Pertemuan pertama

1034 Words
003 Pertemuan pertama ''Apa hanya perasaanku?'' gumam Anindira bertanya-tanya ketika sedang memikirkan akan terus maju atau berbalik, ''Kenapa rasa-rasanya semakin sunyi?!'' Antara sadar dan tidak, Anindira merasakan keanehan suasana di sekitarnya saat ini. Meski berjalan perlahan karena masih merasa ragu tapi perlahan-lahan Anindira tetap maju melangkahkan kakinya. ''Haruskah aku berbalik... aku merasakan sesuatu yang aneh di depan sana...'' keluh Anindira yang merasakan kengerian di dalam dirinya terasa semakin pekat. Anindira terdiam sejenak mengumpulkan keberaniannya. Menghirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mantap dengan keputusannya. ''Masa bodoh! Aku sudah tidak tahu lagi... apa pun yang aku lakukan sekarang sama sekali tidak terlihat secercah petunjuk akan seperti apa konsekuensinya. Melangkah maju atau pun berbalik. Tidak jelas... saat ini hanya ada pikiran positif kalau ada harapan akan adanya sungai di depan sana. Itu lebih baik dari pada tidak ada harapan sama sekali... diam saja di sini sama saja dengan terjebak. Kalau pun terjadi sesuatu, setidaknya aku sudah berusaha.'' Pada akhirnya, Anindira melawan rasa takutnya. Meski hanya sedikit keberanian yang dimiliki Anindira. Tapi hal itu cukup untuk membuat kakinya kembali mendapatkan pijakan. Musim panas yang terik tidak menghalangi suhu dingin yang terbawa angin berhembus menghampiri Anindira. Tubuh Anindira gemetaran merasakan angin yang terus berhembus melewati pakaian tipis Anindira. ''Uwah!'' pekik Anindira sambil menggosok-gosok tangannya karena merasa kedinginan, ''Makin terasa suram di depan sana. Aku jadi semakin ragu dengan keputusanku untuk terus maju...'' ''Ayolah, jangan terus menerus terganggu oleh hal yang tidak jelas. Aku hanya akan terus menakuti diriku sendiri jika terus seperti ini...'' Anindira terus bergumam pen uh harap tapi juga sekaligus terus berkutat dengan kecemasan di dalam hatinya. ''Aku benar-benar ingin menangis sekarang, tapi aku bahkan terlalu takut untuk mengeluarkan air mata. Apa boleh buat, aku tersesat sendirian di hutan antah berantah. Saat ini aku benar-benar merindukan Gavin. Ayah, Mom, apa aku bisa bertemu kalian lagi?'' Perasaan horor yang membuat bulu kuduknya berdiri, terus menyelimuti pikiran Anindira. Saat ini di dalam otaknya tengah terjadi perdebatan seru, saraf takutnya dengan tegas mengatakan ... ''Jangan pergi ke sana!'' ''Itu menakutkan...'' ''Itu suram dan gelap kau tidak tahu apa yang sedang menantimu di sana?!'' Tapi, salah satu sifat petualangnya menentang keras hal itu. Anindira bingung memikirkan antara naluri di hatinya dan logika di otaknya. Keduanya beradu argumen di dalam kepalanya, tapi jiwa petualangnya akhirnya memenangkan perdebatan keras di dalam pikirannya. ''Tahu apa, kalau bahkan tidak dicoba?!'' Anindira memekik pada dirinya sendiri di dalam hati, ''Jangan jadi penakut, pengalaman adalah guru terbaik untuk mengajarimu!'' Anindira masih berusaha menyemangati hatinya agar tidak putus harapan. ''Sudah berapa lama waktu berlalu?'' tanya Anindira, ''Sepertinya, hari sudah semakin gelap. Dengan kesunyian hutan akan semakin mencekam ketika malam tiba. Kegelapan akan menjadikanku target mudah untuk pemangsa nokturnal. Aku harus segera menemukan tempat untuk bermalam!'' Beberapa waktu kemudian akhirnya terjawab salah satu pertanyaan Anindira. Sayup-sayup suara aliran air yang mengalir deras mulai terdengar oleh Anindira. ''Air!'' pekik Anindira yang hampir melompat kegirangan, ''Tidak salah lagi, itu suara aliran air...'' tambah Anindira sambil mempercepat langkah kakinya. Kabut tebal membuat Anindira tidak bisa melihat dengan jelas kalau deru aliran air yang di dengar oleh Anindira berasal dari sungai yang sangat besar. Hal baiknya adalah, mata Anindira tidak bisa menjangkau hal yang mengerikan dan berbahaya mengintai di seberang sungai. ''Ya ampun, dingin sekali...'' keluh Anindira saat dia menyadari kalau ternyata suhu di tempat itu luar biasa dingin. Berbeda dengan tempat sebelumnya, suhu dingin di sini terasa sangat menyakitkan seolah menusuk hingga ke tulang sum-sum. Gigi Anindira bergemeretak menunjukkan kalau dia menggigil kedinginan. ''Huft... hufth... hufth...'' Anindira mulai kesulitan bernafas,tangannya nmenggosok dadanya yang terasa sesak karena ternyata tubuhnya kesulitan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru saja di masukinya, ''Apa ini, dadaku sesak... apa mungkin ini dataran tinggi?! Apakah oksigen di sini terlalu tipis... kalau seperti ini tidak mungkin bagiku untuk terus maju...'' "BERHENTI!'' Suara berat seorang pria mengejutkan Anindira. Suaranya terdengar datar, tapi terasa seperti memekik dengan tajam kepada Anindira. "Kau bisa mati jika terus maju,'' ujar pria itu menambahkan peringatannya, ''Sebaiknya kau kembali ke tempat dari mana kau datang sebelumnya!" ''Suara orang!'' pekik Anindira yang terkejut sekaligus gembira ketika mendengar dengan lebih jelas kalau itu memang ada seseorang yang sedang berbicara dengannya, ''Aku tidak sedang berhalusinasi karena kekurangan oksigen bukan?!'' ''Hei, kau dengar aku?!'' tanya pria itu lagi karena Anindira tidak segera meresponnya dan malah bergumam aneh menurutnya. ''Itu benar-benar suara orang!'' seru Anindira memekik di dalam hati sambil menengok ke belakang, bersiap lari hendak menghampirinya, "Tuan, tolong aku...'' panggil Anindira pada sosok pria di belakangnya, tapi tiba-tiba dia malah terperagah, ''AH! HAH?!?!" Kaki yang sudah siap berlari kapan terpaku seketika itu juga seolah membeku oleh dinginnya suhu. Mulut Anindira menganga dengan mata yang terbelalak. Tubuh Anindira yang pendek membuat matanya hanya sedikit lebih tinggi di atas perut pria dengan tampilan sangar dari tubuhnya yang besar. ''Tidak terlihat!'' pekik Anindira di dalam hati setelah menengadahkan kepalanya untuk melihat wajah pria di hadapannya, ''Hanya siluet dagunya saja. Aku tidak bisa melihat wajahnya...'' Pemuda gagah dengan tinggi hampir dua meter berdiri tegap di hadapan Anindira. Rambut hitamnya yang panjang membuat tampilannya semakin samar dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan. Tapi, auranya tetap terasa pekat dan berat membuat Anindira terintimidasi. ''Apa-apaan ini... dia akan jadi penolongku atau malah sebaliknya?!'' pekik Anindira di dalam hatinya, ''Lihat saja, hawa dingin sampai seperti ini, tapi dia bahkan tidak pakai baju! Dia hanya memakai bawahan berupa... kain atau kulit binatang?! Sepertinya tidak di jahit?! Hanya dililit, diikat... ini pakaian atau apa? Apa dia suku pribumi? Aksesoris yang di pakai jelas menunjukkan itu bahan-bahan alami...'' ''Kau hanya akan berdiri diam di situ?!'' tanya pemuda di hadapan Anindira. Lagi-lagi Anindira merasa terkejut, dia bingung dengan apa yang di dengarnya barusan. ''Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan tapi sebaiknya kita segera pergi dari sini atau kau akan mati kedinginan sebelum mereka yang di hadapanmu mendapatkanmu...'' Anindira masih kebingungan sama seperti sebelumnya. Dia tidak tahu harus bagaimana merespon pemuda di hadapannya. ''Huft,'' dengus pemuda itu menghela nafas melihat betapa takut Anindira padanya, ''Aku tahu kalau aku cukup menakutkan tapi setidaknya aku tidak akan mencelakaimu,'' tambah pemuda itu sambil mengulurkan tangannya untuk menuntun Anindira, ''Aku ingin menolongmu, mengeluarkanmu dari sini.'' Anindira masih diam terpaku dengan wajah bingung penuh tanya menatap pemuda yang dia tidak bisa melihat wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD