Serum Pembunuh

1645 Words
POV 3 Lelaki berambut sebahu berbola mata biru membidik seekor kijang dengan busur panah yang terbuat dari bambu. Setelah melepaskan anak panah dari busur, tembakan tepat mengenai perut kijang hingga menembus. Hewan bertanduk unik itu mencoba berlari, tetapi rubuh ketika tak mampu melawan ajal. Lantas lelaki berbola mata biru tersenyum bangga. Ia berjalan membawa hewan buruannya kembali ke gubuk reyot di puncak bukit. “Hei, hanya ini yang kudapatkan pagi ini,” katanya seraya membanting kijang yang sudah tak bernyawa di depan gubuk reyot yang tak berpintu. Seorang wanita muncul dari dalam gubuk. Sama. Kedua bola matanya berwarna biru. Rambut pirang lusuh tergerai sepunggung. “Sepertinya semakin hari hewan-hewan ini semakin berkurang.” Lelaki itu berkata sambil mencuci tangan di sebuah ember berdiameter 20 sentimeter. “Ya, begitulah. Kau tahu sendiri keadaan dunia seperti ini.” Si perempuan mengangkat bahu, kedua mata menatap kijang tak bernyawa yang tergeletak di tanah. “Sangat kurus.” “Bersyukurlah karena kita masih bisa makan.” “Ya.” “Ada apa denganmu, Aeka?” Lelaki berbola mata biru mengernyit melihat Aeka, sang istri, yang tiba-tiba mengubah air muka menjadi sedih. “Tak ada, Julio. Aku hanya—“ “Yah, sepertinya aku tahu.” Julio menyela. Dia tersenyum miring. “Aku juga merasakan apa yang kau rasakan. Tapi, tunggulah ketika saatnya tiba. Aku akan menyelamatkannya. Entah akan sampai kapan. Yang pasti, hari ini aku akan berangkat dan mencari kawan-kawan yang lain.” Aeka, perempuan berambut pirang, tersenyum lega. Menganggukkan kepala secara pelan. Dia menatap Julio dengan tatapan seolah-olah mengatakan, “Aku serahkan semuanya padamu. Aku percaya.” “Baiklah. Kau siapkan api yang besar. Aku akan memotong hewan buruan itu.” Tanpa menanggapi, Aeka berjalan menyusun ranting-ranting pohon kering untuk menyalakan api.   ***   “Achila. Kau belum memakan apa pun dari kemarin malam. Hei, kau harus makan.” Alexio menghampiri gadis bermata almond yang tengah duduk di antara pilar-pilar bangunan persinggahan para Dewa di Kota Eleusina. Sejak berhasil keluar dari Kota Plataia, Achila selalu menampakkan wajah tak enak dipandang. Lemas. Ia masih memikirkan Darien. Hanya satu hal yang terlintas di pikiran. Hanya satu hal yang ia inginkan sekarang. Darien harus kembali padanya. Mereka harus melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. “Aku tidak lapar.” Hanya kata itu yang terus diucapkan Achila ketika Alexio bertanya. Terus-menerus dari kemarin. “Ayolah, Achila. Kita percayakan saja pada Darien.” Alexio menyesap rokok, kemudian membuang dan menginjaknya lamat-lamat. “Bagaimana bisa aku tenang? Bagaimana bisa aku makan dengan lahap, sementara Darien di sana, aku tidak tahu apakah dia sudah makan atau tidak. Bahkan aku tidak tahu dia selamat atau tidak.” Sekali lagi Achila mendengkus gusar. Tatapan yang kosong adalah wujud dari kecemasan pada Darien. “Darien itu kuat, Achila. Kau tahu dia ras—“ “Tetapi yang dia hadapi juga rasnya sendiri, Alexio. Bagaimana bisa kau tetap tenang seperti itu?!” Achila tiba-tiba saja bernada tinggi. Dia menggertakkan gigi, menahan kekesalan yang tertumpah ruah di perasaan. “Baiklah. Aku mengerti kecemasanmu. Namun, jika kau terus-menerus seperti ini, aku yakin Darien tidak menyukainya. Dan dengan sikapmu ini, kau menunjukkan keraguanmu pada Darien.” Alexio pun masuk ke ruang bawah tanah melalui lubang di bangunan persinggahan para Dewa ini. Meninggalkan Achila dengan kesedihan, bahkan dipenuhi kedukaan dan rasa kehilangan lelaki bermata biru itu.   ***   Darien membuka mata. Entah sudah berapa lama matanya terpejam. Namun, rasa sakit di kepala kini terasa menjengkelkannya. Ya, hal terakhir yang dia ingat, sebuah benda menghantam keras bagian belakang kepalanya. Dan kini, kedua tangannya dibelenggu sebuah rantai logam. Ujung kedua rantai diikat di dua batang pohon sisi kiri dan kanan sehingga membuat kedua tangan merentang ke samping. Darien menarik rantai, mencoba melepaskan, tetapi sayang tak punya kekuatan memadai. Satu pertanyaan yang ada di benaknya hanyalah: aku di mana. Tentu hal ini sangat wajar. Darien sangat asing pada tempat dia berada. Kedua bola mata mengedar ke mana-mana. Pikiran berusaha mencari data yang cocok dengan penampakan tempat kelam tersebut. Dan pastinya ia tak kalah heran karena tempat yang tampak seperti hutan belantara itu ada di dalam bangunan raksasa. “Hei!” Darien memekik dengan lantang. Tak ada siapa pun. Bahkan satu serangga pun tak ada. Di tempat itu juga gelap. Darien melenguh panjang, lantas terus berusaha menarik rantai yang membelenggu tangan. Tak bisa. Ia masih tak punya kekuatan. Dan kedua batang pohon tempat rantai terikat sepertinya juga sangat kokoh. Tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali menunggu seseorang datang menjemput. Tak berselang lama, terdengar derap langkah kaki. Darien menyadari, kemudian berteriak, “Hei! Siapa saja, tolong!” Derap langkah itu semakin terdengar jelas. Wajar saja Darien menaruh harapan bahwa dirinya akan selamat dan yang menyelamatkan ialah orang misterius yang sedang melangkah itu. Akan tetapi, ketika akhirnya orang misterius muncul dari balik pilar bangunan raksasa itu, Darien terkejut setengah mati. Meski begitu, dia masih terus mengucapkan permintaan tolong. Seorang lelaki berotot, berkulit hitam pekat, berkepala botak yang sedang melangkah itu tampak seperti ras Akila. Namun, ada satu hal yang membuat Darien tak lepas dari memandanginya, yaitu kedua mata berwarna merah. Ya, merah seperti darah. Di tangan kanan memegang sebuah flail atau gada dengan bola berduri tajam berdiameter 25 sentimeter. Darien merasakan sesuatu yang buruk dari lelaki yang bahkan lebih besar darinya itu. Terlebih lagi, jika lelaki besar itu mengayunkan flail-nya, maka akan berdampak buruk bagi Darien. “Gggrrrr!” Lelaki bermata merah itu mengerang dengan wajah sangar. Ia seperti iblis. Bahkan melebihi kebengisan seorang ras Akila. “H-hei. Apa kau datang untuk—“ Belum sempat Darien menyelesaikan kalimat. Flail menghantam perutnya dengan keras hingga membuat napas tak beraturan. Tentu saja duri-duri tajam pada flail menciptakan lubang di perut Darien. Namun, mengingat bahwa Darien merupakan jenis Akila keempat, ia juga memiliki keahlian untuk menyembuhkan diri. “Hei, hei, hei. Apa yang kau lakukan? Jangan lakukan itu lagi! Aku—“ Lagi. Senjata berbentuk bola berduri itu menghantam perut Darien. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Cairan kental melumuri mulut Darien. Ia tersengal. Beberapa saat, lukanya menutup lagi. “Percuma! Sekuat apa pun kau memukulku, luka-luka ini pada akhirnya akan tertutup lagi.” Meski telah berdalih, lelaki bermata merah itu tidak berniat berhenti. Kini flail mengayun dengan cepat hingga puluhan kali. Darien terus menjerit menyuarakan rasa sakit yang diderita. Beberapa menit siksaan tersebut berlangsung, seorang pria dengan kumis tebal muncul, berjalan mendekati Darien sambil bertepuk tangan. Sebuah senyum simpul merekah. “Hahahaha. Bagaimana rasanya?” Pria berkumis tebal bertanya, menghentikan langkah hingga berjarak beberapa meter dari hadapan Darien. “B-bukankah kau tahu sendiri ... k-kalau luka—“ “Oh, iya. Tentu saja aku tahu. Karena itu, senjata yang dia gunakan untuk menyiksamu itu mengandung serum yang mematikan.” “S-serum?” Darien mengernyitkan dahi. “Benar. Flail itu sudah berisi serum di setiap duri-durinya. Saat duri-duri itu masuk ke dalam tubuhmu, duri itu akan menyuntikkan serum yang bahkan dapat membunuh ras Akila sepertimu. Hahaha.” Gelak tawa pria berkumis tebal, yang merupakan salah satu petinggi kota Plataia itu, memancing kemarahan Darien. “Biadab!” Darien menajamkan sorot matanya. Kedua tangan berusaha melepaskan rantai yang membelenggu. Namun, tiba-tiba saja sesuatu yang hitam pekat menggerogoti tubuhnya. Mulai menjalar dari perut. “Ap-apa ini?” Darien membelalak. “Hahaha. Itulah mengapa aku katakan padamu. Sekarang, serum itu akan menggerogoti seluruh tubuhmu. Pada akhirnya kau akan membusuk di sini. Hahahaha!” Pria berkumis pirang tebal itu berjalan, dan pergi meninggalkan Darien. “Hei! Hei! Hei! K-kembali!” Darien memekik. “Gggrrr!” Iblis di hadapan Darien mengerang, lantas pergi dan mengikuti pria berkumis tebal. Kini, sebagian tubuh Darien ditutupi serum beracun. Setiap urat di tubuhnya menyembul dan membesar. Putih matanya berubah menjadi hitam. Ya, sekarang ia lebih mirip seperti iblis. Mengerikan. Bahkan siapa pun yang melihat pasti akan berlari terbirit-b***t.   ***   “Dok? Kau kenapa?” Achila yang melihat Dokter Elasmus memegangi kepala seakan sedang berpikir keras, bertanya dan mulai duduk di kursi kosong sebelah sang dokter. Dokter Elasmus hanya diam. Pandangannya hampa. Atau sepertinya mulut tak mampu mengungkapkan kata. Sementara Alexio dan Acacio, sang pemimpin, mendengkus sesekali. “Hei, kalian kenapa? Ada apa dengan suasana ini? Apakah aku punya salah pada kalian?” Belum. Tak satu pun dari pertanyaan Achila dijawab ketiga lelaki tersebut. Pandangan Achila tertuju pada secarik kertas di tangan Acacio. Ia meraihnya sembari di dalam hati berharap hal itu bukan sesuatu yang buruk. Namun, ketika dia membalik kertas tersebut, sesuatu yang benar-benar tidak pernah diinginkan semua orang di ruangan itu pada akhirnya telah terjadi. Ya, kertas itu merupakan sebuah foto yang menunjukkan keadaan Darien saat ini. Seluruh tubuh Darien pada foto itu hitam pekat, bahkan kedua mata tak lagi terbuka. Achila membekap mulut rapat-rapat guna meredam suara tangis. Ia menggeleng-geleng, tak dapat menahan kenyataan yang baru saja menancapkan duri di hati. Oh, ayolah! Ini tidak benar-benar terjadi, kan? “Saya tidak menyangka para petinggi akan menggunakan serum itu untuk membunuh Darien. Itu ... itu sangat kejam.” Dokter Elasmus membuka mulut, sesekali menyeka cairan bening di manik. “Lalu ... kenapa kau tidak pernah menjelaskan tentang serum itu pada kami, Dokter? Jika saja ... kau jelaskan sebelumnya, aku mungkin tidak akan pernah membiarkan Darien bertarung seorang diri.” Achila menatap Dokter Elasmus dengan tajam sementara air mata tak dapat terhentikan. “Ya, maafkan saya, Achila—“ Kalimat Dokter Elasmus tercekat ketika Achila memilih pergi dari hadapan ketiga lelaki itu. Tentu, semuanya kini sedang diselimuti perasaan duka. Adakah secercah harapan? Pertanyaan itu menjadi tanda tanya besar di dalam benak semuanya. Sudah saatnya mereka berharap akan adanya suatu mukjizat dari para Dewa. Meskipun hanya ada beberapa persen kemungkinan, tetapi harapan yang saat ini mereka butuhkan.   ***   Pria bertubuh kekar, bermata biru, dan berambut sebahu itu berjalan di tengah gurun pasir gersang. Gurun Xino. Ya, gurun Xino merupakan gurun yang pernah dilalui tiga kawan dalam perjuangan menjelajahi Daratan Asterovos. Julio. Sebenarnya siapa pria itu? Apakah salah seorang ras Akila? Lalu, mengapa ia ada di tempat itu? Apa tujuan Julio yang sebenarnya?   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD