Nayla

1051 Words
"Aku gak mau. Ya jangan dipaksa kalau gak mau." "Kamu kan cewekku. Ya harus mau!" Keduanya bersitegang di pinggir jalan. Sosok lelaki lain yang baru pulang dari masjid tampak menatap dari kejauhan. "Ndak pulang tho, Mad?" "Duluan aja." Teman-teman satu kontrakannya yang lain mengangguk. Teman-temannya itu berbelok ke arah kiri. Sementara itu, dua orang yang sedang berdebat itu berdiri jauh di sebelah kanan. Ia tak bisa mendengar keributan karena memang lumayan jauh. Namun ini bukan sekali atau dua kali, ia melihat keduanya begitu. Jadi agak-agak khawatir menilik ia cukup mengenal si perempuan. Yeah sesama rekan di BEM-nya. Bagaimana mungkin ia tak kenal? "Kamu tuh selalu maksa tau gak! Giliran kamu yang aku gituin, pasti kamu gak mau!" "Kapan aku gak mau? Hah?" Si cowok langsung emosi. Si cewek kesakitan tangan pergelangan tangannya seokah dicekik. Ia tentu saja mengaduh. Karena rasanya sudah tak mulai kondusif, cowok yang sedari tadi hanya menatap dari jauh akhirnya berjalan mendekat ke arah keduanya. Ia sudah pernah mekihat cewek ini ditampar. Yeah satu kali. Itu adalah kejadian pertama yang membuatnya hampir menonjok si cowok. Tapi sialnya ditahan sama pacarnya ini. Lalu kejadian kedua? Ketika si cewek hampir ditabok. Waah kala itu, setidaknya ia tidak sendiri. Jadi karena merasa hendak dikeroyok, si cowok langsung kabur. Lalu ini adalah kali ketiga. Akan seperti apa kalau ia biarkan? "Kamu tuh--" "Nay!" Ia langsung memanggil karena melihat tangan si cowok mulai melayang lagi. Keduanya sama-sama melihatnya. Si cewek buru-buru melepaskan diri. Ia sungguh takut. Apalagi di sini entah kenapa agak sepi. Ya ia yang ingin diturunkan di sini tadi karena mendadak berubah pikiran. Ia tak mau ikut pacarnya karokean bersama teman-temannya. Hanya itu. "Gak usah ikut campur urusan kita!" Ia tak terima karena menurutnya lelaki ini terlalu sering muncul di hadapannya disaat seperti ini. Si cewek lebih memilih berkindung di belakang si cowok yang baru datang ini. Menurutnya, jauh lebih aman. Lagi pula, bukan hal asing lagi bagi Ahmad untuk menonton semua hal ini. Ya Ahmad. "Mau saya laporkan sama pihak kampus?" Ya. Ia selalu mengancam dengan hal itu. Maka tak butuh waktu lama untuk membuatnya segera menggas motornya. Meski matanya sempat melotot ke arah gadis yang bernama Nayla itu. Ia sudah hampir menangis andai Ahmad tak datang menolong. "Bisa-bisanya kamu pacaran sama cowok kayak gitu." Ia menarik nafas dalam. Keduanya berbalik arah. Sepertinya, Ahmad akan mengantarnya pulang lagi seperti waktu itu. "Kakau sudah tahu dia kasar, kenapa gak minta putus?" "Susah. Aku sudah coba, mas." Ia sudah tak tahu lagi bagaimana caranya. Sudah frustasi. Ia juga menyesal sebetulnya. Andai tahu jadi begini, ia tak akan memilih lelaki itu. Yah lagu lama memang. Manusia mana oun kalau menyesal ya pasti begini bukan? "Apa kataku, mendingan Aidan kan?" Ia tersenyum kecil. Yeah tentu saja anak-anak BEM termasuk lelaki ini tahu sejarahnya dengan Aidan. Ya biar pun pendiam dan agak-agak, setidaknya dari segi akhlak, Aidan jauh lebih baik dari pada pacarnya yang sekarang. Ia susah putus juga. Ya mungkin itu hanya khayalan? Meski ia sudah tak kuat menahannya juga. Ingin menangis tapi ia masih bisa berlagak kuat sekarang. "Masih sering ke kafe Aidan?" Ahnad mengangguk. Tentu saja masih. "Anak orang kaya yang gak banyak gaya dan masih pekerja keras itu ya Aidan." "Yang di sebelahku ini memangnya gak kaya?" "Orangtua dan kakek yang kaya." Ia terkekeh kecil. Ya setidaknya, Ahmad masih bisa menghiburnya malam ini. Kosnya tak begitu jauh dari kontrakannya Ahmad. "Eh iya, besok ikutan ngewawancara anak baru kan?" "Ikut lah, mas. Mana mungkin aku gak ngikut." "Ya kan siapa tahu ada urusan di fakultas." "Ndak lah. Aku juga cuma masuk pagi." Ahmad mengangguk-angguk. "Aku boleh kasih saran soal yang tadi?" tanyanya. Ya kan biar tak dikira ikut campur. Nayla hanya berdeham. Ya ia tahu Ahmad itu memang begini. Makanya sebagian besar perempuan yang seangkatan dengan Ahmad itu pasti memanggil Ahmad dengan sebutan mas. Ia juga begitu. Ada alasannya. Yaaa karena Ahmad itu disegani dan dihormati lah. Tak perlu takut salah juga di depannya. Karena ia tahu kalau itu adalah bentuk kekhilafan manusia. Kan memang begitu. "Saranku lebih baik putus dari Peter. Kalau kamu terus sama dia, Nay, lama-lama bisa masuk kantor polisi." Ya pasti karena urusan k*******n bukan? Tapi Nayla hanya bisa tersenyum perih. Ia menahan sakitnya sendiri. Ia juga tak menjawab hal itu. Ahmad sudah tahu sih, cewek terkadang terlalu buta pada satu lelaki. Kalau sudah begini, ia juga tak tahu harus bagaimana menyarankannya. Ahmad mengantarnya samoai depan kos. Ia sungguh berterima kasih atas bantuannya tadi. Lalu cowok itupulang ke kontrakannya. Pasti tadi Ahmad sikat isya lalu kajian di masjid bukan? Ia sudah hapal sih rutinitasnya. Bukan hanya ia. Para siswi lain yang tinggal di sekitar sini juga begitu kok. Apalagi ada banyak pengagum Ahmad. "Ih, Naaay! Lama-lama aku bisa salah paham kalo kamu terus-terusan dianterin sama mas Ahmad!" Ia hanya tersenyum kecil. Ia masih berjalan menuju kamarnya. Hanya melambai ria ke arah temannya yang berdiri di balkon lantai dua. Ia pasti tadi melihatnya dan Ahmad dari sana. Kemudian ia masuk ke kamarnya yang berada paling ujung. Begitu masuk, ia terduduk. Ia lunglai sekali. Benar-benar lemas. Lalu memeluk kedua kakinya sambil menangis dalam diam. Air mata jatuh ke lantai begitu saja. Tak kuat untuk ia tahan. Sebetulnya ia sudah ingin menangis sedari tadi. Sementara itu, Ahmad menghubungi Aidan. Ya kadang penyambungnya dan Aidan itu ya urusan cewek yang satu ini. Kalau dulu kan, Aidan menumpang bertanya padanya soal Nayla. Ya kalau tak bisa mendapatkan informasi dari teman-temannya Nayla. Sebab semenjak putus ya mereka ikut tutup mulut. Jadi ia bertanya pada orang yang sekiranya tahu. Jadi Ahmad mencoba menelepon Aidan tapi tak diangkat. Ia tak tahu kakau Aidan sedang gemetar karena namanya baru saja dipanggil. Ia dipersilahkan untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Assalammualaikum, Dan. Mau ngabarin kalo tadi si Nay hampir ditampar lagi sama pacarnya. Tolong seenggaknya nasehatin dia. Bilang aja sebagai sahabat gitu. Siapa tahu, omonganmu lebih didengar. Ia memang sangat perhatian dengan permasalahan orang kain. Walau tak bermaksud untuk ikut campur. Sementara itu, Nayla masih menangis tersedu-sedu. Masih tanpa suara karena ia mati-matian menahannya. Ia sejujurnya takut. Tapi ia tak berani bilang pada siapapun. Kamu lolos kali ini. Tapi nanti? Gak akan. Awas kalau bilang Ahmad atau yang lain, kamu tahu kan apa jadinya? Dan Peter selalu mengancamnya. Meski hingga saat ini tak pernah terbukti ancamannya. Ia selalu berpikir kakau Peter selalu serius dalam setiap ancamannya itu. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD