Nama

1192 Words
Beberapa waktu kemudian pemuda itu sudah kembali dengan membawa beberapa buah dan dua ekor kelinci besar yang gemuk, kemudian memberikannya pada Anindira setelah dia duduk di hadapannya. ''Ini untukku?" tanya Anindira. ''Makanlah!" seru pemuda itu. Memberi perintah dengan ekspresi datar masih tetap terpampang jelas di wajahnya. ''Ma-kan..." ujar Anindira, mengulangi mengikuti perkataan pemuda itu, menjeda setiap suku kata. ''Eum...'' angguk pemuda itu, ''Makan,'' ujar pemuda itu lagi mengulangi kata-katanya. ''Terima kasih,'' Anindira menjawab dengan senyum manisnya dan mulai makan buah-buahan, ''Aku sangat lapar… Terima kasih sekali lagi,'' ujar Anindira sambil menjejalkan tiap gigitan buah yang dimakannya. Anindira makan lumayan lahap untuk ukuran anak gadis yang masih dalam keadaan syok. Tapi, itu memang sudah sifatnya yang easy going, dia cukup stres kemarin, tapi sekarang dia harus terus menjalani keadaannya sekarang, kalau mau bertahan hidup di dunia yang tidak dikenalnya. ''Kau tampak sangat menyukai buah-buahan itu, tapi kau sama sekali tidak melirik kelinci yang kubawa,'' ujar pemuda itu, menyelidik. Anindira kembali menunjukkan reaksi yang sama seperti sebelumnya, karena tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Mau tidak mau hanya wajah yang tampak bodoh yang bisa di perlihatkan Anindira. ''Kau...'' panggil pemuda itu perlahan, ''Tidak... '' lanjut pemuda itu lagi, ''Makan ini?'' tanya pemuda itu sambil menunjuk kelinci di hadapannya, ketika dia menyelesaikan kalimatnya. Ternyata dia sengaja mengucapkan kata demi kata, putus-putus, seolah sedang mendikte Anindira. ''Hmm?'' Anindira mengangkat alis memperhatikan pemuda itu, tapi, dia kemudian tersenyum, ''Maksudnya makan itu?!'' seru Anindira bertanya dengan menegaskan, dia cukup senang juga, karena ternyata dia bisa mengetahui maksud pemuda itu. ''Bagaimana makannya?’’ tanya Anindira kemudian, ‘’Bukankah itu masih mentah?! '' seru Anindira menegaskan, sambil berusaha memperagakannya. Pemuda itu mengangguk menjawab peragaan konyol Anindira. Kali ini, Anindira menunjukkan reaksi sedikit berbeda. Anindira mengerutkan dahi memikirkan sesuatu yang aneh. ''Bagaimana makan kelinci masih penuh bulu begitu?'' tanya Anindira heran, dia mengernyitkan dahi sambil membuat tampang jijik menatap kelinci mati di tangan pemuda itu. Pemuda itu merogoh kantong kulit yang ada di pinggangnya, lalu mengeluarkan batu pipih. Segera setelah itu, dia mulai merobek dan menguliti kelinci dengan sangat cekatan. Tidak ada rasa jijik pada diri Anindira saat melihat pemuda itu mengolah kelinci di hadapannya. Anindira sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu, selama ini Anindira rajin membantu ibu dan neneknya di dapur. Selain itu, dia juga pernah beberapa kali ikut kakeknya berburu, kemudian dia juga pernah mengolah sendiri tupai yang pernah di burunya. Setelah selesai mengolah kelinci, pemuda itu menyerahkannya pada Anindira. Mata Anindira melotot, wajah Anindira berkerut melihatnya, refleks, tubuh Anindira sedikit mundur ke belakang, bukan hanya karena geli tapi karena bingung. ''Kelincinya mau di makan mentah?!'' seru Anindira bertanya dengan wajah yang menunjukkan ekspresi tidak suka da juga jijik. Melihat reaksi Anindira yang seperti itu, pemuda itu salah dalam memahaminya, dia kemudian hendak membuang kelinci di tangannya. ''TUNGGU!!'' seru Anindira memekik dengan tangan yang refleks bergerak cepat menghentikan tangan pemuda itu yang hampir saja melempar hewan buruan di tangannya. ''Mau diapakan kelincinya?'' tanya tanya Anindira selanjutnya dengan wajah sedikit terlihat marah, ''Jangan di buang, 'kan sayang!'' seru Anindira mencegah dan menahan pergelangan tangan kokoh dari pemuda itu. Anindira menatap tegas pada pemuda itu, dia tidak suka melihat perlakuan yang menyia-nyiakan makanan. ''Kau tidak suka, ‘kan?! Kau tidak memakannya?! '' tanya pemuda itu. Dia bingung, kenapa Anindira menahan tangannya, sudah begitu, Anindira juga sangat berani karena menatap langsung ke matanya. ''Tuan, jangan di buang!’’ seru Anindira, ‘’Kenapa kau menangkap dan mengolahnya kalau mau di buang?!'' tanya Anindira dengan tegas, ''Kau menangkapnya, itu artinya kau ingin memakannya... kau tidak akan memberiku sesuatu yang kau sendiri tidak makan kan?!'' seru Anindira lagi, dia menghardiknya dengan keras sekali. Anindira merasa kesal, kenapa pemuda itu dengan mudahnya membuang bahan makanan, apa lagi masih segar dan berkualitas. Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa saat, antara mengerti dan tidak mengerti dengan ucapan dan tindakan dari kedua belah pihak. Mencoba meraba-raba dan meneliti dari beberapa tindakan mereka sebelumnya. Sampai akhirnya setelah memikirkan semuanya sejenak, akhirnya mereka sampai pada kesimpulan. ''Tuan... '' panggil Anindira yang paling duluan mengalah, ''Aku tidak makan daging mentah... '' ujar Anindira lagi-lagi dengan peragaan konyolnya. ''Aahh!'' pekik Anindira kemudian, ''Betul, api!... Harus ada api!... Kau bisa membuat api?'' seru Anindira bertanya, dan lagi-lagi, dengan sedikit peragaan aneh yang dibuatnya. Pemuda itu yang awalnya terkesan selalu berwajah dingin tanpa perasaan, tak disangka, dua hari semenjak dia bersama Anindira, dia selalu saja tersenyum, karena dia selalu saja melihat tindakan konyol dan aneh Anindira. Tapi, pada akhirnya pemuda itu berusaha untuk bijak melihat tindakan Anindira. Perlahan, dia mencoba menelaah sesuatu. Mata pemuda itu terbelalak, alisnya terangkat, akhirnya dia ingat sesuatu. ''Maaf... Maafkan aku... Aku lupa,'' ujar pemuda itu tampak panik, kontras dengan sikap dinginnya selama ini, ''Kalian wanita tidak suka makan daging mentah... Aku lupa... '' tambah pemuda itu lagi, dia dengan tulus meminta maaf pada Anindira. Kembali pemuda itu mengeluarkan dua buah batu dari kantongnya, kali ini bentuknya bongkahan bukan pipih. Pemuda itu menghentakkan dua batu itu bersamaan. Dari hentakan dua batu itu kemudian terlihat percikan. Mata Anindira langsung terbuka lebar sesaat kemudian matanya langsung berbinar. "YA!... API!'' seru Anindira, lagi-lagi tangan dan wajahnya kompak dengan sikap dan peragaan konyolnya, ''Hehehe... '' tawa aneh kembali terlihat di wajahnya yang sudah konyol, ''Tuan, kau pintar... '' ujar Anindira tersenyum gembira karena maksudnya tersampaikan, sambil mengangkat jempol yang lengket karena cairan manis buah yang belepotan di tangannya. ''Tung-gu... di-sini!... '' seru pemuda itu, lagi-lagi dia bicara dengan cara mendikte sambil menahan pundak Anindira. Mengisyaratkannya untuk menunggu. Dengan gesit pemuda itu kembali menuruni pohon, lagi-lagi dia meninggalkan Anindira di atas pohon. Tapi, selang beberapa menit kemudian, dia naik dan membawa Anindira turun ke bawah. Ternyata pemuda itu, dia tadi turun untuk menyiapkan api unggun. Saat membawa Anindira turun, api sudah siap di bawah. Dia kemudian mengambil dua ekor kelinci yang dibungkus daun yang lebar mirip daun jati lalu menusukkan ke kayu kemudian mulai membakarnya. Sambil menunggu kelinci itu siap di makan, mereka berbincang dan memutuskan untuk berkenalan dan berlanjut berbicara lebih banyak. ''Halvir... '' ujar pemuda itu sambil menunjuk pada dirinya, ''Halvir... A-ku... Halvir... '' ujar pemuda itu mengulanginya, kemudian menunjuk Anindira. ''Hal... Vir?!'' seru Anindira menjawab, kemudian menunjuk ke arah pemuda itu. ''Eum...'' angguk pemuda itu, ''Kau?!'' seru Halvir bertanya, dia kemudian menunjuk Anindira. ''Anindira... A-nin-di-ra...'' ujar Anindira sambil menunjuk dirinya sendiri. Perbincangan mereka terus berlanjut dengan Halvir menunjuk dan menyebutkan nama-nama benda di sekeliling mereka, sampai akhirnya daging kelinci pun matang dan siap di santap. Rasanya hambar tapi tetap enak, apa lagi Anindira sedang lapar saat ini. Dia tidak akan pilih-pilih makanan untuk saat seperti ini. ''Gambar...'' ujar Anindira setelah menggigit secuil daging kemudian mengunyahnya, ''Tapi, rasanya tidak buruk... masih layak makan, apa lagi di tempat seperti ini,'' ujar Anindira sambil mengangkat menunjukkan daging yang sudah di cuil Anindira memamerkannya pada Halvir. Daging kelinci itu punya rasa alami yang khas dengan aroma kayu bakar dan daun yang membungkusnya. Walau punya rasa yang biasa tapi tetap bisa dinikmati dengan nikmat. ''Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tapi, melihatmu makan dengan baik. Itu artinya kau menyukai daging yang aku masak untukmu. Itu bagus... Kau tidak akan kelaparan kalau begitu,'' ujar Halvir menanggapi Anindira. Wajahnya amat datar saat bicara, tapi sorot matanya terlihat tersenyum memandangi Anindira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD