“Jadi, kau sudah mau pergi dari kota ini?” Alexander berjalan pelan menuju pesisir pantai tempat aku sedang tertegun menikmati sejuknya desir angin.
“Iya, kami harus melanjutkan perjalanan. Saya harus menemukan apa yang saya cari,” jawabku sambil memutar leherku beberapa derajat ke kanan.
“Padahal kau bisa saja tinggal di kota ini dan kemudian hidup damai bersama kami.” Alexander duduk di sampingku.
“Suatu hari nanti saya pasti akan kembali lagi. Namun, ketika saya kembali lagi ke sini, saya ingin kota ini meminjamkan kekuatannya untuk saya. Tekad saya sudah bulat. Saya tidak bisa berhenti begitu saja,” kataku seraya melempar batu-batu kecil ke arah debur ombak yang tenang.
“Tenang saja. Kami akan dengan senang hati membantumu untuk hal itu. Kami juga sudah berutang budi padamu. Semua kedamaian ini, kaulah yang telah mewujudkannya.”
“Meski begitu, kalian masih harus terus membayar biaya kedamaian itu ke para petinggi Kota Plataia. Tapi, jika sudah saatnya tiba, saya berjanji akan menghancurkan sistem itu,” kataku dengan penuh keyakinan.
Memang, tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan. Mendamaikan dunia memang bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, ketika mengingat bahwa sistem yang diterapkan Kota Plataia untuk semua kota di daratan ini, hatiku tergerak untuk terus melangkah maju.
“Oh, ya. Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Anak Muda.” Alexander menatapku serius kali ini.
“Apa yang ingin Anda tanyakan, Yang Mulia?” ucapku, sopan.
“Ah, sebelumnya, kau tidak perlu bersikap begitu sopan padaku, Anak Muda. Bersikaplah sebagaimana biasanya kau bersikap.” Alexander tersenyum lebar.
“Baiklah kalau begitu. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Tentang ras Akila. Mengapa mereka sangat terobsesi membunuh dan membabi buta? Aku sangat penasaran akan hal itu.”
Kutolehkan pandangan, menatap laut luas yang membentang dengan puluhan perahu layar para nelayan.
“Ras Akila dijanjikan sebuah gelar yang disebut Sang Penakluk. Mereka yang kuat dan membunuh tanpa perasaan, hingga mereka yang terampil di medan tempur akan dinobatkan sebagai Sang Penakluk,” jelasku.
“Tapi ... apa kelebihan menjadi Sang Penakluk daripada menjadi pasukan Akila biasa?” tanya lagi Alexander. Dilihat dari raut wajahnya, Alexander sangat penasaran dengan sistem tersebut, di mana yang kuat akan bertahan sebagai pemenang.
“Sang Penakluk diberikan hak istimewa oleh orang-orang berwibawa. Sang penakluk akan menjadi orang kepercayaan para petinggi, sehingga dapat diberikan tahta yang lebih tinggi daripada pasukan Akila lainnya. Tahta ini sama dengan hak sebagai pemimpin. Meski begitu, Sang Penakluk masih tetap berada di bawah kendali para petinggi.”
“Bukankah sama saja dengan menjadi pasukan Akila biasa? Menurutku, meskipun telah mendapatkan gelar Sang Penakluk, mereka tetap di bawah kendali para petinggi. Jadi, apa gunanya tahta yang diberikan itu? Tidak ada gunanya, bukan?” kata Alexander mengungkapkan pendapatnya yang terdengar memang sangat masuk akal.
“Entahlah. Aku juga tidak begitu mengerti dengan semua itu. Dari awal aku tidak pernah tertarik menjadi Sang Penakluk. Mereka hanya haus darah dan pujian. Sejak kecil, aku selalu yakin bahwa dunia ini sangat indah. Tidak seperti yang aku lihat sekarang ini. Dunia telah dihiasi perang dan setiap tangan berlumur darah. Pencurian merajalela, begitu pun dengan pembunuhan. Hidup ini tidak kekal. Dan aku tahu itu. Ada berbagai alasan mengapa orang-orang membunuh, mencuri, merenggut hak milik orang lain, dan berbagai kejahatan lainnya. Namun, kehidupan yang kelam tidak membenarkan semua tindak kejahatan.”
“Jadi, mengapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“Ketika berusia sepuluh tahun, saat itulah pertama kalinya aku bermimpi melihat alam yang hijau serta langit indah yang sama sekali tidak dihiasi perang seperti yang saat ini sedang terjadi. Aku melihat senyuman orang-orang. Aku melihat betapa bahagianya mereka berkumpul dengan keluarga mereka. Mereka saling berbagi makanan, keluh kesah, dan cerita-cerita lainnya. Namun, ketika aku mulai membuka mata, aku sadar itu hanya sebuah mimpi. Tidak nyata.
Setelah cukup besar di usiaku yang ketujuh belas tahun, aku mulai berpikir bahwa dunia sangat indah. Tidak mungkin sebuah mimpi ada jika kenyataan tidak mendampinginya. Dengan kata lain, mimpi dan kenyataan bukan suatu hal yang berbeda jauh. Mimpi adalah kenyataan yang tersembunyi. Kemudian, kenyataan adalah mimpi yang terwujud. Begitulah bagaimana aku memulai semuanya. Begitulah bagaimana aku mulai berpikir melihat dunia ini seperti yang ada di dalam mimpi-mimpiku. Sampai akhirnya mimpi-mimpi itu terus datang di setiap tidurku.”
Ketika selesai menjelaskan perihal tersebut, Alexander bergeming dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Bisa saja ia berpikir bahwa aku adalah seseorang yang aneh, atau bisa juga ia berpikir bahwa aku adalah seseorang yang terlalu berlebihan menanggapi soal mimpi-mimpi itu. Namun, nyatanya tidak.
“Kau kenapa, Alexander?” tanyaku kemudian.
“Ah, tidak. Aku hanya berpikir bahwa kau satu-satunya Akila yang pernah kudengar berkata seindah ini,” kata Alexander yang kemudian tersenyum lebar penuh makna.
“Benarkah begitu?”
“Itu benar sekali, Nak!”
Seseorang menjawab pertanyaanku. Bukan Alexander. Dialah wakil pemimpin Kota Eretium, yaitu Aconteus. Ia melangkah santai, kemudian duduk di sampingku. Aku kini diimpit dua orang hebat yang menyandang gelar sang pemimpin kota.
“Bagaimana kalian bisa berpikir seperti itu, bahkan setelah mengetahui aku seorang ras Akila yang menjadi ancaman dunia ini?”
“Ras Akila, ya?” Aconteus menghela napas panjang. “Sampai saat ini masih menjadi misteri mengapa mereka begitu kuat. Kami selalu kalah dalam perang. Kami dibantai sampai titik darah penghabisan. Dan itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidup.”
“Ya, kau benar sekali. Ada beberapa hal yang memang belum dapat kupahami meski aku sendiri seorang ras Akila. Entahlah. Aku merasa paling berbeda dari semua ras Akila yang ada. Aku merasa seperti mereka tidak memiliki jiwa, sehingga tampak seperti sebuah benda yang dikendalikan para petinggi Kota Plataia,” kataku menimpali.
“Aku pernah mendengar dari seseorang bahwa ras Akila adalah revolusi dari manusia sejak diluncurkannya sebuah senjata bernama invisible destruction ke seluruh penjuru dunia. Namun, aku masih belum setuju dengan itu. Jika ras Akila adalah revolusi dari manusia seperti kami, bukankah itu artinya manusia mengalami kemunduran, bukan kemajuan? Maksudku, manusia tidak sekeji mereka. Manusia punya perasaan ....” Aconteus tiba-tiba tak melanjutkan kalimatnya. “Ahem! Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu, Darien. Aku hanya ....”
“Tidak. Aku sama sekali tidak tersinggung. Perkataanmu ada benarnya juga. Ras Akila memang tidak punya perasaan sebagaimana telah aku jelaskan, mereka seperti sebuah alat. Mereka selalu tunduk pada para petinggi Kota Plataia,” potongku, berusaha meluruskan.
“Meskipun demikian, aku cukup senang mengetahui ada ras Akila seperti dirimu, Anak Muda. Mungkin yang dikatakan revolusi manusia itu adalah ras Akila seperti dirimu ini. Jika memang begitu, aku setuju dengan teori revolusi itu sendiri,” kata Alexander.
“Ah, kalian terlalu berlebihan.”
“Oi, Darien!”
“Darien!”
Aku menoleh ke belakang. Ternyata Achila dan Alexio. Mereka tampaknya sudah siap melanjutkan perjalanan panjang kami. Aku segera bangkit dan melangkah ke arah mereka.
“Kami sudah siap, Darien. Lihatlah, Aconteus dan Alexander memberikan kita perbekalan yang banyak!” seru Alexio sembari mengangkat sebuah ransel yang tampaknya begitu berat.
“Bagaimana dengan Achila? Kau sudah siap?” tanyaku pada Achila.
Namun, Achila tertunduk menatap tanah. Aku menyadari ada sesuatu yang berbeda darinya. Benar. Ia bukan lagi seorang gadis kumal. Kini kulitnya telah bersih. Rambutnya telah wangi ketika angin mengurainya. Pakaian kusamnya telah berganti gaun baru. Putih dan bersih. Ia tampak begitu feminim. Dan kurasa, baru kali ini aku sedikit malu menatap dirinya.
Sembari tersipu malu, ia berkata, “I-iya. Aku sudah siap.”
“Baguslah kalau begitu,” balasku kemudian.
Tiba-tiba Alexander mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Sepertinya wanita itu menyukaimu, Anak Muda. Mungkin dia bisa menjadi seorang istri yang baik untukmu!”
“Begitukah? Tapi belum saatnya. Aku bahkan belum mengerti tentang perasaan seperti itu,” kataku pada Alexander. “Kalau begitu, kami pamit, Alexander, Aconteus. Semoga kota ini selalu diberikan kedamaian oleh para Dewa.”
Kujabat tangan Alexander dan Aconteus. Namun, Alexander memelukku dan membisikkan ucapan terima kasih yang begitu tulus.
***
Kami bertiga kembali mengarungi tanah berdebu setelah keluar dari Kota Eretium yang begitu sejuk dan indah. Dengan perbekalan yang cukup untuk persediaan selama dua minggu dari Alexander dan Aconteus. Kami belum tahu kota mana lagi yang akan kami jadikan tempat persinggahan. Menurut Alexio, ia tidak pernah melakukan perjalanan sejauh ini sebelumnya. Oleh karena itu, kami tidak tahu apa-apa tentang informasi kota selanjutnya.
Cahaya mentari semakin redup. Akan segera menenggelamkan diri di ujung cakrawala. Dan itu adalah tanda bahwa kami harus bermalam di tanah gersang ini. Namun, belum saatnya. Langkah kami masih tanggung untuk berhenti. Mungkin beberapa menit lagi kami bisa menemukan persinggahan yang lebih baik daripada tanah gersang ini.
“Nah, Achila! Apa kau juga tidak pernah berjalan sejauh ini?” tanyaku sembari terus memperhatikan langkahku.
“Tidak. Aku tidak pernah. Aku juga tidak yakin akan ada kota di sekitar sini,” balas Achila, pasti.
“Mengapa begitu? Bagaimana bisa tidak ada kota?” tanyaku lagi.
“Kau tahu sendiri kota sudah banyak dihancurkan. Dan tidak banyak kota di dunia ini didirikan ulang. Paling yang akan kita temukan hanya kota mati, sama seperti Kota Dystychia waktu itu,” jelas Achila, menerangkan.
“Benar juga apa yang kau katakan.” Aku pun menganggukkan kepala. “Tapi, setidaknya kita harus menemukan persinggahan untuk bermalam yang lebih baik daripada tanah gersang ini,” sambungku.
“Aku tidak yakin, Darien. Lihatlah! Seluas mata memandang, hanya ada gumpalan debu.” Alexio menimpali sembari menyesap rokoknya yang hampir tersisa setengah batang.
Kemudian kuhentikan langkah. “Kalau begitu, kita bermalam di sini saja. Besok kita lanjutkan perjalanan kita. Aku sudah lelah. Dan juga ... aku merasa sedikit lapar.” Aku duduk bersila di atas tanah gersang.
“Tunggu. Aku punya beberapa kain untuk dijadikan alas.” Achila merogoh tas hitam yang tadinya ada di punggungnya. Kemudian, ia mengeluarkan tiga helai kain yang cukup panjang dan lebar. “Ini dia. Alexander dan Aconteus begitu pengertian. Mungkin dia tahu bahwa kita tidak akan menemukan kota hari ini.”
Achila membentangkan beberapa helai kain tersebut. Digelarnya satu per satu. Ketika usai, dia duduk di atasnya.
“Ayo, kalian juga duduklah. Dengan begini, kita bisa tidur. Dan setidaknya tubuh kita tidak akan kotor.” Achila penuh antusias. Ia merogoh tasnya kembali, mengeluarkan beberapa potong daging yang tampak sangat enak dibalut sebuah kertas plastik hitam.
Aku dan Alexio kemudian duduk di hadapan Achila.
Desir angin malam telah menyibakkan hawa dingin. Tentu juga menerbangkan debu-debu di sekitar. Dan inilah maksudku. Bagaimanapun, debu-debu yang beterbangan akan tetap mengotori tubuh kami.
Gelap. Rembulan pun tak mampu menerangi. Akhirnya Alexio berusaha membuat api dengan mengumpulkan benda-benda yang mudah terbakar di dalam tas ranselnya. Tidak menemukan apa-apa, dia memutuskan untuk membakar ranselnya setelah semua isi dalam tas tersebut ia keluarkan.
“Apa yang kau lakukan, Alexio?” tanyaku, heran.
“Achila, apakah tas itu masih cukup menampung semua ini?” Lantas Alexio mengabaikan pertanyaanku.
Beberapa makanan seperti gandum dan kacang-kacangan terbalut dalam sebuah kertas plastik. Juga ada beberapa benda tajam seperti pisau yang tampaknya bisa digunakan dalam keadaan terdesak. Achila memasukkannya satu per satu, begitu juga dengan bahan makanan ke dalam tasnya yang masih kosong.
“Sepertinya ini tidak muat, Alexio.”
“Oh, tidak apa-apa. Itu bisa dibawa Darien nanti,” ucap Alexio sembari meraih dua pisau mengilap sepanjang 15 sentimeter, lengkap dengan sarungnya. “Darien. Aku percayakan ini untukmu.”
Alexio memberikan kedua pisau tersebut padaku. Kupandangi, kemudian kuselipkan di pinggangku. “Baiklah.”
Dengan begitu, Alexio menyalakan korek api yang selalu dibawanya. Beberapa kali tertiup angin dan gagal dinyalakan.
Setelah beberapa kali mencoba, tas ransel hitam tersebut terbakar sepenuhnya. Hangat dan menjadi terang kemudian.
Semoga saja besok kami bisa menemukan sebuah kota. Aku harap kota damai seperti Kota Eretium.
--xx--