Dua puluh satu

1269 Words
Hari ini adalah hari di mana akan dilangsungkannya acara pertunangan Shilla dan Satria. Dua hari yang lalu, Shilla beserta kedua orang tua dan kakaknya yang baru tiba dari Paris—memilih untuk stay di hotel tempat akan diadakannya acara pertunangan itu. Shasa duduk di depan meja rias kamarnya. Dia sudah memakai dress untuk acara itu. Tapi dari tadi dia belum memoles apapun ke mukanya yang terlihat sembab. Semalam dia menangis. Bukannya dia tidak bahagia dengan acara pertunangan sepupunya itu, namun dia merasa hatinya perih membayangkan cowok yang pertama kali membuatnya jatuh cinta—tidak akan pernah bisa bersamanya. "Shasa!" panggil Rahayu dari luar kamarnya. "Masuk aja, Ma. Pintu enggak dikunci.” Rahayu pun masuk ke dalam kamar Shasa. "Kamu udah rapih belum? Kita bentar lagi berangkat.” "Iya Ma, dikit lagi. Tunggu di bawah aja, entar aku langsung turun kalau udah rapih," jawab Shasa. "Jangan lama-lama. Mama nggak mau kita sampai telat.” "Iya, aku bentaran lagi, kok.” Shasa mulai bergerak memoles mukanya dengan sapuan make up tipis, tidak lupa dia memakai concealer di sekitar matanya yang sembab sehabis menangis supaya tidak begitu kelihatan. Kemudian Shasa mengikat sebagian rambutnya. Badannya yang putih dan ramping terlihat cantik sekali menggunakan dress berwarna putih yang kemarin dibelinya. Beberapa saat kemudian di ballroom hotel, Shilla tersenyum sumringah memasuki ballroom hotel. Tidak jauh dari panggung, ada Satria yang sedang berbicara dengan adiknya, Pelangi. Shilla melangkahkan kakinya menghampiri kedua kakak beradik itu. Tidak banyak yang diundang dalam acara ini, hanya keluarga terdekat dan beberapa teman SMA Shilla dulunya. Sedangkan dari pihak Satria selain keluarganya, dia hanya mengundang Ardan dan ketiga teman dekatnya di kampus yaitu Jerry, Teddy dan Alfi. Satria dari tadi tampak gelisah. Sudah seminggu Jerry tidak membahas apapun tentang bantuan yang dikatakannya waktu itu. Dia tidak yakin kalau cowok itu bisa menemukan bukti bahwa dirinya hanya dijebak. Kini dia hanya bisa pasrah, bertunangan dengan cewek yang sama sekali tidak dicintainya. Satria tidak punya rencana lain. "Aku senang, bentar lagi kita akan resmi bertunangan," kata Shilla. Satria memutar bola matanya malas. Shilla beralih menatap Pelangi. "Hai Pelangi, udah lama kita nggak ketemu. Nggak nyangka kamu udah sebesar ini, udah SMA ya sekarang?" "Kak, aku mau ambil minum dulu, ya!" ucap Pelangi kepada Satria mengabaikan ucapan Shilla—membuat perempuan itu mendengkus sebal. Dia kesal merasa diacuhkan. Nggak kakak, nggak adiknya, sama-sama ngeselin! Lihat aja nanti kalau gue udah nikah sama kakak lo! Sementara itu, Shasa, orang tuanya dan kedua adik kembarnya baru saja memasuki ballroom. Satria tersenyum tipis melihat kedatangan Shasa. Selalu cantik! gumam Satria. Menyadari Satria yang sedang tersenyum, Shilla menggerutu kesal begitu mengetahui alasan dibalik senyuman cowok itu. Dia menggamit tangan Satria. "Sayang, kita ke sana yuk! Salaman dulu sama orang tuaku," pinta Shilla dengan manjanya. "Lepasin dulu tangan lo!" balas Satria menahan kesalnya. "Kenapa? Kamu malu, ya? Kan bentar lagi kita bakalan resmi menjadi sepasang tunangan. Dibiasain gandengan tangan dulu mulai dari sekarang." Satria berdecih. Muak sekali rasanya dengan tingkah manja Shilla yang dibuat-buat. Ingin rasanya dia menyingkirkan Shilla ke alam lain. Dia melepas tangan Shilla dengan paksa. Cewek itu langsung cemberut. "Ayo!" Satria berjalan menuju orang tua Shilla. Cewek itu mengekorinya dari belakang karena Satria berjalan mendahuluinya. Bagaimana pun juga Satria sangat menghormati orang yang lebih tua darinya. Dia sangat sopan saat berhadapan dengan orang tua dan juga kakak cowok dari Shilla. Shasa menatap nanar pemandangan yang tidak jauh darinya. Seperti keluarga baru, Satria berbicara dengan anggota keluarga Shilla. Sesekali cowok itu nampak tersenyum. MC memberitahukan bahwa sebentar lagi akan dimulai acaranya. Dia memanggil Shilla dan Satria menuju panggung. Shilla tersenyum manis sambil meraih lengan Satria, dia menggamitnya dan berjalan naik ke atas panggung. Satria risih dengan perlakuan Shilla, namun dia membiarkannya kali ini karena ada banyak mata yang melihat, belum lagi tatapan tajam dari mamahnya yang membuatnya menghela napas pelan. "Baiklah, sekarang waktunya bertukar cincin. Pihak laki-laki, silahkan untuk menyematkan cincin terlebih dahulu ke jemari sang perempuan," ujar MC itu. Satria bersiap mengambil cincin dari kotaknya. Shasa yang melihatnya dari pojok ruangan, menggelengkan kepalanya. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Nyatanya air matanya mulai menetes perlahan. Shasa buru-buru menyekanya, kemudian beranjak pergi meninggalkan ballroom. Dari atas panggung sana, Satria hanya bisa menghela napas melihat Shasa yang berjalan cepat keluar meninggalkan ballroom. "Buruan, pasangkan cincinnya ke jari aku," ujar Shilla pelan sambil memaksakan senyumnya. Dia sudah menjulurkan tanganya ke arah cowok itu, tapi Satria tak kunjung juga memasangkannya. Dia malu dilihat beberapa pasang mata yang sedang tertuju kepada mereka berdua, jangan sampai Satria berulah. Satria meraih jemari Shilla. "Tunggu!" teriak seseorang saat memasuki ballroom hotel itu. Shilla berdecak kesal, Satria belum jadi menyematkan cincin itu dijarinya. Terhenti, saat mendengar suara yang sangat dikenalinya. Jerry segera naik ke atas panggung, dan membisikkan sesuatu kepada Satria. Muka cowok itu langsung merah padam. Dia menatap Shilla tajam. Lalu Jerry mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan sebuah rekaman kepada Satria. Shilla yang berada di dekatnya tentu juga mendengar isi dari rekaman yang diputar oleh Jerry. Wajahnya langsung memucat. "Sat, aku bisa jelasin semuanya," ucap Shilla meraih lengan Satria. Cowok itu menghempas kasar tangan Shilla, hingga cewek itu terjatuh. Papa Shilla yang tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu di depan banyak orang, ikut naik ke atas panggung. "Kamu apakan anak saya?!" bentaknya—menatap tajam Satria. Dia membantu putrinya bangkit. Setelah itu dia melayangkan tangannya hendak menampar Satria. Tapi Jerry langsung menahan tangannya. "Kamu siapa, hah?! Beraninya kamu ikut campur, kamu udah merusak acara pertunangan anak saya!" Jerry menghempaskan tangan Bapak Shilla perlahan. "Maaf om, ini semua salah paham. Om bisa tanya tanya sendiri sama anak om itu," tunjuk Jerry mengarahkan pandangannya kepada Shilla. Cewek itu menundukkan kepalanya. Shilla menangis. Satria menyerahkan cincin yang masih dipegangnya kepada papanya Shilla. "Maaf, saya tidak bisa melanjutkan acara pertunangan ini dengan anak om," ucapnya sopan. Dia menatap Shilla sebentar, lalu berjalan menuruni panggung diikuti Jerry yang menyusul di belakangnya. Shilla berlari ke arah Satria, dia bersujud memegang kaki cowok itu. "Sat, jangan tinggalin aku. A-ku minta maaf, aku cuma nggak mau kehilangan kamu," ucapnya bercucuran air mata. "Minggir!" bentak Satria kasar, dia melepas paksan pegangan tangan cewek itu pada kakinya. Dia tak ingin memberi iba walaupun cewek itu memohon bagaimana pun padanya. Dia sudah sangat keterlaluan. Luka yang dia berikan dulu saja belum sembuh, ditambah lagi dengan kelakuannya hari ini yang membuat Satria semakin muak dengannya. "Nak, bangun! Kamu tidak perlu seperti itu," ucap papa Shilla. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya sambil menuntun putrinya bangkit dan mendekapnya. "Maafin Shilla, Pa. Shilla udah bikin malu keluarga kita,” ujar Shilla terisak. "Anak kurang ajar!" maki papa Satria setelah menyaksikan semua kejadian di atas panggung. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena yang mendengarkan rekaman itu hanya orang yang ada di atas sana. "Mau kabur ke mana lo? Lanjutin acaranya!" titah Guntur mencengkram kasar lengan Satria di depan ballroom. Cowok itu tidak tahu apa yang terjadi, dia baru saja tiba di hotel. Satria berdecih. "Lo aja sana, gue tahu lo berdua yang ngejebak gue!" bisiknya lalu menghempas kasar tangan Guntur. Dari suara rekaman yang diberikan Jerry, Satria tahu persis suara cowok yang sedang menjadi lawan bicara Shilla. "Sialann!!” umpat Guntur mengepalkan kedua tangannya erat. Sementara Shasa, dari tadi cewek itu masih terus menangis. Saat ini dia sedang berada di atas rooftop hotel, sendirian. Semilir angin malam di atas sana, membuatnya merasakan kedinginan. Apalagi dia memakai dress tanpa lengan. Dia membiarkan angin berhembus menyapu kulitnya. "Bodoh! Kenapa sih gue belum bisa ikhlasin lo?!" Shasa mengusap air matanya kasar. Suara pintu mengejutkan Shasa. Seingatnya tadi dia sudah menutup pintunya. "Gue cari ke mana-mana, ternyata lo di sini. Nggak capek nangisin gue?" Shasa membalikkan badannya, menatap orang yang juga tengah menatapnya hangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD