Yogi menatap bangunan minimalis yang merupakan kontrakan dari gadis yang ada di sampingnya. "Woy, buka kuncinya, aku dah ngantuk!" Teriak Yura. Yogi mengunci pintu mobil untuk antisipasi dirinya agar tidak melompat turun. Hell, Yura masih punya akal untuk sekedar menyakiti diri sendiri.
"Kamu kenapa sewa kontrakan kayak gini? Kenapa gak sewa apartemen?" Tanya Yogi penasaran.
"Kenapa ngurusin hidup orang sih. Cepat bukain!" Sebal Yura yang memang sudah sangat ngantuk.
"Iya iya dibukain. Sekalian bajunya mau di bukain gak?"tanya Yogi menggoda.
"Dalam mimpimu!"ketus Yura.
"Mimpi buka-bukaan baju sama kamu aja udah nikmat. Apalagi beneran. Arghhh ampun!"pekik Yogi saat Yura beranjak mencekik erat lehernya. Cengkraman tangan Yura begitu kuat sampai ia kesulitan bernapas.
"Ampuuun!" Ucap Yogi.
"Makanya jadi cowok gak usah m***m. Aku hitung sampai tiga. Kalau gak kamu bukain. Awas! Habis kamu saat itu juga." Ancam Yura setelah melepas cekikannya pada Yogi.
"Dasar garangan betina!" Cibir Yogi yang memegangi lehernya karena sakit. Cungkring begitu, tenaga Yura gak boleh disepelekan. Yura selalu membanggakan kalau dia mantan atlet taekwondo yang sudah meraih sabuk tingkat tinggi. Entahlah, Yogi tak paham dengan dunia persilatan. Yogi anak mama, kalem dan baik hati, gak pernah tau serunya persilatan.
Yura keluar dari mobil Yogi dengan membanting pintunya keras. Gadis itu juga berjalan sempoyongan karena sangat mengantuk. Hari ini dia lembur, dan besok harus berangkat pagi karena dia harus memimpin meeting divisi marketing. Andai Yura bisa mengeluh. Pasti dia akan mengeluh dengan meraung keras. Meratapi hidup yang sangat kejam pada dirinya. Dibuang keluarga, tak diakui anak dan harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Awalnya Yura menyerah tak kuat, tapi lama kelamaan ia bisa. Bahkan sampai sesukses ini. Ia hanya perlu ngumpulin uang sebanyak-banyanya, setelah itu ia akan membeli satu pulau untuk dia tempati di hari tuanya seorang diri. Soal menikah, Yura tak pernah memikirkan hal itu. Lagian siapa yang mau dengan dirinya. Yura yakin, meski di dunia ini tersisa satu orang laki-laki dan dirinya, pasti laki-laki itu memilih mati ketimbang hidup bersamanya.
Sedangkan Yogi belum menjalankan mobilnya, dia masih asyik dengan pikirannya sendiri. Bayangan tentang kehidupan Yura mengusik hatinya. Kenapa dia yang jadi gelisah. Yogi melirik dompet Yura yang tertinggal. Dengan lancang, ia membuka isinya. Tak ada apa-apa. Hanya ada Kartu identitas, Sim, kartu nama dan uang cash ratusan ribu yang lumayan banyak. Ada juga kartu Atm gold. "Uangnya banyak, kenapa sewa apartemen aja gak kuat?"tanya Yogi dalam hati. Yogi menyimpan dompet Yura. Batinnya tersenyum, dompet itu akan ia jadikan alasan untuk bertemu Yura besok.
Yura membuka pintu kamarnya dengan tergesa-gesa. Tanpa mandi terlebih dahulu, ia langsung meloncat ke kasur untuk tidur. Badannya sudah lelah, tak bisa diajak kompromi untuk sekedar ke kamar mandi. Karyawan seperti dirinya selalu di gembleng habis-habisan. Pulang larut malam karena lembur, juga berangkat paling pagi untuk menyiapkan segala sesuatunya. Suara dering hp membuat Yura yang sudah memejamkan matanya, terbangun kembali. Dengan malas, ia meraih hp nya.
"Halo!" sapa Yura.
"Mbak ini Nathan sudah tidur. Tadi sempet nanyain Mamanya. Nangis terus mbak, mungin kangen." jelas Ilal di sebrang sana. Ilal adalah pengasuh Nathan, anak Yura.
"Maaf ya Il, mbak belum bisa libur. Besok stelah aku pulang kerja. Kamu kesini ya! sama kamu catat apa aja kebutuhan Nathan yang habis. Akan mbak belikan." ucap Yura. Stelah Ilal mengatakan 'iya. Ia segera mematikan panggilannya. Semangatnya saat ini adalah Nathan, putranya yang kini berumur satu tahun. Sudah lebih dari tiga hari Yura tak ketemu Nathan. Ia menitipkan Nathan pada baby sitter yang sudah ia percaya. Batin Yura, ia harus segera mengumpulkan banyak uang dan akan segera pergi dari kota yang membuatnya sengsara ini.
Sesampainya di rumah. Yogi uring-uringan mencari berkas-berkas lama tentang data diri Yura. Ia mengacak rambutnya gemas saat membongkar file di laptopnya tapi tetap tidak ketemu.
"Pantang tidur sebelum ketemu!" ucap Yogi dengan semangat. Ia tak mempedulikan pangglan berkali-kali dari bosnya. Yang dia utamakan adalah mencari berkas-berkas tentang Yura. Rasanya dia sangat penasaran dengan gadis macan itu. Sebelumnya, Yogi tak pernah sepenaasaran ini dengan cewek. Ia hanya suka baperin tanpa mau nyeriusin.
Tiga jam lamanya, dia tidak menemukan apa-apa. Membuat Yogi mengumpat kesal. Disisi lain, Gerald tengah uring-uringan juga karena sekretaris nya tidak juga mengangkat telfonnya.
"Datangin aja ke rumahnya, Mas. Mungkin Yogi tidur!" ucap Keyara yang sebal melihat suaminya dari tadi mengumpat.
"Malam-malam gini keluar? dingin, Ra." keluh Gerald. Keyara memalingkan wajahnya. Lebih baik ia diam daripada ngomong tapi salah.
"Yogi kemana sih. Ditelfon daritadi gak diangkat. Awas kalau sampai sekali lagi gak diangkat. Gue pacat lo!" ujar Gerald marah. Keyara memutar bola matanya jengah. Suaminya lagi kumat, marah-marah sama Hp.
Panggilan terakhir, untunglah Yogi segera mengangat. Tanpa menunggu waktu, Gerald langsung menyemprot habis sekretaris tak tau dirinya itu dengan mulut pedasnya.
"Lo kemana aja hah? lo udah gak butuh uang? menyepelekan tanggungjawab!" teriak Gerald emosi.
"Santai bos! Lo gausah sok-sokan deh. Ini bukan jam kantor. Sellow aja napa. Cepet tua baru nyaho!" jawab Yogi santai. Ia memang tipe sekretaris yang tak tau diuntung. Sekretaris durjana yang selalu menistakan atasannya.
"Lo bisa serius gak?" tanya Gerald datar,
"Ye, apa?" tanya Yogi sebal.
"Jam lima pagi, ikut gue terbang ke Bali. Gak ada penolakan. Siapkan berkas yang tadi gue suruh lo garap. Kalau tertinggal satu aja. Gue gantung lo hidup-hidup." ucap Gerald. Baru aja Yogi mau protes, tapi ucapan Gerald membuatnya sumringah.
"Gak usah cari tau tentang Yura. Gue udah punya semua data dirinya. Lagian lo g****k banget. Udah tau Yura lamar kerjanya di cabang bali. Yang lo bongkar malah lamaran di pusat." sinis Gerald mematikan telfonnya sepihak. Gerald bukan pria bodoh yang gak tau tatapan tertarik Yogi pada Yura. Itu sebabnya ia inisiatif mencarikan data diri Yura, khusus untuk sekretarisnya yang bodoh karena cewek.
Tak mempedulikan ucapan Gerald. Yogi sudah berjingkrak senang karena ia akan tau segalanya tentang Yura sebentar lagi. Tapi, benar juga apa yang dikatakan Gerald. Yura kan lamar kerjanya di perusahaan cabang Kenapa ia cari di perusahaan pusat? apa karena penasaran, ia jadi bodoh?
Esok harinya, Yura sudah kembali berkutat dengan laptopnya, setelah tadi meeting memakan waktu hampir dua jam karena berdebat. Dari pagi, Yura sibuk dengan mengingat-ingat dimana ia meletakkan dompetnya. sejak bangun tadi, ia tidak menemukan dimana letak barang berharganya itu.
Ting!
Pesan masuk dari hp nya membuat ia segera membuka. Barangkali ada hal yang penting. Ternyata pesan dari Yogi yang mengatakan dompetnya terbawa pria itu. Yura meremas hp nya geram. Yang paling membuat emosi nya meledak saat Yogi mengatakan kalau Yogi tengah ada urusan di Bali. Trus, dia beli s**u pakai uang apa? semua uang dan Atm nya ada di dompet.
Dengan buru-buru, Yura mendiall nomor Yogi. "Kenapa dompetku gak kamu kasihkan aku dulu!!!" teriak Yura marah saat sambungan telfonnya tersambung.
"Tadi aku jam lima berangkatnya! gak sempat ngasih kamu." jawab Yogi santai.
"Aku gak mau tau, cepat kamu pesankan s**u untuk anakku. Kamu bayar sekalian dan kirim ke alamatku sekarang!!" teriak Yura dengan kesal.
"s**u?" tanya Yogi membeo.
"Iya, s**u untuk anak umur satu tahun. Aku gak pegang uang sama sekali. s**u anakku udah habis." jawab Yura mematikan panggilannya sepihak. Yura tidak tau, bagaimana ekspresi bodoh Yogi di sebrang sana. Yogi masih shock dengan kata s**u dan Anak.