Sudahlah, percuma menjelaskannya padamu. Kamu tidak akan mengerti," ujar Callista akhirnya. "Apa? Apa yang aku tidak mengerti? Jangan suka menilai orang lain sebelum mengenalnya, katakan apa yang aku tidak mengerti. Aku tidak suka orang yang suka menilai orang lain seenaknya!" tukas Maxime kesal merasa diremehkan. Callista tertegun mendengar ucapan Maxime, sejak tadi pria dihadapannya selalu menilai dirinya dan keluarganya seenaknya sendiri. Sekarang dia kesal saat orang lain menilainya, benar-benar pria aneh pikir Callista. "Baiklah kalau kamu memang memaksa, kamu itu pria yang suka seenaknya sendiri. Apa yang kamu pikirkan selalu kamu rasa benar, tanpa memikirkan pendapat orang lain. Lihat saja sekarang, kamu tidak suka dinilai orang lain, tapi sejak tadi kamu menilaiku dan keluargaku seenaknya. Kamu itu egois," jawab Callista jujur apa yang dipikirkannya tentang Maxime. "Berani sekali kamu bicara seperti itu tentangku, kamu mau menggantikan temanmu tadi di penjara bawah tanah?" tanya Maxime tajam. Callista tersenyum sinis, "Lihatlah, kamu tadi memaksa aku untuk menjelaskan. Lalu sekarang kamu marah dan mengancam untuk memasukkanku ke dalam penjara bawah tanah," jawab Callista. "Ya seharusnya kamu menggunakan kata-kata yang baik, tidak menyebutku egois. Apa yang aku lakukan itu pasti yang terbaik, jika kamu tidak melaluinya kamu tidak akan tahu. Sebaiknya menurut saja, aku suka pada gadis penurut yang tidak banyak protes." "Seharusnya kamu mencari wanita lain jika ingin gadis penurut. Bukan aku orangnya," ujar Callista. "Tapi aku menyukaimu, lagipula kamu yang memintaku bertanggung jawab. Aku bukan pria yang tidak bertanggung jawab, aku merenggut keperawananmu jadi aku akan bertanggung jawab. Salah sendiri kenapa kamu sampai memaksaku melakukan itu padamu," sahut Maxime tidak mau kalah. "Ya sudah, kalau begitu lakukan sesukamu. Toh aku tidak punya pilihan lain, kamu tidak akan menurutiku juga." "Bagus, kenapa tidak seperti itu sejak awal. Kalau begitu kan aku jadi tidak perlu berdebat denganmu," ucap Maxime dengan entengnya. Callista menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara kembali, "Apa sekarang aku boleh kembali ke kamar? Kalau boleh tau di mana kamarku?" "Tentu saja di kamar tadi, itu akan jadi kamar kita berdua." "Apa? Apa tidak bisa aku punya kamar sendiri?" "Tidak, aku ingin berada satu kamar denganmu. Kamu tidak usah khawatir, tidak setiap malam aku akan berada di kamar itu. Aku ini orang sibuk, yang kadang berhari-hari tidak pulang. Jadi untuk apa kamar berbeda, aku ingin kapanpun aku ingin kamu selalu ada di dekatku. Paham?" tanya Maxime setelah menjelaskan. Callista hanya mengangguk, lalu berpamitan untuk kembali ke kamar. Melihat kepergian Callista dengan langkah berat, Maxime malah merasa senang. Entah kenapa dia merasa senang saat Callista kesal padanya, hanya dia yang bisa berdebat dengannya meskipun dia tidak akan mungkin mau kalah. Callista berjalan tanpa mengangkat kepalanya, sampai-sampai dia hampir menabrak Lois yang di minta Maxime ke ruang kerjanya. "Maaf," ujar Callista lirih. "Anda harus lebih hati-hati, Nona. Tuan akan marah jika Anda terluka, semua orang di sini yang akan terkena imbasnya." Lois mengingatkan Callista, karena memang itulah yang akan terjadi. "Baiklah," jawab Callista singkat seolah dia tidak punya tenaga untuk bicara lagi. Callista kembali berjalan menuju kamarnya, sementara Lois kembali menuju ruang kerja Maxime. Setelah mengetuk pintu, Lois masuk ke dalam ruang kerja Maxime. Dia melihat wajah senang sang Bos saat dia masuk ke sana. "Anda terlihat senang, Bos. Apa ada hal yang menyebabkan yang baru saja terjadi?" "Tentu saja, aku senang karena bisa menaklukkan gadis itu. Dia bahkan tidak bisa menang saat berdebat denganku, bukankah itu hal hebat yang bisa aku lakukan. Hahaha," jawab Maxime seraya terbahak. "Anda memang hebat, Bos. Pantas saja wanita itu seperti orang putus asa saat berjalan tadi, sampai-sampai tidak kuat mengangkat kepalanya dan hampir menabrak Saya tadi." "Dia pikir bisa mengalahkanku, itu kenapa dia tampak lesu. Lalu bagaimana dengan teman gadis itu?" "Dia sudah saya pulangkan setelah mendapatkan hukuman seperti yang Anda perintahkan. Dia diantar oleh Martin tadi," jawab Lois. "Baguslah, semoga dia tidak berani berurusan dengan gadis itu lagi. Dia sudah mendapatkan apa yang pantas, meskipun aku yang mendapatkan keuntungan dari perbuatannya. Tetap saja ada yang dia lakukan adalah hal buruk, jadi dia pantas di hukum." Sementara Maxime dan Lois mengobrol di ruang kerja, Callista yang kembali ke kamar langsung menelungkup di atas tempat tidur. Dia menangis sejadinya, baru kali ini dia meluapkan semua perasaan sedihnya lewat tangisan. Bukan hanya karena terkurung di tempat itu, dia juga bersedih karena apa yang dilakukan Hellen padanya. "Selama ini aku sangat mempercayaimu, aku menceritakan semuanya padamu. Bagaimana bisa kamu melakukan itu padaku, hal sangat buruk yang bahkan tidak pernah terbayangkan olehku. Kenapa kamu tega sampai ingin menjualku?" tanya Callista bicara sendiri di sela tangisnya. Callista tidak pernah menduga, jika Hellen iri padanya selama ini. Padahal dia merasa seperti gadis malang yang tidak pernah bahagia seluruh. Dia hanya berusaha untuk bahagia, meskipun kehidupannya sulit. Rupanya itu pun menjadi hal yang membuat orang lain iri padanya. Maxime yang selesai bicara pada Lois, tergerak untuk kembali ke kamar. Dia ingin menggoda Callista, bahkan dia masuk perlahan agar bisa mengejutkannya. Tapi semua batal, saat dia melihat Callista yang masih sesenggukan sambil tertelungkup di atas tempat tidur. "Kamu menang? Siapa yang sudah menyakitimu, katakan padaku dan aku akan memberikannya hukuman." Maxime mendekati Callista dan menanyakan alasan Callista menangis. "Bagaimana kalau aku bilang itu kamu? Apa kamu akan menghujat dirimu sendiri?" tanya Callista masih dengan posisinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD