Pulang kuliah, Shasa dan kedua temannya berjalan menuju parkiran. Sebelum ke tempat skincare, mereka akan ke restoran terlebih dahulu untuk makan siang. Shasa dipaksa kedua temannya untuk perawatan kulit, pasalnya kulit perempuan itu agak menggelap usai balik dari gunung. Shasa tidak masalah sebenarnya, hanya saja kedua temannya yang repot. Shasa malas berdebat dan mengikuti ajakan kedua temannya itu.
Karena hari ini Shasa tidak membawa mobil, maka dia dan Rania akan nebeng di mobil milik Dian menuju ke sana. Dia memang jarang sekali mengendarai mobil ke kampus. Kalau papanya berangkat kerja lebih duluan atau jika jam kuliahnya tidak ada yang pagi, baru dia membawa mobil. Beda dengan Rania, cewek itu seringkali di antar jemput abangnya. Maklum saja, yang kuliah di kampus di salah satu kampus swasta terbaik di Indonesia itu rata-rata orang menengah ke atas. Tidak heran masing-masing mahasiswa di sana jarang yang tidak mempunyai kendaraan pribadi, baik itu mobil ataupun kendaraan roda dua. Buat penampilan pun, mostly menggunakan barang branded.
Ketika akan membuka pintu mobil Dian bagian belakang, mata Shasa menangkap sosok seorang cowok yang baru menaiki motor Ducati berwarna merah. Cowok itu tersenyum kepada temannya. Itu si kulkas? Bisa senyum juga dia.
"Oy, Sha! Ngapain bengong? Buruan masuk!" seru Dian.
”Iyaa… bentar.”
Motor Satria melintas di depan mobil Dian sebelum mobil cewek itu keluar dari parkirnya. Shasa di dalam mobil melihatnya sampai motor itu hilang dari pandangannya.
Satria kok bisa ada di sini, ya? Kalau dia kuliah di sini juga, berarti dia bisa jadi anak ekonomi, bisnis, teknik, desain atau humaniora. Karena dia ada area Kampus Anggrek. Tapi nggak mungkin kayaknya kalau ekonomi, gue sama sekali nggak pernah lihat. Shasa bermonolog sendiri.
Di perjalanan Shasa masih memikirkan Satria yang barusan dilihatnya. Sedangkan kedua temannya bersenandung ria mengikuti lagu yang diputar oleh Dian.
Dian mengintip dari kacanya, nampak Shasa yang tengah memikirkan sesuatu.
"Diem aja, Sha. Lagi mikirin apa?"
Yang ditanya malah diem aja, asik sendiri dengan lamunannya.
Rania berhenti bersenandung dan menoleh ke belakang. Dilihatnya sahabat yang satu itu sedang melamun, sehingga tidak merespon ucapan Dian.
"Kenapa tuh anak diem aja?" tanya Rania.
"Entahlah," jawab Dian acuh karena dia sedang menyetir.
Beberapa saat kemudian di sebuah tempat makan, di mall ternama Satria duduk di kursi depan seorang cowok.
"Tumben lo ngajak gue ketemu, ada apa?" tanya Satria to the point.
"Mama sakit, gue harap lo mau pulang walau cuma sehari."
"Udah… cuma itu?" Satria mengangkat alisnya—bersiap bangkit dari duduknya.
”Cewek itu satu kampus sama lo. Inget, dia milik gue!" Guntur tiba-tiba kepikiran dengan Shasa yang ternyata satu kampus dengan Satria. “Lo udah kenal sama dia sebelumnya?”
Satria tersenyum sinis. "Nggak harus gue jawab, nggak penting.”
Tidak jauh dari kedua cowok itu, Shasa dan teman-temannya baru saja memasuki tempat makan yang sama. Shasa mengernyit ketika melihat dua orang cowok yang dia baru kenal itu di meja pojok. Satria dan Guntur, jadi mereka saling kenal?
"Ngeliatin apa?" tanya Rania sambil mengikuti arah pandangan mata Shasa. Dia tersenyum sumringah mengetahui itu.
"Dua cowok yang di pojok, Sha? Pada cakep amat ya, Lord! Mau dong satu aja yang kayak gitu," lanjutnya dengan bertopang dagu.
Shasa yang mendengarnya, langsung memutar kedua matanya malas.
Sepuluh menit kemudian, Satria keluar dari pintu dekat dia duduk. Shasa menundukkan kepalanya saat barusan melihat Satria akan berdiri. Guntur, cowok itu masih duduk di sana. Terlihat dia sedang menyantap makanannya. Shasa langsung mengalihkan pandangannya, fokus kembali melanjutkan aktifitas makannya yang sempat terhenti.
Selesai makan, Guntur menyapu pandanganya ke segala arah di tempat itu. Kemudian pandangannya terhenti pada seorang cewek yang sedang mengobrol bersama teman-temannya. Dia tersenyum tipis. Cowok itu bangkit berdiri menuju arah calon 'gebetannya' itu.
"Hai Sha, boleh join di sini?" Guntur tersenyum hangat kepada Shasa.
Kedua teman Shasa langsung bengong, menatap Shasa tajam minta penjelasan. Ternyata salah satu cogan yang duduk di pojok itu kenal dengan Shasa. Atau Shasa kenal dua-duanya?
***
Shasa mengedarkan pandangannya ke arah jendela. Saat ini dia sedang berada di dalam mobilnya Guntur. Terjebak berduaan di dalam mobil yang sama dengan cowok itu membuatnya sangat tidak nyaman. Ini semua gara-gara ulah dua teman laknatnya, jadi dengan berat hati dia ikut bersamanya.
"Kenalin ini sahabat-sahabat gue, ini Rania dan itu Dian," ujar Shasa menunjuk mereka secara bergantian.
"Hai cewek-cewek, kenalin nama gue Guntur," ujar Guntur sambil tersenyum menyapa kedua sahabat Shasa.
"Jadi?" tanya Rania dan Dian serentak.
"Guntur itu teman trip bareng sama gue waktu ke Semeru kemarin ini."
Rania dan Dian mengangguk paham. Dian menyenggol lengan Rania memberikan kode.
"Apa sih, Dii?" Rania agak telmi—kurang peka.
Shasa mengerutkan alisnya melihat tingkah dua sahabatnya itu.
"Sha, gue ke toilet bentar sama Rania. Lo tunggu dulu di sini."
"Oh, oke deh.”
Dian langsung menarik tangan Rania, sedangkan yang ditarik keliatan malah bengong.
Tiba di toilet, Dian langsung menjelaskan maksudnya pada Rania. Karena ini cewek harus kudu dijelasin secara rinci biar paham, suka tidak mengerti kode yang diberikan.
"Oh, jadi gitu maksudnya. Oke deh, siap!!" ujar Rania penuh semangat setelah mendengar Dian menjelaskan ide konyolnya.
"Sha, sorry banget kayaknya kita nggak jadi ke skincare hari ini. Nyokap gue mendadak suruh gue pulang, dan Rania juga barusan disuruh bokapnya datang ke kantor. Nggak apa-apa, ‘kan?" tanya Dian memelas.
"Ya udah, santai aja. Bisa kapan-kapan kok ke sana. Sekarang mau pada pulang kan? Ayo!!"
"Emm… sekali lagi sorry banget nih, gue nggak bisa pulang bareng lo. Kan gue anterin Rania dulu, kata bokapnya urgent!"
Shasa tersenyum. "Ya udah nggak papa, gue bisa naik taxi online kok."
"Jangan!! Gimana kalau lo di antar Guntur aja?" Dian melirik Guntur dan cowok itu nampak begitu senang mendengar ucapan Dian.
"Enggak usah, gue nggak mau repotin."
"Gue nggak ngerasa direpotin kok," sahut cowok itu santai. Dian tersenyum penuh kemenangan.
"Noh, Sha! Gih bareng dia aja, dari pada naik taxi online sendirian.”
Dian dan Rania cekikikan setelah berlalu meninggalkan Shasa dengan Guntur.
"Semoga rencana kita berhasil. Kapan lagi coba sahabat kita satu itu bisa dekat-dekat sama cowok. Biar mereka pedekate, lagian yang gue lihat kayaknya Guntur anaknya baik," ujar Dian sambil masang seat beltnya.
"Udah gitu, ganteng lagi. Gue heran banyak cogan yang dekatin Shasa tapi kenapa nggak ada satupun yang nyangkut yah?"
Dian mengangkat bahunya. "Eh, chat Shasa deh sekarang."
Rania pun mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah pesan.
Sharaza
Good luck, cantik!!
Maksud lo?
Semangat pedekatenya wkwkwkkwk
Sial, lo berdua ngerjain gue?
Uppss... sorry
Saat menyetir, sesekali Guntur melirik cewek yang duduk di sampingnya itu. Dia tadi menanyakan alamat rumah Shasa dan cewek itu menjawabnya, setelah itu mereka berdua lebih banyak diam. Cewek itu tidak sedikit pun meliriknya, malah menatap lurus ke depan. Dan sekarang malah menghadap ke arah jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana.
Guntur berdehem. "Sha... kuliah lo gimana?"
Shasa memutar badannya, menatap lurus ke depan kembali. "Alhamdulillah lancar."
"Baguslah kalau gitu.” Guntur tersenyum. "Oh ya, nanti lo mau rencana magang dimana?"
"Belum tahu, sih, tapi gue udah rencanain di tiga tempat, sih. Pastinya salah satu di antaranya."
"Oh, gitu. Kirain lo belum ada planning, tadinya gue mau rekomendasiin lo buat magang di BPK. Lo jurusan Akuntansi kan?"
Shasa menaikkan alisnya. "Emang bisa?"
"Bokap gue kebetulan salah satu petinggi di sana, kali aja lo bisa masuk."
"Hmmm... nggak usah deh, makasih atas tawarannya." Dalam hati Shasa rasanya ingin sekali magang di tempat itu, namun dia tidak mau masuk ke sana karena bantuan Guntur. Intinya dia tidak mau punya hutang budi.
"Habis lampu merah depan, belok kanan. Nggak lama lagi sampai di rumah gue."
Guntur mengangguk.
"Makasih udah nganterin gue pulang, mau mampir dulu nggak?" tanya Shasa basa basi.
"Kapan-kapan aja deh, gue langsung pulang aja."
"Ya udah, hati-hati!" Shasa tersenyum seraya menutup pintu mobil.
Cantik banget!!!
Guntur menatap punggung Shasa yang lama-kelamaan mulai menghilang dibalik pintu.
***
"Ngapain ke Fakultas Ekonomi? Tumben banget lo," ujar Jerry heran dengan ajakan Satria yang tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba mengajak ke tempat yang selama ini paling anti dikunjungi cowok itu karena banyak kaum hawa di sana.
"Ada perlu," jawab Satria dingin.
Jerry, Alfi dan Teddy saling melirik.
"Kesambet apa lo tumbenan ngajakin kita pada ke sana?" Kali ini Alfi yang bersuara.
"Bawel lo pada, ikutin gue aja!"
"Di Fakultas Ekonomi kan banyak cewek, biasanya tuh orang ogah dekat-dekat sama cewek. Syaiton apa tuh yang merasuki dia?" tanya Alfi pelan kepada Jerry yang berjalan sejajar dengannya.
"Entahlah." Jerry mengedikkan bahunya.
Satria, Jerry dan kedua temannya kenal sewaktu ospek. Jerry dan kedua temannya memang sudah dekat dari zaman putih abu-abu, beda dengan Satria. Sejak itu Satria sering gabung bersama mereka dan kebetulan jurusan yang diambil pun sama. Cuma terkadang cowok satu ini tidak ikut kumpul bersama mereka dikarenakan sibuk mengurus usaha yang tengah dijalaninya, selain kuliah.
Tiba di tempat tujuannya, Satria celingukan kanan kiri mencari seseorang yang dikenalinya. Namun tak kunjung juga dia temui.
"Lo cari orang?" tanya Teddy yang sedari tadi lebih memilih diam aja mengikuti.
"Hmmm."
"Siapa?" tanya Teddy lagi—penasaran.
Tanpa menjawab pertanyaan Teddy, Satria menghampiri seorang cowok.
"Bro, gue boleh tanya nggak?" cegat Satria menepuk bahu cowok yang sedang berjalan itu.
"Apa?"
"Lo kenal Sharaza nggak? Hmmm... maksud gue, Shasa," ujar Satria dengan kaku.
"Ya kenal lah, siapa sih yang nggak kenal dia di sini?"
"Oh... lo lihat dia nggak hari ini? Gue ada perlu.”
"Kayaknya dia ada di kelas deh tadi. Lo jalan lurus aja ke sana sampai pojokan, belok kiri terus lorong pertama belok kiri lagi. Ruangan pertama sebelah kanan, itu kelasnya.” Cowok itu menjelaskan secara detail.
"Oke bro, thanks ya!"
Satria langsung melangkah menuju ruangan yang sudah diberitahu.
"Etdahh, main tinggal aja tuh anak. Ke mana dia?" Jerry berdecak kesal.
"Ayolah, ikutin aja!" sahut Alfi.
Tak butuh waktu lama, mereka berempat pun tiba di depan kelas Shasa. Satria mengintip untuk memastikan apakah ada dosen atau tidak di dalam. Hingga seorang cewek yang keluar dari dalam kelas itu.
"Shasanya ada?" tanya Satria to the point.
Cewek itu mengernyit. "Lo nanya gue?"
"Hmmm."
"Ada di dalam."
"Panggilin bentar!"
Cewek itu memutar bola matanya malas, sebelum berbalik badan memasuki kelas kembali. Ini cowok minta tolong tapi nggak ada basa basinya banget, kesannya kayak kasih perintah gitu. Dingin banget, eh tapi ganteng!
Jerry kaget. Shasa? Apa Shasa yang dimaksud Satria itu calon gebetannya? Kalau iya, Satria kenal dari mana? Bukannya Satri paling anti berurusan sama cewek?
"Sha, di depan ada yang nyariin lo tuh!"
"Siapa?" Shasa mengerutkan keningnya.
"Gue nggak tahu juga, ganteng tapinya. Mau dong dikenalin! Ada empat orang yang gue lihat, tapi yang satunya itu ganteng banget biarpun kayak kulkas juga," ujar teman sekelas Shasa yang bernama Shita itu.
"Dasar lo, semua cogan aja mau diembat!" Shasa beranjak dari kursinya dan melangkah keluar kelas.
"Satria?" Shasa kaget begitu mengetahui siapa cowok yang berada di depan kelasnya.
"Hai!" sapa Satria dengan wajah datarnya.
Sedangkan Jerry, Alfi dan Teddy tampak kaget melihat Shasa dihadapan Satria.
Sial!!! Ternyata memang Shasa yang gue kenal yang dicari Satria. Gue nggak mungkin bersaing sama sahabat gue sendiri. Lagian pasti nanti Shasa lebih memilih Satria dibanding gue! batin Jerry.
"Sat, gue dan anak-anak tunggu di depan sana aja,” ujar Jerry. Lalu dia tersenyum tipis kepada Shasa.
"Sha, kita cabut duluan,” ujar teman Satria yang lainnya.
Shasa mengangguk sambil tersenyum pada Jerry dan yang lainnya.